Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat
MENJELANG berakhirnya 2015, semakin jelas bahwa paras ekonomi global tahun depan akan berubah total. Perubahan ini tentu menuntut penyesuaian strategi bisnis di sektor riil ataupun racikan portofolio investasi di pasar keuangan.
Yang sudah di depan mata adalah naiknya suku bunga The Federal Reserve dengan segala konsekuensinya. Rabu pekan lalu, Ketua The Fed Janet Yellen kembali menegaskan sinyal kenaikan bunga, yang langsung memerosotkan harga saham dan nilai tukar mata uang di seluruh dunia.
Sehari setelah komentar Yellen, nilai rupiah pun tergerus. Bank Indonesia menjual satu dolar Amerika Serikat dengan harga Rp 13.914. Demikian pula indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia, yang luruh menjadi 4.537,38 atau merosot 13,45 persen sejak awal 2015.
Turunnya nilai rupiah dan harga saham adalah konsekuensi arus balik dolar dari negara berkembang karena naiknya bunga The Fed. Ini pula sebabnya BI tak akan nekat menurunkan bunga patokannya kendati pemerintah menghiba-hiba, bahkan menekan. Maka kita juga harus bersiap mengatasilikuiditas dolar ataupun rupiah yang lebih ketat saat memasuki 2016.
Investor dan pebisnis juga harus mengantisipasi Krisis Gelombang Ketiga (lihat Tempo edisi 26 Oktober-1 November 2015) yang mulai menelan negara berkembang. Harga komoditas yang terus merosot membuat ekonomi negara-negara berkembang yang bergantung pada komoditas, termasuk Indonesia, kian tertekan hebat.
Korban yang sudah jatuh adalah Brasil. Ekonomi Brasil terus mengkerut, terakhir minus 1,7 persen pada kuartal ketiga 2015. Jika disetahunkan, penyusutan ekonomi Brasil bisa mencapai 8 persen—sebuah kemerosotan yang luar biasa cepat.
Yang agak mengerikan, ada banyak kesamaan antara Brasil dan Indonesia: bergantung pada ekspor komoditas, ekonomi Tiongkok menjadi lokomotif, konsumsi sebagai motor kegiatan ekonomi, serta ada banyak skandal korupsi kelas kakap. Di Brasil, korupsi yang melibatkan Petrobras menjadi salah satu penggerus keyakinan investor. Di sini, ada urusan Petral dan Freeport yang tak kalah serunya.
Satu catatan tentang Cina juga sangat penting. Melemahnya ekonomi Cina tak hanya berdampak pada ekspor yang melempem atau harga komoditas yang layu. Kapasitas yang berlebih di sana membuat banjir dumping barang Tiongkok ke seluruh dunia tak akan tertahan. Industri lokal pembuat perkakas hingga barang kebutuhan sehari-hari sudah mulai bertumbangan karena banjir dumping barang Cina ini.
Di Indonesia, pertanda lesunya ekonomi tampak jelas pada perolehan pajak yang sungguh menakutkan. Tinggal sebulan 2015 berakhir, masih ada kekurangan penerimaan pajak Rp 400 triliun dari target. Investor kini masih menanti penjelasan, apa langkah pemerintah untuk menutup lubang besar itu dalam tempo sebulan.
Sayangnya, kebijakan pajak yang keliru ini tak akan berakhir bersamaan dengan 2015. Anggaran 2016 juga menggotong beban yang sama beratnya, karena patokan penetapannya adalah target 2015 yang tak realistis itu. Sudah pasti, aparat pajak harus tetap agresif mengejar setoran.
Apa boleh buat, kekeliruan pemerintah malah menambah beban berat dunia usaha di tengah lanskap ekonomi global yang begitu gelap.
Kontributor Tempo
KURS
Rp per US$
Pekan sebelumnya 13.733
13.845
Penutupan 3 Desember 2015
IHSG
Pekan sebelumnya 4.597
4.537
Penutupan 3 Desember 2015
INFLASI
Bulan sebelumnya 6,25%
4,89%
November 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
30 September 2015 US$ 101,7 miliar
US$ miliar
100,7
30 Oktober 2015
Pertumbuhan PDB
2014 5,0%
5,1%
Target 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo