Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan netizen heboh menanggapi surat Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM kepada PT Pharos Indonesia tertanggal 3 Januari 2018 yang viral beredar luas belakangan ini. Salah satu keramaian terlihat di media sosial Twitter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Surat BPOM yang ditujukan kepada PT Pharos Indonesia itu berisi rekomendasi hasil rapat kajian aspek keamanan pasca pemasaran policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen. Policresulen diketahui terdapat dalam salah satu obat keluaran Pharos yakni Albothyl. Albothyl selama ini dikenal publik sebagai obat sariawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kehebohan di ranah Twitter salah satunya disuarakan oleh Hanacaraka dengan akun twitter @nhanami. Ia meminta agar para pembaca postingannya agar memberitahu keluarga dan orang-orang untuk tidak lagi menggunakan Albothyl.
"Tolong beritahu keluarga, kerabat, dan orang2 untuk tidak menggunakan obat ALBOTHYL. Kandungan aktif obat albothyl berfungsi untuk membuat sel tubuh mati. Jadi bukan menyembuhkan. Sudah banyak korban yang menggunakan albothyl dan mengalami kanker oral/lidah," ucap Hanacaraka, Rabu, 14 Feb 2018.
Sementara itu, di hari yang sama, akun twitter @Wandasil25 menyayangkan sikap pemerintah yang tak cepat bertindak terhadap penggunaan obat tersebut. "Lagi lagi pemerintah mengabaikan kandungan obat utk kesehatan rakyat. Albothyl itu udah lama dibuatnya tapi baru sekarang disidik oleh bagian kesehatan. Kesel abiss."
Ada juga seseorang yang mengaku berprofesi sebagai dokter gigi SaveAlQuds dengan akun twitter @suzi_dent menyampaikan selama ini obat itu tidak pernah
dianjurkan untuk terapi sariawan. "Sy dentist. Di dunia kedokteran gigi tdk pernah ada anjuran pemakaian albothyl utk terapi sariawan. Dia bekerja membakar ujung syaraf, ini menumpulkan impuls nyerinya. Sebagian orang beranggapan dg hilangnya nyeri seolah2 sariawannya sembuh. Pdhal jaringan yg rusak smakin luas," katanya.
Adapun Tata dengan akun twitter @kimtaerisma merasa sedih karena baru membaca berita soal larangan peredaran setelah ia menggunakan Albothyl. "Gw pengen nangis karna gw skrg lg sariawan dan udh netesin albothyl beberapa kali."
Adapun surat yang membuat heboh netizen tersebut di antaranya menjelaskan hasil rapat BPOM soal kajian aspek keamanan pasca pemasaran policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen pada 25 Juli 2017 silam. Dari kajian itu sedikitnya didapatkan empat poin hasil.
Poin pertama adalah tidak ditemukan bukti ilmiah atau studi yang mendukung indikasi policresulen cairan obat luar 36 persen yang telah disetujui. Poin kedua, policresulen cairan obat luar 36 persen tidak lagi direkomendasikan penggunaannya untuk indikasi pada bedah, dermatologi, otolaringologi, stamatologi dan odontology.
Poin ketiga adalah policresulen cairan obat luar 36 persen merupakan obat bebas terbatas yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter. Penggunaan obat ini sangat berisiko dan berbahaya jika digunakan tanpa pengenceran terlebih dulu. Sedangkan poin keempat, terdapat laporan chemical burn pada mucosa oral akibat penggunaan policresulen obat luar konsentrat 36 persen oleh konsumen.
Dengan memperhatikan empat poin pertimbangan tersebut, maka rapat pengkajian aspek keamanan memberi dua rekomendasi. Rekomendasi pertama adalah risiko policresulen cairan obat luar 36 persen itu lebih besar daripada manfaat. "Sehingga policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen itu tidak boleh beredar lagi untuk indikasi pada bedah, dermatologi, otolaringologi, stomatologi (stomatitis aftosa) dan odontologi," seperti dikutip dari surat BPOM tersebut.
Rekomendasi kedua adalah dilakukan reevaluasi indikasi policresulen dalam bentuk sediaan ovula dan gel pada saat proses renewal. Sebab, indikasi policresulen pada informasi produk policresulen bentuk sediaan ovula dan gel sama dengan yang tercantum pada policresulen dalam bentuk cairan obat luar konsentrat 36 persen.
Hingga berita ini diturunkan, Tempo belum berhasil mendapat tanggapan PT Pharos Indonesia terkait larangan BPOM peredaran policresulen cairan obat luar 36 persen itu. Salah satu operator telepon perusahaan, Ayu, menyatakan Direktur Komunikasi Korporat Pharos Indonesia, Ida Nurtika, sedang tidak berada di tempat.