Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Netizen Pertanyakan Data Utang versi BPN Prabowo - Sandiaga

Tak sedikit netizen mempertanyakan data utang tiap pemerintahan yang disampaikan juru bicara BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Gamal Albinsaid.

8 Januari 2019 | 15.44 WIB

Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Medika, Gamal Albinsaid, di Jakarta, 22 Maret 2016. TEMPO/Frannoto
Perbesar
Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Medika, Gamal Albinsaid, di Jakarta, 22 Maret 2016. TEMPO/Frannoto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Gamal Albinsaid, mengkritik pengelolaan utang oleh pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi. Dalam kritiknya itu, Gamal membandingkan nilai utang pemerintah dari masa Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Mari berdiskusi dengan santun. Seandainya data yang saya sampaikan bermanfaat, semoga itu mencerahkan. Seandainya data yang kawan sampaikan itu bermanfaat, semoga bisa mencerahkan saya," ujar Gamal seperti dikutip dari akun Twitter-nya @Gamal_Albinsaid, Senin, 7 Januari 2019.

Dalam cuitannya kali ini Gamal menyertakan infografik berupa data utang pemerintah di tiap kepemimpinan presiden RI. "Ini data Pak SBY yang terlewatkan. Mari berpolitik santun, bertanggung jawab, berbasis data," katanya.

Sebelumnya, pada Sabtu pekan lalu Gamal telah mencuitkan hal serupa. Namun yang disajikan hanya data nilai utang dari 5 presiden, dan tidak mencantumkan data utang pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu pula, tak sedikit netizen yang mempertanyakan alasan Gamal tak memperlihatkan data tersebut.

Pada hari Senin lalu, di dalam cuitannya tersebut, Gamal mengunggah data berjudul Utang Pemerintah di Setiap Era Presiden. Di dalamnya disebutkan utang pemerintah semasa Presiden Soeharto sebesar Rp 551,4 triliun, BJ Habibie sebesar Rp 938,8 triliun, dan Abdurrahman Wahid sebesar Rp 1.271,4 triliun. 

Sementara utang pemerintah di masa Presiden Megawati Soekarnoputri sebesar Rp 1.298 triliun, Susilo Bambang Yudhoyono sebesar Rp 2.608,8 triliun dan Jokowi Rp 4.395,9 triliun. Hingga kini cuitan itu menuai 325 komentar, disukai oleh 2.316 orang dan di-retweet sebanyak 1.201 kali.

Cuitan Gamal itu lantas menuai reaksi netizen dan berkembang viral di sejumlah media sosial. Tak sedikit netizen yang menilai data tersebut tak lengkap. Perbandingan nilai utang antar tiap rezim pemerintahan yang digunakan juga tak lazim.

@Monsieur_Inanto misalnya, menilai perbandingan utang tidak bisa dilakukan sesederhana itu. "Gak ada yg salah dengan data yang panjenengan sajikan. Hanya saja tidak sesederhana itu perbandingannya. Gak bisa dilihat hanya sekadar total jumlahnya saja. Yang paling lazim digunakan utang kita bandingkan dengan GDP," ujarnya, Senin, 7 Januari 2019.

Atau jika membandingkan utang dengan Produk Domestik Bruto dirasa sulit, Gamal diminta membandingkan utang dengan memasukkan time value of money. "Atau kalo GDP ribet. Kalo mau adil bandinginnya bisa pake time value of money. Rp. 100, 00 jaman Pak Harto kan nilainya sudah gak sama dengan sekarang. Monggo dihitung sendiri. Baru 'agak' adil kalo mau bandinginnya hanya sebatas besaran jumlahnya," kata @Monsieur_Inanto.

Dari perbandingan utang pemerintah terhadap PDB, @Monsieur_Inanto pun menilai lebih aman saat ini karena ada Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi utang tak boleh lebih dari 60 persen PDB. "Sekarang Alhamdulillah di kisaran 29%, lumayan jauh dari ambang batas yg ditetapkan UU." 

Ada juga @andiaprabowo yang mempertanyakan data utang di masa sejumlah presiden yang ditampilkan yang hanya saat satu periode jabatan. "Masih kurang details ... Pak SBY dalam 2 periode Jabatan dan Lainnya 1 periode blom complete lagi," katanya.

Sementara Dede dengan akun @akangckp mempersoalkan data utang yang tidak disandingkan dengan angka pertumbuhan dan ekonomi. "Pendapatan & pertumbuhan kok ngak dimunculin? Belum lg nilai mata uang yg tidak selaras dgn hrg barang antar waktu. Kesannya hal negative & rasa waswas yg ditebar," seperti dikutip dari cuitannya, 16 jam yang lalu.

Selain itu ada juga @drury_yl yang menuding data yang disajikan Galam adalah bentuk framing karena jika membandingkan utang, seharusnya juga menyajikan data pendapatan. "Kalo mo bandingkan HUTANG, lihat juga PENDAPATAN-nya. Sama halnya kalo mo membandingkan PERTUMBUHAN EKONOMI, lihat juga INFLASI- Jangan lihat dari satu sisi aja. Itu FRAMING namanya!"

Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti menyatakan pada dasarnya utang sangat dimungkinkan dan bukan sebagai hal yang tabu. Selama utang bisa memberikan hasil yang produktif dan dapat menambah penghasilan sepanjang digunakan untuk hal yang bisa meningkatkan kapasitas.

Nufransa menyebutkan, beban utang pada sebuah perusahaan tidak bisa dihitung dari berapa jumlah pegawainya, tapi dilihat dari pendapatan operasionalnya. "Hampir seluruh negara di dunia memiliki utang dengan jumlah yang berbeda pada setiap negara, tergantung ukuran ekonominya, bukan dilihat dari jumlah penduduknya," katanya pada Tempo, Sabtu malam, 5 Januari 2019.

Lebih jauh Nufransa juga menyatakan bahwa penghitungan utang per kapita tidak ada hubungannya dengan kemampuan membayar utang. Kemampuan membayar utang dilihat dari penghasilannya, dimana dalam suatu negara dinamakan Produk Domestik Bruto (PDB).

Oleh karena itu, kata Nufransa, indikator penting dan digunakan secara luas oleh setiap negara dalam mengukur tingkat keamanan berutang dan pengambilan kebijakan adalah rasio utang per PDB. Rasio ini membandingkan jumlah utang yang dimiliki Pemerintah dengan size perekonomian suatu negara.

Rasio utang per PDB menunjukkan indikasi kemampuan membayar dari suatu negara atas utang yang dimilikinya. Rasio ini, kata Nufransa, menjadi salah satu indikator yang harus dipatuhi Pemerintah dan diatur dalam Undang-undang no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada akhir November 2018 utang Pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp 4.396 triliun, sementara rasio utang per PDB tercatat sebesar 29,9 persen. "Masih jauh di bawah 60 persen sebagaimana ketentuan Undang-undang no 17 tahun 2003," tutur Nufransa. "Hal ini menunjukkan bahwa utang Indonesia aman dan mampu dibayar kembali."

CAESAR AKBAR

 
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus