Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjualan Rice Basket Queen, bisnis pangan yang dikelola oleh Ruri Ruhyaty, mengalami peningkatan setelah bergabung dengan Grab, salah satu pelopor startup layanan pesan antar makanan dan pembayaran di Asia Tenggara. Sebelumnya, Ruri hanya menunggu pelanggan mampir ke kios makanannya, namun kini bisnisnya menawarkan layanan pesan antar di Jakarta melalui aplikasi GrabFood. Catatan keuangannya pun sudah ter-upgrade ke sistem digital, dan bahkan pelanggannya kini dapat melakukan pembayaran melalui aplikasi ponsel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seiring dengan meningkatnya pendapatan, usaha Ruri mendapatkan tawaran pinjaman Rp 50 juta dari partner Grab, Ovo. “Saya akan ambil pinjaman untuk mengembangkan bisnis tahun depan (2020),” kata wanita 34 tahun tersebut sambil mengolah bahan-bahan dagangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah Rice Basket Queen merupakan efek transformatif dari teknologi finansial di Asia. Sistem yang pertama kali muncul di Cina kini juga dirasakan di Asia Tenggara, kawasan dengan 655 juta penduduk yang hidup di 11 negara, dan di India dengan 1,7 miliar populasi.
Pengunjung mendatangi stan Kredivo dalam Fintech Exhibition, di SCC Pakuwon Trade Center, Surabaya, 29 November lalu.
Teknologi digital kini diadopsi oleh jutaan usaha kecil dan menengah di Asia. Beberapa fintech terbesar seperti Ant Financial, Paytm, dan Go-Jek, mengancam bank-bank tradisional dan institusi keuangan lain - serta memulai suatu model bisnis yang belum diterapkan di belahan dunia lain.
“Asia saat ini sedang melakukan inovasi layanan finansial; sesuatu yang tidak dipahami orang-orang di London, New York, dan Silicon Valley,” kata James Lloyd dari EY Asia-Pacific yang berfokus pada layanan fintech dan pembayaran.
“Efek network yang kuat membuat perusahaan-perusahaan teknologi besar berani mengambil risiko lebih tinggi di bisnis jasa keuangan; yang awalnya ada di Cina dan kini merambah ke negara-negara lain di Asia,” kata Lloyd. Ia menambahkan bahwa ancaman terhadap bank “lebih dahsyat di Asia daripada di manapun di dunia.”
Jan Metzger, kepala bagian Asia Pasifik di Citi, mengatakan keunggulan Asia bukan karena mereka lebih hebat dalam teknologi tapi karena permintaan layanan digital yang jauh lebih tinggi di sana. “Asia 12 tahun lebih maju daripada di mana pun di dunia,” katanya. “Mereka melampaui generasi yang melakukan pembayaran dengan plastik dan buku cek; dengan pembayaran online melalui dompet digital.”
Gerakan besar fintech di kawasan ini ditandai dengan bermunculannya beberapa startup di Asia. Berdasarkan data Asian Venture Capital Journal, hampir 800 perusahaan mendapatkan pembiayaan dari modal usaha dan instansi ekuitas swasta sejak Desember 2016.
Pengemudi Grab Bike di kawasan Pal Merah, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Cina memimpin dengan 266 startup fintech, India berada di posisi kedua dengan 190 fintech, lalu Asia Tenggara dengan 183 startup; 44 diantaranya ada di Indonesia dan 86 di Singapura, menurut data AVCJ.
Beberapa startup menawarkan pembayaran elektronik, pinjaman online, kartu kredit, asuransi digital, dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa mereka sudah mampu menyaingi bank-bank tradisional.
Bahkan beberapa fintech mendapatkan lebih banyak pendanaan dibandingkan bank yang sudah berdiri sejak lama. Misalnya Grab, dengan valuasi $14 miliar setelah mendapatkan investasi dari SoftBank Jepang, perusahaan holding Singapura Temasek, CIC Cina, dan investor kredibel lainnya.
Artinya, hanya tujuh tahun sejak bisnisnya berdiri, Grab telah meraup pasar yang lebih besar dibandingkan dengan 15 dari 25 bank top di Asia Tenggara, berdasarkan kapitalisasi pasar.
Bank menghadapi tantangan yang lebih serius saat ambisi regional raksasa teknologi Cina diperhitungkan. Setelah membangun bisnis di pasar domestik, beberapa dari mereka kini berusaha mendukung perusahaan-perusahaan serupa di negara-negara lain di Asia.
Seorang petugas teller Bank Negara Indonesia (BNI) merapihkan uang rupiah saat berlangsungnya transaksi, Jakarta, (28/8). Nilai tukar rupiah terus tertekan hingga di posisi Rp 9.535 per dolar AS pada (28/8). Posisi itu melemah dari Rp 9.515 per dolar AS pada (27/8) dan makin tertekan dari posisi Jumat (24/8) di level Rp 9.504 per dolar AS, (23/8) Rp 9.495 per dolar AS, (16/8) Rp 9.498 per dolar AS dan (15/8) Rp 9.494 per dolar AS. Tempo/Aditia Noviansyah
AntFinancial - dengan valuasi $ 150 miliar atau tiga kali kapitalisasi pasar bank terbesar di Asia Tenggara, DBS - mengumumkan dana investasi mereka sebesar satu miliar dolar untuk kawasan Asia Tenggara pada November 2019. Mereka sudah menanamkan investasi di Paytm, perusahaan fintech terbesar di India dengan valuasi $ 16 miliar.
Salah satu alasan tingginya valuasi startup fintech seperti Grab dan kompetitornya di Indonesia, Go-Jek, adalah karena mereka tidak hanya menawarkan jasa keuangan melalui GrabPay dan rekan usahanya Ovo, namun perusahaan-perusahaan ini juga menawarkan layanan lain di luar jasa keuangan seperti GrabCar, GrabTaxi, GrabBike, GrabFresh, dan GrabFood.
Layanan ‘super-app’ ini menciptakan basis pelanggan yang besar dan highly-engaged bagi perusahaan asal Singapura tersebut. Semenjak peluncurannya di Malaysia pada 2012, Grab sudah menjangkau 339 kota di delapan negara di Asia Tenggara dan aplikasinya telah diunduh sebanyak 163 miliar.
Kantor Gojek di Singapura.
GoPay, alat keuangan Go-Jek, digunakan di 370 kota di Indonesia. Sebagai tantangan lain bagi usaha tradisional bank, Go-Jek meluncurkan layanan Paylater yang berfungsi seperti ‘Amex charge card’ dan menawarkan layanan manajemen aset untuk pengguna, kata co-chief executive Go-Jek Andre Soelistyo.
“Ini sukses besar,” kata Andre. Layanan Go-Jek yang mendapat bekingan dari perusahaan Cina, Tencent, bisa menyediakan kredit hingga jumlah tertentu yang harus dibayarkan oleh pelanggan pada akhir bulan. “Kami menawarkan kesempatan untuk memulai perencanaan bulanan, dan kalian bisa mulai berinvestasi.”
Tidak hanya Go-Jek, Grab juga mulai menawarkan lebih banyak layanan keuangan, seperti jasa asuransi untuk usaha kecil melalui kerjasama dengan perusahaan asuransi online Cina, ZhongAn. Pada 2020, Grab berencana meluncurkan layanan manajemen aset.
“Sejak kami mengambil alih Uber operasional Asia Tenggara [pada Maret 2018], fokus kami adalah menjadi super-app dan melebarkan misi kami untuk menyediakan kesempatan ekonomi bagi jutaan rekan merchant kami,” kata Reuben Lai, co-head Grab Financial.
Bahkan startup kecil pun mulai membuat terobosan ke marketplace keuangan Asia. Oriente, perusahaan yang didirikan oleh Geoffrey Prentice yang sebelumnya bekerja di Skype, telah menggelontorkan 2 juta pinjaman ke penggunanya di Filipina dan Indonesia. “Kami menetapkan bunga 3 persen setiap bulannya, lebih rendah dari agensi pegadaian lain yang biasa memungut bunga 10 persen per bulan,” kata Prentice.
“Kami mengacaukan [bisnis] pegadaian,” tambahnya.
Pengemudi gojek di kawasan Palmerah, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Di India pun terjadi fenomena yang sama. Berdiri sejak 2010, Paytm sudah memiliki lebih dari 350 juta pengguna yang terdaftar per bulan Juni 2019. Jumlah tersebut lebih besar daripada populasi penduduk AS. Jumlah pengguna aktif perbulannya memang lebih kecil dari angka tersebut namun masih melebihi 100 juta orang, berdasarkan data perusahaan. Mereka menggunakan platform pembayaran sebagai batu loncatan untuk merambah ke layanan lain termasuk jual-beli emas, jasa asuransi, dan penukaran mata uang asing.
Startup pembayaran dari India lainnya, BharatPe, menggunakan platformnya untuk menawarkan pinjaman ke usaha retail kecil yang berperan penting terhadap ekonomi namun tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari bank. Mereka memberikan pinjaman mulai dari 25.000 rupee ($350) hingga 250 ribu rupee.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa fenomena kemunculan fintech di Asia disebabkan oleh layanan bank dan institusi keuangan lain yang sulit diraih, tidak efisien, dan mahal.
Survey PwC terhadap 4.500 pelanggan bank di Hong Kong, Singapura, dan Malaysia, pada 2019, menunjukkan bahwa 82 persen masyarakat Hong Kong, 71 persen responden Singapura, dan 65 persen penduduk Malaysia bermasalah dengan bank.
Permasalahan tersebut antara lain jaringan online yang jelek dan waktu tunggu yang tidak sebentar di kantor cabang atau pun via telepon. Ada korelasi langsung antara jumlah masalah yang dialami pelanggan dan keinginan mereka untuk membuka rekening bank virtual.
Standard Chartered. REUTERS/Bobby Yip
Beberapa petinggi bank mengakui isu yang dihadapi. Deniz Guven, yang memimpin Standard Chartered mendirikan bank virtual di Hong Kong, mengatakan bahwa pelanggan bank menggambarkan karakter binatang “kukang (sloth) atau nyamuk” untuk mendeskripsikan bahwa layanan perbankan yang mereka terima tidak memadai.
Hal ini memang kenyataan yang pahit bagi bank, namun reaksi mereka sangat bervariasi; beberapa bergerak dengan tergesa-gesa untuk merangkul masa depan virtual, sedangkan yang lain tampaknya tidak mampu melakukan perubahan.
Pengamat mengatakan bahwa beberapa bank medium yang tidak bisa beradaptasi bisa punah atau terpaksa melakukan merger. Yang lainnya kemungkinan mengalami erosi tajam dalam pengembalian aset mereka. “Dalam dunia yang sangat dinamis ini, dapatkah sebuah bank besar membuat kesalahan? Tentu saja. Dapatkah bank besar dirugikan? Tentu saja,” kata Metzger.
Bagi institusi keuangan tradisional, pesannya adalah: cepatlah beradaptasi ke semangat digital atau menerima risiko untuk menjadi tidak relevan. “Kami melihat banyak bank mengatakan, ‘Oke, bagaimana kami memastikan kami tidak kehilangan pelanggan’,” kata Harjeet Baura, seorang rekan di PwC. “Setiap bank besar di pasar ini berlari 150 miles (241 km) per jam untuk menyaingi bank-bank virtual dengan mengatakan mari kita singkirkan rasa sakit [dari layanan yang buruk] ini.”
Misalnya Standard Chartered, yang memiliki lisensi bank virtual di Hong Kong. Saat layanan bisnis virtualnya dibuka awal 2018, tujuannya adalah untuk mendorong perbaikan atas customer service, kata Guven.
Ia menjelaskan, untuk membuka rekening bank baru, kini hanya membutuhkan dua menit, dibandingkan dengan bank tradisional di Hong Kong yang membutuhkan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari untuk otorisasi. Begitu pula dengan kartu kredit; akan diproses dalam hitungan menit, kata Guven.
Upaya self-improvement tersebut belum tentu bisa dibilang cukup.
Pelayanan kantor Cabang Citibank Indosneisa di Jakarta, 22 Oktober lalu. Tempo/Tony Hartawan
Startup fintech tidak hanya menawarkan kecepatan dan kegesitan,tapi mereka juga menawarkan ekosistem yang siap pakai. Jika kita menggunakan aplikasi pembayaran Grab, kita juga akan mendapatkan diskon di layanan lain yang ada di ‘aplikasi super’ tersebut, mulai dari GrabFood hingga GrabBike atau GrabCar.
Menurut Baura, bank tidak mampu menyeimbangi hal ini, sehingga mereka berusaha keras untuk melakukan kerja sama. Namun taktik lama mereka dalam mempromosikan produk ke pelanggan membuat mereka tak berkutik. “Saat kau duduk di sana dan berdiskusi tentang pelanggan, mereka akan berkata ‘ya ya ya, tapi produk apa yang bisa kita jual’,” kata Baura. “Pelanggan dan kebutuhan mereka tidak ada dalam DNA,” katanya.
Meski begitu, beberapa bank tradisional kini mulai melakukan upaya-upaya yang fantastis, contohnya Citibank yang sudah berlari jauh ke depan dibandingkan yang lain. Bank berbasis di Amerika ini bekerja sama dengan dua platform pembayaran digital terbesar di Cina; WeChat Pay dan Alipay, dengan layanan menghubungkan kartu kredit ke platform pembayaran tersebut.
Citibank juga bekerja sama dengan Paytm untuk meluncurkan kartu kredit dengan cashback fisik tak terbatas pertama di India. Citibank, bersama beberapa startup termasuk Grab, juga meluncurkan kartu kredit co-branded.
Namun, bank tradisional menghadapi permasalahan lain. Saat mereka memilih rekan fintech, bank harus menilai mana yang sekiranya akan bertahan melalui proses pemilahan yang menyeluruh, menurut para analis.
Bahkan beberapa fintech terbaik akan menghabiskan banyak biaya.
Contohnya Paytm; pada bulan September, perusahaan induknya mengatakan kerugian bersih mereka di tahun yang berakhir pada bulan Maret menggelembung menjadi $ 559 juta setelah penyesuaian nilai tukar, dari $ 210 juta pada tahun sebelumnya. Sementara itu, pendapatan mengalami kenaikan tipis dari $ 430 juta menjadi $ 456 juta.
Kantor LinkAja di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis, 11 April 2019./ Tempo/Tony Hartawan
Bagi Gojek dan Grab di Asia Tenggara, profitabilitas yang nyata bukanlah tujuan jangka pendek ataupun menengah, melainkan sebuah aspirasi. Namun pada tahap tertentu, mayoritas investor terkaya pun akan mulai menuntut startup untuk bersiap menuju profitabilitas. Dan bisnis yang tidak sanggup menyesuaikan dengan hal tersebut akan mati.
Saat ini, bisnis-bisnis sejenis Rice Basket Queen sedang meraup keuntungan dari revolusi fintech di Asia.
Pada banyak kasus, startup fintech memenuhi kebutuhan yang enggan diisi oleh institusi keuangan tradisional. Contohnya, Ruri sudah mencari tahu mengenai pinjaman Rp 30 juta dari bank, namun ia ragu setelah mendengar jaminan besar yang diminta sebagai syarat keamanan.
Sementara dengan fintech jasa pinjaman, tidak ada syarat jaminan. Ovo sudah mendapatkan semua informasi yang mereka butuhkan mengenai kelayakan kredit Ruri di transaksi bisnisnya yang tercatat di dalam aplikasi. Ia sekarang berencana membuka kios baru sebelum bulan Ramadhan pada April 2020 nanti.
Financial Times
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo