Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta – PT Pertamina Power Indonesia (PPI) memastikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 tak terhambat friksi dengan Marubeni Corporation. Proyek tetap berlanjut di bawah konsorsium PPI, Marubeni, dan Sojitz Corporation.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Direktur Utama PPI Ginanjar menyatakan pihaknya kini sedang menggeber pembangunan. “Kami sedang memperlebar gap antara capaian pembangunan dengan target,” katanya kepada Tempo, Selasa 12 November 2019. Pada September lalu ketika friksi PPI dan Marubeni memuncak, kemajuan pembangunan sempat turun hanya mencapai 0,8 persen dari target.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perusahaan juga berfokus untuk meningkatkan efisiensi demi meningkatkan Economic Internal Rate of Return (EIRR) pembangkit berkapasitas 1.760 megawatt itu. Ginanjar berusaha meningkatkan IRR ke zona hijau dari zona kuning di saat ini. Semasa persiapan financial close, konsorsium mampu menghemat biaya hingga US$ 62 juta dolar.
Nilai itu salah satunya berasal dari efisiensi biaya pembelian lahan tambahan untuk Right of Way dari penawaran awal Rp 2,7 juta per meter persegi menjadi hanya sekitar Rp 400 ribu per meter persegi. Mereka juga menghemat US$ 120 juta setelah menawar harga dari para mitra seperti Samsung C&T, Samsung Heavy Indstry, dan Meindo.
Ginanjar menyatakan PPI juga masih memiliki cadangan US$ 48 juta contingency budget. “Kalau kita bisa mengontrol budget dan tidak menggunakan dana itu, ini bisa meningkatkan nilai keekonomian proyek ke zona hijau,” katanya.
PPI pun menggandeng PT Indonesia Power untuk membentuk joint venture dalam bidang operation and maintenance dengan alasan efisiensi. Anak usaha PT PLN (Persero) juga digandeng sebagai pengembangan independent power producer (IPP) berbasis gas dan energi baru dan terbarukan untuk memperluas portofolio perusahaan. Dana yang bisa dikelola dua anak usaha badan usaha milik negara ini mencapai US$ 1,2 miliar.
Ginanjar menyatakan telah secara personal menyambangi pihak-pihak yang terlibat dalam proyek PLTGU Jawa-1 untuk menjelaskan duduk perkara antara anggota konsorsium. Salah satu yang ditemuinya adalah Pelaksana tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani. Penjelasan juga disampaikan kepada Asian Development Bank hingga para kontraktor. Dia menjamin proyek berjalan dengan baik meski hubungan antar anggota konsorisum retak.
Keretakan hubungan anggota konsorsium terungkap setelah surat Ginanjar untuk Chief Audit Executive Pertamina menyebar. Surat itu dikirim Ginanjar pada 13 September 2019 terkait permohonan pelaksanaan investigasi proyek PLTGU Jawa-1. Dalam surat itu PPI menjelaskan bahwa Marubeni melakukan kecurangan berulang kali. Peringatan dari PPI baik dalam pertemuan resmi maupun informal seperti tak digubris.
Dalam surat itu dijelaskan salah satu penyebabnya. Konsorsium hampir kehilangan kesempatan untuk menghemat US$ 12 juta dalam beberapa kali proses negosiasi dengan kontraktor pembebasan lahan lantaran Marubeni mendorong menyetujui penawaran harga awal yang ditawarkan. Harga tersebut tiga kali lipat lebih mahal dari harga lahan di pasar.
Isu lainnya yang memicu friksi adalah keputusan perwakilan Marubeni di konsorsium yang diam-diam mendekati kontraktor EPC untuk membeli pipa dari anak usaha perusahaan asal Jepang itu, Marubeni Itochu Steel Inc. Selain melanggar aturan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri, tindakan ini dinilai bisa merusak reputasi PPI dan Pertamina.
Dalam surat itu juga dijelaskan pemicu friksi lain yang berasal dari entering fee atau biaya yang disetor anggota baru konsorsium. Marubeni disebut meminta Sojitz Corporation sebagai anggota baru tanpa sepengetahuan PPI. Padahal dalam kesepakatan awal Sojitz tak pelu mengeluarkan biaya itu.
Isu lainnya berawal dari inisiatif Marubeni untuk mengganti mitra proyek Floating Storage and Regasification Unit (FSRU), Exmar, dengan Mitsui O.S.K Line atau MOL. Marubeni menduga kondisi keuangan Exmar tidak stabil. Namun dugaan tersebut tak terbukti dan Exmar menuntut kompensasi sebesar US$ 30 juta meski akhirnya dengan negosiasi dicapai kesepakatan sebesar US$ 4 juta. Selain itu, kemampuan MOL pun di bawah Exmar.
Friksi itu membuat Ginanjar terancam kehilangan posisinya. Pertamina mengirim surat pemberitahuan pemberhatiannya sebagai Direktur Utama PPI. Ginanjar mengkonfirmasi isi surat tentang friksti tersebut. “Apa yang tertulis di dalamnya itu betul,” katanya.
Marubeni Corporation bungkam mengenai friksi ini. Tempo berusaha menghubungi CFO Marubeni Corporation Hisashiro Takeuchi untuk mengkonfirmasi namun tak ada respons. Direktur Anak Usaha Marubeni Indonesia, Slamet Muhadi, pun tak menanggapi konfirmasi Tempo. Pesan singkat yang dikirim Tempo hanya dibaca tanpa dibalas.