Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Repot Terbang Luar-Dalam

Awair berganti nama menjadi Indonesia Air Asia. Dituduh melanggar asas cabotage.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA orang, zaman ini zaman global, tak terkecuali di sektor transportasi udara. Maka, tak ada pilihan lain: Indonesia pun harus membuka pintu lebar-lebar. Siapkah kita? Menurut M. Ikhsan Tatang, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, di kawasan ASEAN, Indonesia dinilai tak siap betul.

Tersebutlah maskapai penerbangan asal Malaysia, Air Asia, yang sejak 2004 bermitra dengan perusahaan penerbangan lokal yang nyaris ambruk, Awair. Sejak 1 Desember lalu, Air Asia, yang menguasai 49 persen saham Awair, mengganti nama Awair menjadi Indonesia Air Asia.

Penggantian nama ini ternyata memancing protes para operator penerbangan domestik yang tergabung dalam Indonesia National Air Carrier Association (INACA). Nama Indonesia Air Asia itu, menurut mereka, secara tak langsung menonjolkan nama Air Asia. Jadi, kalau terbang di dalam negeri, kata Sekretaris Jenderal INACA, Tengku Burhanuddin, ia masuk kategori cabotage—penerbangan asing yang terbang di rute domestik.

Kalau benar maskapai penerbangan Malaysia itu berkeliaran di jalur domestik, kata Burhanuddin, INACA tak akan tinggal diam. ”Itu sudah mengganggu kedaulatan udara kita,” katanya. ”Meski mitranya orang Indonesia, itu hanya kamuflase.” Senin pekan lalu, INACA pun melayangkan protesnya ke Departemen Perhubungan.

Untuk Direktur Utama Indonesia Air Asia, Sendjaja Widjaja, protes INACA itu tak masuk akal. Menurut dia, maskapai penerbangan yang dipimpinnya itu perusahaan Indonesia. Kepemilikan lokalnya 51 persen, 99 persen karyawannya orang Indonesia, staf manajemen seluruhnya orang Indonesia, bahkan direktur utamanya orang Indonesia. ”Struktur manajemen tidak berubah, hanya berubah nama,” katanya.

Air Asia, katanya, masuk sesuai dengan persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Hukum dan HAM. Jadi, secara legal memenuhi syarat. ”Ini kan era globalisasi,” kata Sendjaja. ”Jadi, tidak bisa dikaitkan dengan soal kedaulatan negara.”

M. Ikhsan Tatang tampaknya setuju dengan Sendjaja. Dengan kecenderungan yang ada, kata Tatang, setiap wilayah dunia ini sudah mulai mengkristalisasi. Seperti Eropa, kita juga sudah mengkristalkan diri dalam kawasan ASEAN. Tak bisa lagi berdiri sendiri-sendiri.

Karena itu, bagian teknisnya harus siap, membuat time frame sesuai dengan kekuatan masing-masing. ASEAN sudah melakukan kesepakatan tingkat menteri mengenai liberalisasi ruang udara. Untuk kargo pada 2008, dan penumpang pada 2010.

Tentu akan ada tahapan transisi ke arah sana. Setiap negara melakukan persiapan. Sayangnya, Indonesia paling tidak siap. Karena itu, Departemen Perhubungan akan mengajak operator penerbangan mempersiapkan diri agar bisa berkompetisi, siap dengan efisiensi, dan menjalankan manajemen yang baik.

Bahkan Singapura, kata Tatang, ingin mengakselerasi liberalisasi kargo, paling tidak antar-ibu kota negara. Tidak perlu lagi ada persetujuan bilateral. ”Sudah begitu usulan-usulan dari negara lain,” kata Tatang. Tapi, ”Kita mempersiapkan liberalisasi pada 2010 saja masih mikir.”

Tatang berharap operator Indonesia tidak memproteksi diri lagi, karena bisa berakibat penerbangan kita tidak bisa masuk negara lain. Tapi, justru ini salah satu yang dikesalkan INACA. Seperti dikatakan Rusdi Kirana, Direktur Utama Lion Air, Malaysia tidak menjalankan perlakuan sama (equal treatment) terhadap maskapai penerbangan Indonesia.

”Mana bisa maskapai penerbangan kita masuk rute domestik mereka?” kata Rusdi. ”Kalau mau fair, buka dong rute mereka buat kami. Nanti kami akan membuat Malaysia Lion Air atau Malaysia Garuda Indonesia.” Rusdi juga menepis anggapan maskapai penerbangan lokal takut menghadapi persaingan dengan Indonesia Air Asia. ”Persaingan itu bukan masalah besar,” ujarnya.

Saham Indonesia Air Asia dikuasai empat pihak. Air Asia (asing) 49 persen; Pin Harris, pemilik lama Awair, 20 persen; Sendjaja Widjaja 21 persen; dan PT Fersindo 10 persen. ”Jika ada bukti otentik kepemilikan asing 51 persen atau lebih, silakan izinnya dibatalkan,” kata Tatang.

Rinny Srihartini, Tomi Y. Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus