Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Chris Leo Manggala tak bisa tenang menikmati masa pensiun yang baru dia kecap awal Mei lalu. Mantan General Manager Pembangkitan Sumatera Bagian Utara di PT PLN ini sekarang pusing lantaran perkara yang dituduhkan kepadanya bersama sejumlah bekas anak buahnya. Kamis dua pekan lalu, Kejaksaan Agung menetapkan Leo sebagai tersangka dalam kasus proyek perbaikan atau life time extension turbin gas GT 2.1 dan GT 2.2 di pembangkit listrik tenaga gas dan uap di Belawan, Medan, senilai Rp 554 miliar.
Sangkaan jaksa juga diarahkan kepada mantan ketua panitia lelang, Surya Darma Sinaga, yang sekarang jadi manajer sektor di PLN Labuan Angin. Dua lagi anggota panitia, yakni Rody Cahyawan dan Mohammad Ali, ikut terseret. Sedangkan Supra Dekanto, mantan Direktur Utama PT Nusantara Turbin dan Propulsi, dianggap terlibat karena anak usaha PT Dirgantara Indonesia yang ia pimpin itu turut mengerjakan proyek dalam konsorsium bersama pemenang tender. "Untuk sementara, kerugian negara sekitar Rp 25 miliar," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Ari Muladi, Kamis pekan lalu.
Jaksa juga menganggap telah terjadi penggelembungan nilai proyek yang melampaui harga perkiraan sendiri (HPS) dari PLN, yang mematok perkiraan awal senilai Rp 527,7 miliar. Poin lain yang menjadi perhatian penyidik ialah daya yang dihasilkan mesin, yang menurut pengukuran oleh tim ahli bersama Kejaksaan hanya mampu memproduksi 123 megawatt listrik. Padahal dalam kontrak disebutkan adanya jaminan untuk menghasilkan daya 132 megawatt.
Tuduhan merugikan keuangan negara itu yang membuat Leo dan kawan-kawan kecewa. Ia masih ingat, di hadapan sesama general manager yang dikumpulkan di Jakarta pada akhir 2012, dua kali nama Leo disebut dalam pidato Direktur Utama PLN Nur Pamudji. Leo dipuji-puji dan dijadikan contoh bagaimana seharusnya mengelola tender dan menyelamatkan ratusan miliar uang perusahaan melalui sistem pengadaan yang transparan. "Itu terjadi pada saat banyak pegawai PLN menghindar atau menolak dimasukkan ke kepanitiaan tender karena takut dituduh korupsi," Leo bercerita didampingi rekan-rekannya.
Empat mesin turbin gas berkapasitas terpasang 520 megawatt adalah bagian dari sistem pembangkit Sektor Belawan, yang totalnya sebesar 1.200 megawatt. Sesuai dengan buku manualnya, turbin-turbin yang mulai beroperasi pada 1994 itu memasuki fase major overhaul setiap 100 ribu jam operasi. Fase itu sudah jauh terlewati bagi GT 2.1 dan GT 2.2, karena proses tender pengerjaan yang berulang kali gagal sejak lelang 2009.
Setelah lelang pertama tak berhasil, PLN sempat memutuskan melakukan penunjukan langsung melalui surat direksi pada Januari 2011. Karena turbin tipe V94.2 ini merupakan produksi Siemens, pabrikan asal Jerman itu ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan. Tapi persoalan muncul: harga yang dipatok PLN dan Siemens terpaut jauh.
Sampai awal 2012, negosiasi buntu. Padahal mesin yang mulai kepayahan tak lagi bisa menunggu. Ketika itu, masa operasi turbin sudah mencapai 140 ribu jam, sehingga rawan meledak jika dipaksa terus bekerja dan tak segera diperbaiki. Mesin juga tak mungkin dimatikan tanpa membuat sebagian Sumatera Utara, Riau, dan Aceh mengalami pemadaman.
"Karena itu, kami memutuskan melakukan pemilihan langsung dengan mengundang pabrik yang memproduksi suku cadang mesin tipe itu. Tak lagi pakai calo," ucap Direktur Utama PLN Nur Pamudji. Sistem pemilihan dilakukan untuk memangkas biaya dan mempersempit ruang korupsi.
Selain Siemens di Jerman, ada dua pabrik lain di dunia yang memegang lisensi untuk mesin V94.2 seperti yang terpasang di Belawan. Dua produsen itu ialah Ansaldo Energia di Italia dan Mapna Co, perusahaan milik pemerintah Iran. Pada 2011, ketika Dahlan Iskan dan Nur Pamudji pergi ke Iran untuk mencari gas, mereka sempat mampir ke pabrik Mapna dan melihat sendiri bagaimana kapasitas dan kualitas mesin buatannya. Itu sebabnya, PLN cukup yakin dan mengundang Mapna bersama Ansaldo serta Siemens untuk bersaing dalam lelang.
Undangan pun dilayangkan. Namun Ansaldo menyatakan tak akan ikut. "Ada kesepakatan bisnis antara Ansaldo dan Siemens. Kami tak akan berhadapan dalam satu tender," kata Gideon Simamora, agen pemasaran Ansaldo di Indonesia. Tinggallah Siemens dan Mapna yang tersisa.
Sampai di situ, ganjalan lain mulai datang. Adalah Janto Dearmando, Ketua Umum Asosiasi Kontraktor Kelistrikan Indonesia, yang memprotes cara PLN melelang proyek secara tertutup itu. Janto juga menuding direksi telah melakukan intervensi terhadap panitia lelang karena sejak awal membatasi hanya tiga peserta yang diperbolehkan ikut tender. "Ini melanggar aturan PLN sendiri," ujarnya. "Kesempatan kami sebagai pemain lokal juga hilang karena PLN maunya langsung ke produsen." Janto tak hanya memprotes, tapi juga melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, bahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Leo mengakui, di tengah proses lelang pada Mei tahun lalu, ia sempat dipanggil Kejaksaan untuk dimintai keterangan. "Sudah kami jelaskan detailnya dan sepertinya jaksa memahaminya," katanya. "Karena itu, kami semua heran ketika setahun kemudian datang lagi panggilan-panggilan pemeriksaan."
Singkat cerita, lelang berjalan dan akhirnya memunculkan Mapna Co sebagai pemenang. Siemens tersingkir karena, meski menyodorkan angka 2 juta euro lebih rendah, mereka tak mau menandatangani garansi performa yang mengharuskan mesin akan kembali normal dengan kapasitas 132 megawatt setelah diperbaiki. "Siemens gugur karena tidak dapat memenuhi kondisi teknis yang disyaratkan," ujar General Manager PT Siemens Indonesia bidang Power Generation, Christophe Silalahi.
Kemenangan Mapna kembali dipersoalkan oleh Janto dan penyidik. Mereka menganggap garansi performa yang diteken perusahaan Iran itu tak masuk akal. "Apa mungkin perusahaan lain bisa menghasilkan performa lebih baik daripada pabrik pembuat mesin aslinya? Siemens saja dari awal bilang tak sanggup."
Tuduhan mereka juga berkembang ke arah manipulasi dalam menentukan nilai proyek. Sebab, sepekan setelah Mapna memenangi tender, kontrak mengalami perubahan. Ada adendum atau tambahan pekerjaan senilai Rp 123 miliar, sehingga total nilai proyek bengkak menjadi Rp 554 miliar, alias Rp 25 miliar lebih di atas HPS.
Leo dan kawan-kawan membantah keras tudingan itu. Menurut mereka, tambahan proyek terjadi karena mesin sudah terlalu lama dipaksa bekerja melampaui masa operasi normalnya. "Sehingga pada saat lelang akhirnya menghasilkan pemenang, kondisi mesin sudah jauh lebih buruk dibanding pada masa awal kami menetapkan HPS," Surya Darma menjelaskan. "HPS untuk adendum itu ditetapkan Rp 175 miliar. Jadi total HPS untuk pekerjaan utama dan tambahan adalah Rp 702 miliar. Nilai total kontrak dengan Mapna masih jauh di bawah itu."
Ragu terhadap performa mesin dianggap sebagai akal-akalan penyidik. "Mereka datang melihat meteran pada saat beban rendah di siang hari. Terang saja kapasitas yang terlihat hanya 123 megawatt," ucap Mohammad A. Bahalwan, Managing Director PT Mapna Indonesia. Ia lalu menyodorkan sertifikat inspeksi kelaikan operasi yang dilakukan pihak ketiga terhadap turbin gas di Belawan. "Hasilnya, daya mampu mesin mencapai 140,7 megawatt."
Mapna bahkan menantang dengan mengundang siapa pun yang tak percaya pada kemampuan mereka dan perbaikan mesin yang dihasilkan untuk datang melihat langsung ke Belawan. "Ini soal yang amat sederhana. Lihat sendiri saja. Bila perlu, kami ajak ke Teheran untuk menengok pabrik kami," ujar Abbas Foroutani, Presiden Direktur Mapna Indonesia. Bahalwan menimpali, "Mereka iri saja. Kalau sudah kalah tender, tak perlulah menjelek-jelekkan orang lain."
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo