Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK satu pun penjual tahu dan tempe menjajakan dagangannya di Pasar Kranggan, Yogyakarta, Senin pekan lalu. Mereka semua ikut aksi protes yang dimotori Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) akibat harga kedelai melambung jadi Rp 10 ribu per kilogram. Ketua Pengurus Gakoptindo Aip Syarifuddin mengatakan, pada Juli 2013, harga kedelai masih di bawah Rp 7.500 per kilogram. Sekarang harganya meroket jadi Rp 8.500-10.000 per kilogram. Ia curiga kenaikan terjadi karena ada yang bermain di distribusi kedelai.
Mogok para pedagang itu membuat produksi tempe Ana Damayanti, 27 tahun, turun. Pemakaian kedelai pun merosot dari rata-rata 350 kilogram menjadi 20 kilogram saja. Toh, Ana tetap berproduksi. Surat imbauan Gakoptindo agar pengusaha berhenti berproduksi selama tiga hari, 9-11 September, tidak ia hiraukan. "Saya bukan anggota koperasi," katanya. Di rumahnya di bilangan Sinduadi, Sleman, ia bersama empat karyawannya bekerja seperti biasa. Hasil tempenya ia jual kepada pelanggan setia.
Ada pula Suyatno, pembuat dan penjual tempe di Pasar Beringharjo, yang ikut aksi protes tapi tetap memproduksi tempe di rumahnya. "Untuk jualan hari Kamis," ujarnya. Selama tiga hari tak berjualan, ia kehilangan pendapatan Rp 350 ribu per hari. Agar ada pemasukan, ia berjualan gula jawa.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menuding ada 22 importir besar yang menguasai pasar komoditas kacang-kacangan tersebut. Importir tersebut antara lain PT FKS Multi Agro Tbk, PT Gerbang Cahaya Utama, dan Cargill. Sejak 2008, menurut Ketua KPPU Muhammad Nawir Messi, KPPU sudah menemukan praktek kartel kedelai. Gejala kenaikan harga kedelai sekarang mulai terasa sejak Maret lalu. "Sudah ada perkiraan stok bakal berkurang," katanya. "Tapi kementerian teknis, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, gagal mengantisipasi."
Seorang sumber Tempo menyebutkan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa marah besar kepada Menteri Perdagangan Gita Wirjawan karena masalah kedelai ini. Kemarahan pada rapat koordinasi beberapa hari lalu ini tersulut karena Gita telat mengeluarkan surat izin impor. "Sudah ada keputusan presiden pada April lalu yang menunjuk Bulog untuk mengimpor kedelai, tapi izinnya baru keluar Agustus," ujar sumber itu.
Izin impor tak kunjung keluar itu karena birokrasi bertele-tele. Kementerian Perdagangan akhirnya menerbitkan izin impor pada akhir Agustus dan awal September lalu. Perusahaan lama, seperti FKS Multi Agro, mendapat 210.600 ton dan PT Gerbang Cahaya Utama menerima 46.000 ton. Muncul pula perusahaan baru, Jakarta Sereal, yang memperoleh jatah 55.000 ton serta Gakoptindo dan Inkopad masing-masing 20.000 ton.
Direktur FKS Multi Agro Kusnarto mengakui masih memiliki stok kedelai di gudang. "Ada sekitar 80 ribu ton," katanya. Namun ia membantah sengaja menahan stok untuk mengerek harga. "Kalau ada yang beli, ya, kami jual." Tapi dia hanya bersedia menjual di harga Rp 8.900 per kilogram, lebih tinggi Rp 500 dari keinginan produsen.
Ia membantah terlibat kartel. "Harga kedelai impor naik karena dolar naik," katanya. Penjualan kedelai dengan harga di bawah pasar, menurut dia, sulit dilakukan dalam jumlah besar. Pelemahan nilai rupiah terhadap dolar membuat perusahaan harus menyiapkan uang lebih besar supaya bisa kembali membeli kedelai di Amerika.
Akibat mogoknya produsen, Gita membuat solusi jangka pendek: memberikan harga khusus Rp 8.490 per kilogram untuk pembuat tahu dan tempe. "Gakoptindo dan perajin minta harga khusus untuk 11.900 ton kedelai di Jabodetabek," ujarnya. Kebutuhan kedelai di Jabodetabek mencapai 8.000 ton per bulan. Untuk nasional, kebutuhan mencapai 22 ribu ton per bulan.
Gita juga menjamin stok kedelai akhir tahun aman dengan terbitnya izin impor tadi. "Kedelainya bisa tiba di Tanah Air dalam 1-1,5 bulan mendatang," katanya. Stok kedelai di tangan importir hingga pekan lalu mencapai 150 ribu ton. Sisanya masih dalam tahap pengapalan dan akan tiba minggu ini.
Sorta Tobing, Anang Zakaria (Yogyakarta), Muhammad Muhyiddin, Pingit Aria, Ananda Teresia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo