Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun 2025 masih tergolong tinggi. Dalam dua bulan pertama, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 18.610 orang telah kehilangan pekerjaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, menyebutkan bahwa PHK paling banyak terjadi di sektor manufaktur padat karya. Salah satu faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah menurunnya permintaan pasar. "Pelemahan permintaan terjadi di dalam dan di luar negeri," katanya kepada Tempo, Kamis, 1 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Jumlah PHK dari Berbagai Versi
Menaker Yassierli
Menteri Ketenagakerjaan atau Menaker Yassierli, menyampaikan bahwa jumlah pekerja yang terdampak PHK dari Januari hingga Rabu, 23 April 2025, mencapai 24.036 orang. Ia juga merinci daerah dengan angka PHK tertinggi, yakni Jawa Tengah dengan 10.692 orang, disusul DKI Jakarta sebanyak 4.649 orang, dan Riau sebanyak 3.546 orang.
Adapun sektor usaha yang paling banyak memberhentikan pekerja adalah industri pengolahan dengan 16.801 korban PHK, kemudian sektor perdagangan besar dan eceran sebanyak 3.622 orang, serta sektor jasa lainnya yang mencatat 2.012 orang.
“Saat ini (per 23 April 2025), yang sudah terdata itu sekitar 24 ribu. Jadi, sudah sepertiga dari tahun 2024. Kalau ada yang tanya, PHK saat ini dibandingkan tahun lalu itu memang meningkat,” kata Yassierli.
“Saat ini (per 23 April 2025), yang sudah terdata itu sekitar 24 ribu. Jadi, sudah sepertiga dari tahun 2024. Kalau ada yang tanya, PHK saat ini dibandingkan tahun lalu itu memang meningkat,” kata Yassierli.
Apindo
Data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan bahwa jumlah korban PHK mencapai 40.000 orang. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara juga mencatat bahwa sekitar 23.000 anggotanya terdampak PHK dalam periode yang sama.
Apindo memperkirakan angka PHK akan terus bertambah hingga mencapai 70.000 orang pada akhir tahun, sejalan dengan catatan Kementerian Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa sepanjang 2024 terdapat 77.965 kasus PHK.
Wilayah dengan jumlah PHK tertinggi menurut Apindo adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Tangerang. Data tersebut diperoleh dari jumlah pekerja yang mencairkan dana BPJS Ketenagakerjaan, baik dalam bentuk Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Tahun lalu, sekitar 250.000 orang dilaporkan dirumahkan, dan pada Januari hingga Februari tahun ini, jumlahnya mencapai 40.000 orang.
BPS
Dikutip dari Antara, 5 Mei 2025, jumlah pengangguran meningkat sekitar 83 ribu orang atau setara 1,11 persen dibandingkan Februari 2024.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amelia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa lonjakan pengangguran ini sejalan dengan pertambahan jumlah angkatan kerja sebanyak 3,67 juta orang, menjadikan total angkatan kerja per Februari 2025 mencapai 153,05 juta orang.
Amelia menambahkan bahwa angkatan kerja terdiri atas mereka yang telah bekerja maupun yang masih mencari pekerjaan atau belum bekerja. “Namun, dari jumlah angkatan kerja tersebut tidak semua terserap di pasar kerja sehingga terdapat jumlah orang yang menganggur sebanyak 7,28 juta orang,” kata Amelia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Di sisi lain, jumlah penduduk yang bekerja juga mengalami kenaikan per Februari 2025, yaitu meningkat sebesar 3,59 juta orang, sehingga total pekerja mencapai 145,77 juta orang.
Peningkatan ini mayoritas berasal dari kelompok pekerja penuh waktu yang mencapai 96,48 juta orang, atau naik 3,21 juta dibandingkan Februari tahun sebelumnya. Sementara itu, pekerja paruh waktu bertambah 820 ribu orang, menjadi total 37,62 juta orang.
KSPI
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melaporkan bahwa sebanyak 60 ribu tenaga kerja mengalami PHK selama Januari hingga Februari 2025. KSPI juga mengungkap bahwa perbedaan data dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah terjadi selama bertahun-tahun.
Kemnaker mendapatkan datanya dari laporan perusahaan, sedangkan KSPI merujuk langsung pada informasi dari para pekerja. Perbedaan sumber inilah yang menjadi penyebab ketidaksesuaian angka di antara keduanya.
Pada dasarnya, KSPI mendesak pemerintah agar lebih serius menangani persoalan PHK yang masih terjadi di berbagai sektor.