Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan hingga kini tidak ada pembahasan tentang rencana untuk melakukan Anggaran Pendapatan dan Penerimaan Negara Perubahan (APBNP) 2018 akibat risiko lonjakan subsidi bahan bakar minyak (BBM). "Saya ingin tegaskan bahwa pembicaraan mengenai APBN-P itu belum atau tidak ada," katanya, di Jakarta, Senin, 7 Mei 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri Mulyani juga menyatakan bahwa pihaknya pada dasarnya tidak pernah merencanakan mengajukan APBNP 2018. "Karena kami memang tidak merencanakan untuk melakukan APBN-P 2018," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, Sri Mulyani masih belum memberikan tanggapan dan penyebab lebih detail mengenai hal tersebut. Pernyataan itu merespons simpang siur soal perubahan APBN-P 2018 akibat melonjaknya harga minyak dunia dan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS serta konsekuensinya terhadap subsidi BBM dalam anggaran pemerintah.
Sebagai gambaran, pemerintah mematok asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) di APBN 2018 sebesar US$ 48 per barel, namun realisasinya naik hingga kisaran US$ 55-60 per barel. Di sisi lain, asumsi nilai tukar rupiah Rp 13.400 per dolar AS, tapi belakangan kurs rupiah loyo hingga pernah menembus Rp 14 ribu per dolar AS.
Sebelumnya bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan pemerintah bakal mengajukan APBNP 2018 guna menambal beban subsidi BBM dengan anggaran sekitar Rp 10 triliun. "Ini usulan Menteri Keuangan (Menkeu), apalagi skemanya kalau bukan APBN-P. Anggarannya sekitar itu, Rp 10 triliun," kata Darmin, Jumat malam, 4 Mei 2018.
Sebelumnya dalam rapat koordinasi terkait BBM pada Rabu lalu telah didiskusikan upaya agar PT Pertamina dapat menjalankan tugas barunya menyalurkan premium dan solar bukan hanya di luar Jawa tapi juga di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Dengan begitu, beban yang lebih berat pada PT Pertamina pasti akan menjadi konsekuensi.
Kepala Riset Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, APBN-P sebenarnya sangat diperlukan, terlebih untuk menambah belanja subsidi BBM, yang harganya diatur oleh pemerintah. "Seharusnya memang APBNP, ini konsekuensi dari harga BBM yan dipertahankan," katanya.
Selain itu, pemerintah punya rencana untuk menambah kewajiban PT Pertamina menyalurkan premium dan solar di Jawa, Makasar dan Bali. Menurut Lana, APBNP merupakan hal yang lumrah.
Lana juga menilai pemerintah tidak perlu resah dengan defisit anggaran yang membengkak akibat dari penambahan anggaran belanja subsidi tersebut. "Berdasarkan pengalaman yang dulu dulu, defisit (anggaran) selalu bisa ditekan di bawah 3 persen, sesuai dengan aturan UU APBN," ujar Lana.
Tak hanya itu, menurut Lana, penambahan belanja subsidi di APBNP masih diperlukan karena daya beli masyarakat yang masih belum membaik. "Daya beli kita masih belum stabil, jadi subsidi itu perlu," katanya. Soal saya beli masyarakat ini salah satunya terlihat dari data BPS soal pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I tahun 2018 mencapai 4,95 persen, atau tidak berbeda jauh dengan periode sama tahun lalu 4,94 persen.