Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Tahun Ini, Saham Old Economy Diprediksi Moncer

Analis menyebut potensi perbaikan ekonomi juga mendorong kinerja saham emiten yang telah mapan atau juga dikenal dengan istilah old economy.

1 Januari 2022 | 09.37 WIB

Ilustrasi Saham atau Ilustrasi IHSG. ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Perbesar
Ilustrasi Saham atau Ilustrasi IHSG. ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tahun baru 2022, Indonesia dipercaya memasuki babak baru perekonomian setelah keadaan membaik di masa pandemi Covid-19 sehingga turut mendorong pasar saham atau indeks harga saham gabungan (IHSG). Oleh karena itu, analis menyebutkan adanya potensi perbaikan ekonomi yang juga mendorong kinerja emiten yang telah mapan atau juga dikenal dengan istilah old economy.

Analis Astronacci Faishal Idris dalam risetnya mengungkapkan bahwa babak baru perekonomian Indonesia terasa setelah akselerasi vaksinasi yang kemudian juga diikuti dengan efek positif dari peraturan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.

“Hal tersebut memberikan harapan baru bagi investor pasar modal Indonesia, baik asing maupun domestik,” tulis Faishal dalam riset dikutip Sabtu, 1 Januari 2022.

Faishal menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi di Tanah Air pada kuartal III 2021 mencapai 3,51 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya atau year on year (yoy) dan terus membaik. Kondisi tersebut membawa Indonesia keluar dari posisi resesi dan memunculkan optimisme baru dalam berinvestasi.

Dengan perkembangan positif ini, lanjutnya, pasar juga tercatat menyumbang sebesar Rp 1.200 triliun bagi pembangunan ekonomi.

Sementara itu, di Amerika Serikat, indeks harga konsumen atau consumer price index (CPI) terus melonjak. Di mana pada November 2021, posisi CPI AS naik 6,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2020.

Adapun pemerintah AS dalam laporan yang dirilis pada 10 Desember 2021 lalu menyebutkan peningkatan itu merupakan lonjakan terbesar setelah Juni 1982. Mereka menjelaskan bahwa kenaikan CPI tersebut karena kenaikan berbagai harga barang.

Berdasarkan laporan tenaga kerja AS, kenaikan tersebut termasuk meningkatnya harga bensin sebesar 6,1 persen, sementara itu biaya sewa, mobil bekas dan makanan juga turut naik.

Akibatnya beberapa indeks di AS juga turut naik, Dow Jones Industrial Average naik 0,60 persen, S&P 500 naik 0,95 persen dan Nasdaq naik 0,73 persen.

Berdasarkan kondisi di atas, Astronacci kemudian mengungkapkan bahwa IHSG ke depan berpotensi menekan resistance dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan penguatan.

Analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia Edward Tanuwijaya juga mengungkapkan dalam risetnya juga mengungkapkan hal serupa. Edward menyatakan harga sektor energi saat ini naik ke level tertinggi. Di mana hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya karena pasokan terbatas dan juga tidak tersedianya sumber-sumber energi alternatif lain.

Oleh karena itu, jelasnya, harga sektor energi sama sekali tidak dapat mengikuti keinginan terpendam seiring dengan ekonomi global secara bertahap saat ini kembali dibuka. Producer price index pada beberapa hal penting, jelas Edward, melewati indeks CPI yang menandakan tekanan inflasi yang akan datang yang mungkin menghasilkan potensi kompresi margin ke depan.

“Selain itu, kesenjangan dalam biaya pengiriman yang disebabkan oleh ketidakseimbangan perdagangan internasional dapat memperburuk tekanan inflasi,” tulis Edward dalam riset.

Di sisi lain, Edward mengungkapkan bahwa beberapa koreksi di pasar domestik diperlukan ketika AS akhirnya mengurangi pembelian obligasinya terutama untuk kelas aset yang sensitif terhadap perubahan imbal hasil.

“Namun, menurut kami kerugian pada MXID [JCI/IHSG] mungkin terbatas (daripada sebelumnya),” katanya.

Hal tersebut paparnya mengingat spread hasil yang lebih luas antara obligasi SUN dengan tenor 10 tahun akibat inflasi di Indonesia terkendali dengan baik. Selain itu arus dana investor asing yang keluar secara tahunan konsisten semenjak Mei 2015 sehingga relatif lebih mudah dikelola.

Seterusnya adalah adanya efek riak terhadap perekonomian Indonesia karena mendapat manfaat dari kenaikan beberapa harga komoditas yang melambung tinggi sehingga mendorong pertumbuhan indeks.

Menurutnya, pemulihan ekonomi dan mulai dibukanya aktivitas global mendorong secara signifikan harga komoditas di antaranya harga minyak sawit (crude palm oil/ CPO), jagung, dan juga tembaga.

Di mana kenaikan harga komoditas tersebut terkait dengan pasokan terbatas sehingga tidak memenuhi lonjakan permintaan. Korea Investment and Sekuritas Indonesia pun kemudian memilih saham siklis untuk mendorong momentum kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

“Kami memperkirakan pertumbuhan EPS 14 persen pada tahun 2022, terutama didorong oleh pemulihan pendapatan untuk perusahaan besar dan harga tinggi di sektor terkait komoditas tertentu seperti batu bara, CPO, nikel dan tembaga,” papar Edward.

Kendati demikian, dia mengingatkan para pelaku pasar untuk tetap waspada akan lonjakan kasus Covid-19 yang nantinya juga berpotensi menyebabkan pembatasan ketat kembali sehingga menyulitkan pemulihan ekonomi.

BISNIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus