Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Beda Tradisi Kuliner Imlek di Cina dan Indonesia

Imlek di Cina dirayakan dengan 30 menu, sedangkan di Indonesia lazimnya hanya ada 13 makanan.

18 Februari 2015 | 05.21 WIB

Pedagang makanan khas Imlek merapikan dagangannya di kawasan Glodok, (27/1). Beragam makanan khas Imlek mulai banyak dijual dan dibeli warga keturunan Tionghoa untuk menyambut Imlek 2565. ANTARA/Izaac Mulyawan
Perbesar
Pedagang makanan khas Imlek merapikan dagangannya di kawasan Glodok, (27/1). Beragam makanan khas Imlek mulai banyak dijual dan dibeli warga keturunan Tionghoa untuk menyambut Imlek 2565. ANTARA/Izaac Mulyawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tahun Baru Cina atau Imlek akan tiba pada 19 Februari 2015. Bila dirunut dari sejarahnya, pelaksanaan ritual Imlek di Daratan Cina dan Indonesia hampir sama. Namun, makanan peranakan Cina-Indonesia sudah mengalami percampuran. Karena itu, makanan Imlek yang disajikan di Indonesia dapat dipastikan berbeda dengan makanan yang disajikan di Cina.

Berikut ini beberapa perbedaan tradisi kuliner tersebut.

30 Versus 13

Menu yang disajikan saat Imlek di Cina berjumlah 30, sedangkan di Indonesia lazimnya hanya ada 13 ragam makanan. Menurut Aji Chen Bromokusumo, peneliti budaya Cina-Indonesia, di Cina, sajian Imlek selalu disertai minuman khas yang beralkohol, sedangkan di sini minuman khas hanya ada di Probolinggo, Jawa Timur. Di daerah ini ada pabrik yang memproduksi sirup yang dikenal dengan nama Ie Ie. Sirup ini hanya diproduksi pada saat Imlek sejak 1949.

Asin Versus Manis

Menu Imlek di Cina biasanya asin, sedangkan di Indonesia manis. Aji mencontohkan masakan ayam oh atau ayam hitam yang bumbunya menggunakan taoco dan kecap. Di Indonesia, kecap yang digunakan memiliki rasa manis. Sedangkan kebanyakan kecap yang digunakan di Cina adalah kecap asin dan kecap ikan.

"Penggunaan kecap manis itu sangat mencerminkan budaya Jawa," kata Aji pekan lalu. Penganan Cina, menurut Aji, jarang menggunakan bahan manis dan bumbu yang kuat. Bumbu pada masakan Cina lebih sedikit dan didominasi bawang putih.

Totok Versus Peranakan

William Wongso, pakar kuliner Indonesia, menyatakan masakan Cina di Indonesia harus dibedakan menjadi dua, yakni totok dan peranakan. Menurut dia, masih banyak warga keturunan Cina di Indonesia yang menyajikan makanan ala Cina seperti aslinya.

Ia menyebutkan beberapa contoh masakan Cina yang istimewa dan jarang ada di Indonesia karena bahannya premium. "Seperti sup sirip ikan hiu. Ada beberapa keluarga yang menyajikan makanan ini, tapi tentunya keluarga dengan tingkat perekonomian yang sangat baik," ujarnya.

Dengan demikian, menurut William, bagi warga Cina totok, sajian Imlek bukan sekadar makanan perayaan atau persembahan, tapi juga mencerminkan status orang.

Lontong Cap Go Meh  Versus Variasi Lontong

Sejarawan Kota Semarang, Jongkie Tio, mengatakan, dalam sejarahnya, lontong opor Cap Go Meh adalah menu Imlek yang pertama kali dikembangkan di pesisir utara Jawa, khususnya Kota Semarang. Menurut Jongkie, lontong Cap Go Meh merupakan hasil akulturasi masyarakat Cina yang berlabuh di Semarang dengan masyarakat muslim setempat. Saat itu kaum Cina peranakan sering melihat orang Jawa merayakan Lebaran dengan ketupat, opor ayam, dan sambal goreng hati.

Menu itu ditiru kaum Cina perantauan yang berlabuh di Semarang saat perayaan Cap Go Meh atau hari ke-15 Tahun Baru Cina. Mereka membuat acara makan besar dengan menu Lebaran seperti penduduk muslim Jawa. Mereka memodifikasi menu Lebaran ini: tak hanya disajikan dengan opor ayam dan sambal goreng ati, tapi juga masakan lain, seperti tahu, rebung, buncis, udang, srundeng, docang, abing, bubuk kedelai, lodeh, telur, dan kerupuk.

CHETA NILAWATY | SOHIRIN (SEMARANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (1998) dan Master Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina (2020. Bergabung di Tempo sejak 2001. Meliput berbagai topik, termasuk politik, sains, seni, gaya hidup, dan isu internasional.

Di ranah sastra dia menjadi kurator sastra di Koran Tempo, co-founder Yayasan Mutimedia Sastra, turut menggagas Festival Sastra Bengkulu, dan kurator sejumlah buku kumpulan puisi. Puisi dan cerita pendeknya tersebar di sejumlah media dan antologi sastra.

Dia menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (2020).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus