Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Karangasem - Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) Saraswati Putri, semasa kanak-kanak, ia selalu teringat kisah dari neneknya: tentang bidadari bernama Dewi Sri yang turun ke bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bidadari itu melindungi petani dari gagal panen dan serangan hama, hingga membantu menyuburkan tanah. Neneknya, juga bertutur tentang Tari Sanghyang Dedari untuk mengundang dan memuja Sang Dewi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita itu terngiang, hingga Saraswati menjadi dosen filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Istri gitaris Netral, Christopher Bollemeyer (Coki), itupun teringat kembali cerita neneknya saat memperoleh penugasan pengabdian masyarakat di Bali.
“Ketika itu saya memperoleh tugas dari bos saya, Pak Ali Akbar, untuk menemukan tari-tarian yang hampir hilang atau punah, saya lalu ingat Tari Sanghyang Dedari,” ujar Saras.
Pada 2015, ia pun memburu Tari Sanghyang Dedari. Namun selama tiga tahun ia tak menemukannya, bahkan saat mengunjungi Desa Bona, Gianyar, di Bali Selatan – yang kabarnya masih menarikannya – ternyata sudah tak ada lagi.
Tari Sanghyang Dedari merupakan tari yang bersifat religius dan secara khusus berfungsi sebagai tarian penolak bala atau wabah penyakit pada pertanian. Sampai saat ini, Tari Sanghyang tidak diadakan sekadar sebagai sebuah tontonan, dan hanya dilaksanakan menjelang paneng. Namun ritualnya sudah dimulai sejak padi ditanam.
Perhelatannya pun, bukan untuk konsumsi umum. Karena Tari Sanghyang merupakan tari kerauhan (kesurupan) karena kemasukan hyang, roh, bidadari kahyangan, Sang Hyang Dedari atau Dewi Sri -- dalam versi budaya Jawa.
DR. Saraswati Putri (Kiri) menyebut Tari Sanghyang Dedari nyaris punah. Hanya di Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem. Dulu tari ini terdapat di setiap desa adat jauh sebelum pengaruh Hindu Majapahit pada abad pertengahan masuk ke Bali. Foto: Ucha Julistian/Istimewa
“Akhirnya saya melapor ke atasan, dan menyimpulkan tarian itu punah, “Kami pikir tari itu benar-benar sudah. Punah dalam hal ini dikaitkan dengan tradaisi pertanian yang turut punah. Sebab, Tari Sanghyang dilakukan dalam ritual waktu panen, sementara pertanian pun sudah jarang di sana," ungkapnya.
Secercah harapan tiba-tiba datang. Tari ritual ini masih dipentaskan di Desa Adat Geriana Kauh, Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem Bali, dan dipastikan sebagai satu-satunya yang masih ada. Saras pun mengusulkan agar FIB UI mengambil langkah-langkah penyelamatan. Sebelum membentuk sebuah museum, hal-hal yang terkait dengan Tari Sanghyang Dedari harus diarsipkan atau direkam dalam catatan yang terstruktur.
Menurut Saras, dari hasil penelitiannya, tarian ini telah ada sejak abad ke-8 jauh sebelum Hindu Majapahit masuk ke Bali. Dalam tarian ini selalu ada tiga unsur, “Dalam tarian ritual ini harus ada asap atau api, gending sanghyang dan penari,” ujar Kepala Desa Adat Geriana Kauh, Nyoman Subratha.
Semua hal, mulai dari persiapan sampai pada prosesi dan hal yang terkait di dalamnya harus didokumentasikan, “Dari budaya tutur itu, saya harus mencatat. Termasuk syair dalam gending, kesalahan lafal bisa menjadikan Sanghyang Dedari tak merasuki penari. Sehingga komunikasi antara Dewi Sri dan warga tak mungkin terjadi,” ujar Sara, di sela-sela pembukaan Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha, Selasa (12/11) di Desa Geriana Kauh, Karangasem.
Dari berbagai wawancara dengan pendeta dan tetua adat, Saras menemukan ketidakkonsistenan, antara penutur satu dengan yang lainnya. Saras pun harus terbang ke Belanda, dan menggali arsip dari Universitas Leiden, “Di sana saya menemukan sudah ditulis dalam huruf latin,” kata Saras. Berbekal naskah gending itu, Saras meminta bantuan peneliti Bali, untuk mengembalikannya ke dalam Bahasa Bali Kuno, dan ditulis pada daun lontar.
Kesulitan utama adalah nada gending Dedari, syair atau tembang, dan penari sempat hilang karena semuanya adalah budaya tutur. Menurut Saras, ini seperti merekonstruksi sesuatu yang hilang, menyusunnya dari mozaik yang berserakan. Apalagi, pengambilan foto atau video tak diperbolehkan dengan bebas. Bahkan, bila Sanghyang Dedari tak berkenan, acara itu bisa gagal. Dan secara psikologis sangat mempengaruhi warga, karena berkaitan dengan pertanian.
Usai tercatat dengan baik, mantera atau syair dalam gending itupun dipakai untuk ritual dan berhasil. Nyoman Subratha dan waga desa adat pun berterima kasih kepada FIB UI dan Saras, dengan begitu ritual kuno yang nyaris punah itu bisa lestari.
Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha merupakan museum yang menyimpan sejarah Tari Sanghyang Dedari, yang nyaris punah. Dok. FIB UI
“Lalu pada 2017, saya mengusulkan dibanggunnya museum dengan bantuan Pak Ali Akbar dan Mas Danang yang telah membangun banyak museum, akhirnya terwujud museum ini,” ujarnya. Namun, museum yang dibangun warga desa dan FIB UI itu tak berlangsung mulus. Pembangunan museum yang dimulai pada 1 Januari 2017 dan hampir rampung, tiba-tiba pada 22 September 2017, Gunung Agung erupsi. Museum pun terkena imbasnya.
“Syukur tak sampai rusak total, namun pembangunan terhenti,” ujar Saras. Museum tersebut akhirnya benar-benar beres pembangunannya pada 2018, dengan menghabiskan biasa Rp400 juta atas bantuan FIB UI dan swadaya warga.
Tarian ini sempat tak dimainkan selama 30 tahun, karena warga dipaksa oleh pemerintah Orde Baru melaksanakan Revolusi Hijau. Padi rekayasa genetika, pupuk kimia, dan sistem bercocok tanam modern dipaksakan, hal itu membuat tercerabutnya akar budaya.
“Penanaman padi mase (padi organik lokal), sistem pengairan subak, dan semua ritual pertanian di Bali, terikat satu sama lain. Sehingga penghilangan salah satu komponennya, turut pula menghilangkan semuanya, termasuk Tari Sanghyang Dedari,” ujar Saras.
Akibat Revolusi Hijau itu, Nyoman Subratha mengenang desanya berkali-kali gagal panen, akibat wereng. Lalu muncul berbagai penyakit tanaman dan hama, padahal petani di desanya telah mengikuti prosedur dari penyuluh, “Percaya atau tidak,” ujar Subratha. Lalu tarian ritual itu dihidupkan lagi, dan warga sejak awal 2000 hingga kini belum pernah mengalami gagal panen.
Tari Sanghyang Dedari tak bisa dilihat setiap waktu ataupun dipublikasikan dengan mudah. Museum ini memberi gambaran yang jelas mengenai tarian langka itu. TEMPO/Ludhy Cahyana
Namun menurut Saras, pekerjaan rumah lanjutan adalah agar sawah-sawah organik ini tak berubah menjadi hotel, resor, ataupun vila yang mencaplok tanah produktif. Jangan sampai pariwisata merusak budaya di desa adat, “Itu yang bikin saya tak bisa tidur memikirkannya,” ujar Saras.
Namun ia berharap, seandainya masyarakat nanti menerima pariwisata, maka agrowisata dan ekowisata yang harus diterapkan di Desa Adat Geriana Kauh. Dengan begitu, alam, dan budaya dapat dilestarikan.
LUDHY CAHYANA