Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Karangasem - Tari Sanghyang Dedari, bukanlah pertunjukan yang bisa disaksikan sewaktu-waktu. Tarian ini hanya diadakan setahun sekali, dengan ritual yang sangat panjang. Bahkan, menyaksikannya tak bisa semua orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat tarian ini dipentaskan pada malam hari, enam hingga tujuh penari tampil -- biasanya salah satunya gagal -- melanjutkan penampilannya. Mereka dalam keadaan dirasuki roh Sanghyang Dedari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para penampil itu adalah bocah-bocah perempuan yang belum akil balig atau belum menstruasi. Mereka menjadi bidadari untuk wahana merasuknya Sang Hyang Dedari. Mereka yang dalam keadaan trans itu, lalu menarikan tarian yang menirukan gerakan padi di sawah.
Tarian yang lebih kepada ritual pemujaan terhadap bumi ini memang langka. Dulu, pada abad ke-8, tarian ini dilaksanakan di setiap desa di Bali. Lalu punah, karena memerlukan komunitas pemain gamelan yang khusus, para penari yang khusus pula, dan tembang yang hanya diajarkan lewat penuturan.
Akibatnya, ketika penuturan itu salah, maka yang terjadi tembang atau mantra pemanggil Sang Hyang Dedari pun turut keliru dan ritual pun gagal, “Untuk merekonstruksi, saya harus mewawancarai banyak kepala desa adat dan melihat manuskripnya di Leiden, Belanda, dalam bahasa latin. Lalu menyusunya menjadi bahasa Bali Kuno atau Sansekerta,” ujar Saraswati Putri peneliti Tari Sanghyang Dedari.
Ritual saat soft launching Museum Shangyang Dedari Giri Amertha. Dok. FIB UI
Rekonstruksi dari titik nol atau menyambung mosaik yang tercerai berai, memang membutuhkan keuletan dan keteguhan hati. Untuk melestarikan tarian ini, dibangunlah Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha yang menghabiskan biaya Rp441 juta, atas bantuan Universitas Indonesia dan swadaya masyarakat. Pada 12 November, Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha dipublikasikan secara resmi melalui soft launching.
Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) yang terdiri atas Dosen Filsafat FIB UI Saraswati Putri dan Dosen Arkeologi Ali Akbar, berkolaborasi dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI (DRPM UI) serta Masyarakat Adat Geriana Kauh meresmikan museum tersebut pada Selasa (12/11) di Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem, Bali. Peresmian dihadiri oleh Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumantri, Kasubdit Riset RPM UI Dede Djuhana, Dekan FIB UI Adrianus L.G Woworuntu, serta Ketua Desa Adat Nyoman Subratha.
Museum berbasis komunitas, dengan luas bangunan berkisar 100 meter persegi ini berdiri di tengah Desa Adat Geriana Kauh yang asri, hijau dan sarat akan budaya. Desa setempat dikenal sebagai desa dengan sawah padi organik yang menawan. Dengan pemandangan Gunung Agung yang gagah.
Tari Sanghyang Dedari tak bisa dilihat setiap waktu ataupun dipublikasikan dengan mudah. Museum ini memberi gambaran yang jelas mengenai tarian langka itu. TEMPO/Ludhy Cahyana
Museum tersebut menjadi pusat dokumentasi Tari Sang Hyang Dedari baik itu foto, tulisan, maupun tayangan audio visual serta lontar berisi nyanyian Tari Sang Hyang Dedari. Pendirian Museum telah dimulai pada 30 Oktober 2016 dan fisik museum telah tuntas diselesaikan pada akhir November 2018. Pengerjaan Museum sempat terhenti akibat diterpa bencana meletusnya Gunung Agung pada September 2017. Namun, bangunan tetap berdiri kokoh dan penataan interior serta diorama yang menampilkan Tarian Sang Hyang Dedari dan kebudayaan lainnya tetap dilanjutkan.
Tari Sang Hyang Dedari merupakan tarian sakral yang telah ditetapkan oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia. Saat ini, Desa Adat Geriana Kauh menjadi satu-satunya Desa di Bali yang secara konsisten menjalankan praktik ritual menyambut panen “Tari Sanghyang Dedari”.
Saraswati dan tim telah terjun langsung ke Desa Adat tersebut sejak tahun 2016, untuk memahami, berafeksi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Saraswati menambahkan, “Kami melihat bahwa masyarakat Desa Adat Geriana Kauh menyadari akan pentingnya melestarikan warisan budaya leluhur mereka. Untuk itu, kami menggagas pendirian museum ini sehingga dapat menopang keberadaan Tari Sang Hyang Dedari. Usai peluncuran, Museum yang kami dirikan ini akan kami serahkan kepada masyarakat,” ujar Saras.
Dengan demikian bangunan tersebut menjadi milik komunitas yang nantinya akan dijalankan untuk kepentingan warga desa. FIB UI mengarahkan warga adat setempat untuk dapat mempertahankan tradisi mereka sehingga ke depannya diharapkan Desa Adat Geriana Kauh dapat menjadi pusat ekowisata desa.
Pakaian yang digunakan penari Sanghyang Dedari. TEMPO/Ludhy Cahyana
Tidak sebatas membangun dan mengisi Museum, Tim Pengmas FIB UI juga turut meningkatkan kapasitas masyarakat, dengan memberikan edukasi pengelolaan museum sehingga masyarakat setempat dapat menjalankan operasional muesum secara swadaya dan profesional.
Selain itu, Tim Pengmas juga membagikan ilmu mitigasi bencana. Pengetahuan ini menjadi sangat krusial mengingat Desa Adat Geriana Kauh berlokasi di kawasan rawan bencana, khususnya dari ancaman lahar serta awan panas letusan api Gunung Agung. Diharapkan, aksi nyata Tim Pengmas FIB UI di dalam membangun kapasitas dan kemandirian kelompok dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. LUDHY CAHYANA