Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tangan menyangga tempat berdiri perempuan. Citraan itu sekilas seperti badut dalam suasana sirkus. Tulisan “terror kota” terselip di antara kupluk merah jambu. Poster hitam-putih menjadi latar gambar perempuan. Poster itu bertulisan “partai lama partai baru lagu lama tukang tipu”. Tengkorak manusia berkopiah menggigit sebatang rokok bertulisan “Rp”. Ada pula poster wajah mantan Wakil Presiden Boediono.
Kios berhias karya seni grafiti dan poster itu adalah karya bersama seniman street art dalam pameran kelompok berjudul “PAUSE”. “Kios itu dibeli langsung dari seorang pedagang kios di Magelang,” kata salah seorang di antara penggagas pameran kelompok seni Street Fighter, Isrol Triono atau Isrol Medialegal.
Pameran berlangsung pada 14 Februari-11 Maret 2015 di ViaVia Café & Alternative Art Space Jalan Prawirotaman 30, Yogyakarta. Sejumlah seniman street art dari berbagai tempat terlibat dalam pameran itu. Di antaranya Bujangan Urban dari Jakarta, W94 dari Solo, Love Hate Love dari Yogyakarta, XGO dari Surabaya, Stupidkill dari Bandung, Slurb dari Semarang, dan Wanted Terror dari Magelang.
Menurut Isrol, kios itu menjadi ruang untuk memajang karya berisi kaus, emblem, dan poster karya seniman Street Fighter. Gagasan membuat karya adalah kios lekat dengan jalan, sebagai tempat untuk menjual barang kebutuhan manusia. Selain memamerkan kios penuh coretan, seniman menyajikan karya seni dalam bentuk grafiti dan mural di dalam ruangan kafe.
Ada juga karya seni street art ciptaan seniman XGO berjudul Weapon, yang menggambarkan enam obyek. Di antaranya gambar kuas, timba cat, pensil, dan cutter atau pemotong. Gambar mini itu dibuat menggunakan warna-warna cerah, di antaranya merah, kuning, dan hijau. Ada pula mural karya Gindring Waste dari Magelang yang menghias dinding lantai dua kafe. Mural itu menampilkan gambar pria bertopi yang meringis, menampakkan giginya.
Kurator Viavia, Renie Emonk Agustine, menyatakan jalanan adalah urat nadi dari sebuah wilayah atau kota. Di sana terjadi berbagai macam hal, dari aktivitas ekonomi, sosial, hingga politik. Jejak kekerasan dan perebutan ruang publik terekam pula di jalanan. “Jalan menjadi obyek sekaligus subyek langsung dari proses perubahan yang terjadi, dari sebuah masa, periode, atau bahkan rezim suatu pemerintahan,” ucapnya.
Kata jalanan dalam kegiatan street art tidak hanya menunjukkan tempat, tapi lebih pada sifat yang dimilikinya. Jalanan dianggap mempunyai sifat longgar terhadap sesuatu. Ini memungkinkan pelaku street art mengekspresikan pendapat mereka. Jalanan adalah ruang dan juga identitas dari seniman street art.
Tema “PAUSE” dalam pameran terilhami oleh tombol pause yang bermakna jeda atau berhenti sejenak dari sebuah aktivitas. Maksudnya bukan berhenti, melainkan memulai perjalanan berikutnya. Pameran ini menjadi pemicu kreativitas para pelaku street art.
Mereka yang terbiasa akrab dengan dinding-dinding perkotaan ataupun sudut jalanan menggunakan media alternatif lain. “Ini untuk tetap mempertahankan nuansa jalanan pada karya street art, meski telah berpindah ke dalam ruang galeri,” ucapnya.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini