Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

3 Hakim MK Dissenting Opinion, Pakar UI: Persoalan Hukum Pemilu Bukan Isapan Jempol

Pakar kepemiluan UI Titi Anggraini menyoroti dissenting opinion tiga hakim MK dalam putusan sengketa pilpres.

24 April 2024 | 08.52 WIB

Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini saat ditemui di Pusdik MK, Bogor, Jawa Barat pada Rabu, 6 Maret 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari
material-symbols:fullscreenPerbesar
Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini saat ditemui di Pusdik MK, Bogor, Jawa Barat pada Rabu, 6 Maret 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyoroti dissenting opinion alias pendapat berbeda tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan sengketa pilpres.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Jadi, dissenting (opinion) itu menurut saya mengonfirmasi bahwa persoalan dan permasalahan hukum pemilu di Indonesia itu bukan isapan jempol," ujar Titi saat dihubungi pada Selasa malam, 23 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti diketahui, hakim konstitusi Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih berpendapat bahwa seharusnya MK mengabulkan sebagian permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. dengan melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah wilayah.

Sedangkan lima hakim lainnya, yaitu Suhartoyo, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Daniel Yusmic P. Foekh berpendapat menolak secara keseluruhan permohonan pemohon. Dengan demikian, putusan yang dijatuhkan MK adalah di mana ada suara terbanyak, yakni menolak permohonan secara keseluruhan.

Titi menjelaskan mengapa dia mengatakan ada permasalahan hukum pemilu. Ini karena tiga hakim MK tersebut--yang memiliki kapasitas keilmuan dan penguasaan hukum konstitusi--meyakini telah terjadi kecurangan yang mencederai asas dan prinsip pemilu yang bebas dan adil.

"Setidaknya tiga hakim ini menggambarkan kompleksitas dan problematika pemilu di Indonesia," ucap Titi.

Dalam dissenting opinion masing-masing, tiga hakim konstitusi menyoroti pemberian bantuan sosial alias bansos di sejumlah wilayah, ketidaknetralan aparatur negara, hingga kurang optimalnya KPU dan Bawaslu.

Hanya saja, kata Titi, aliran hukum di antara hakim Mahkamah Konstitusi itu berbeda dalam melihat permasalahan pemilu tersebut. Titi menuturkan, lima hakim memiliki aliran hukum legalistik formal.

Aliran tersebut, kata dia, mengedepankan formalisme hukum di mana pendekatannya cenderung pragmatis. Sehingga MK terbatas melakukan penegakan keadilan subtansial.

"Tapi tiga hakim yang lain punya aliran atau pendekatan hukum progresif, di mana kekosongan hukum dan juga ketiadaan teks-teks formal yang mengatur sebuah peristiwa yang bisa mengancam praktim pemilu yang luberjurdil, itu tidak boleh dibiarkan," beber Titi.

 

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus