Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan KSAD Jenderal Dudung Abdurrachman yang menginstruksikan prajuritnya mengecam anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon dianggap tidak menghormati supremasi sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pernyataan Dudung itu menuai kritik dari masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka menilai protes Dudung sebagai cerminan tentara yang berpolitik dan tidak profesional menjaga pertahanan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Apa Itu Supremasi Sipil?
Dalam jurnal Armed Forces & Society (1992), Kenneth W. Kemp and Charles Hudlin mengungkapkan bahwa supremasi sipil merupakan tradisi demokrasi di Amerika Serikat yang menekankan bahwa angkatan bersenjata suatu negara harus selalu di bawah kontrol masyarakat sipil.
Supremasi sipil sangat berkaitan erat dengan prinsip dasar demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dapat terganggu apabila militer, yang mempunyai wewenang monopoly of violence, penggunaan kekerasan secara sah, tidak berada di bawah kontrol sipil.
Mengutip jurnal berjudul Intelijen Pertahanan dan Politik Supremasi Sipil yang diterbit di berkas.dpr.go.id, dalam teori hubungan sipil-militer, Huntington mengatakan bahwa pengendalian sipil terhadap militer menurut kenyataan dilakukan melalui dua cara, yaitu pengendalian sipil objektif (objective civilian control) dan pengendalian sipil subjektif.
Kontrol sipil objektif dipandang Huntington sebagai pengendalian sipil terhadap militer secara sehat karena profesionalisme militer diperbesar porsinya.
Sedangkan pengendalian sipil subjektif akan membawa hubungan sipil-militer tidak sehat atau memburuk karena pengendalian ini dilakukan dengan memperbesar kekuatan sipil dibandingkan dengan kekuatan militer (kaum militer diabaikan).
Reformasi intelijen Indonesia tidak terlepas dari konteks supremasi sipil. Hal ini kemudian secara riil dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001, yaitu dengan perubahan BAKIN menjadi BIN dan pertanggungjawaban intelijen pada Presiden dan DPR.
Sebelum lahir UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN berada di bawah kendali pemerintahan hasil Pemilu (supremasi sipil) dengan Kepala BIN yang ditunjuk langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden. Meskipun kemudian lahir UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN dianggap masih mengadopsi karakter militeristik yang konservatif.
DELFI ANA HARAHAP