Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ratusan alat sadap masuk ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Penggunaan alat itu dianggap berpotensi melanggar hak warga negara.
Sayangnya, aturan yang ada tak menyebutkan soal pengawasan secara ketat.
DATA Amnesty International Security Lab menemukan berbagai lembaga memasukkan ratusan alat sadap ke Indonesia pada periode 2019-2021. Mengutip laporan majalah Tempo edisi 5 Mei 2024 soal modus mendatangkan perangkat surveilans, nilai impor peralatan teknologi tersebut mencapai US$ 10,87 juta atau sekitar Rp 158 miliar menurut kurs saat itu. Penggunaan alat yang bisa melanggar hak asasi manusia itu minim pengawasan karena tak adanya payung hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Intersepsi atau penyadapan merupakan sebuah tindakan yang boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana. Tindakan itu diatur dalam berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Intelijen, Undang-Undang Telekomunikasi, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyatakan banyaknya lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan seharusnya dibarengi oleh pengawasan ketat. Dia menyatakan hal itu bertujuan agar penggunaan alat sadap tetap pada koridor penghormatan hak asasi warga negara. “Semua juga harus memenuhi ketentuan penghormatan pada hak asasi warga negara dan tentunya harus bisa dipertanggungjawabkan,” kata Bambang saat dihubungi, kemarin.
Menurut Bambang, lembaga penegak hukum, seperti Polri, sebenarnya telah memiliki aturan tata cara penyadapan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat Pemantauan Polri. Dalam aturan itu disebutkan bahwa penyadapan bisa dilakukan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim).
Pasal 6 aturan tersebut menyatakan Kabareskrim harus mengajukan permohonan izin kepada ketua pengadilan negeri sesuai dengan tempat operasi dilakukan. Operasi penyadapan baru boleh dilakukan setelah mendapat izin dari ketua pengadilan negeri.
Operasi tersebut dilaksanakan oleh Pusat Pemantauan Polri yang dipimpin oleh kepala pelaksana harian yang ditunjuk oleh Kabareskrim. Pusat pemantauan bertugas mendukung pelaksanaan tugas penyadapan atas permintaan penyelidik dan/atau penyidik.
Bambang menyatakan aturan tersebut sebenarnya memperlihatkan standar operasional yang ketat. Bahkan prinsip peraturan Kapolri tersebut juga meliputi pelindungan HAM, legalitas, kepastian hukum, pelindungan konsumen jasa telekomunikasi, partisipasi, dan kerahasiaan.
Namun Bambang melihat tak ada pengawasan eksternal yang diberi kewenangan kuat oleh negara untuk memastikan standar operasional tersebut dijalankan. Walhasil, dia menilai kewenangan itu rawan penyalahgunaan. “Upaya penyelidikan maupun penyidikan dengan menggunakan peralatan penyadapan minim pertanggungjawaban sehingga rawan disalahgunakan,” ujarnya.
Pasal 22 peraturan Kapolri itu hanya menyatakan Kabareskrim juga bertindak sebagai pengawas dalam operasi penyadapan. Meskipun demikian, kewenangan Kabareskrim terbatas. Posisi yang biasanya diisi oleh jenderal bintang tiga itu tak berwenang mengawasi produk hasil penyadapan.
Soal pengadaan alat sadap kepolisian, Markas Besar Polri menjawab permintaan wawancara melalui surat yang diterima di gedung Tempo, Jakarta Selatan, pada 3 Mei 2024. Surat itu atas nama Kepala Biro Pengelolaan Informasi dan Data Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Tjahyono Saputro.
Dalam surat itu, Tjahyono menuliskan informasi soal pengadaan alat dan teknologi sadap merupakan informasi yang tidak bisa disampaikan kepada publik. “Informasi yang diminta mengenai penggunaan teknologi surveilans pada Polri merupakan salah satu informasi yang dikecualikan di lingkungan Polri,” demikian Tjahyono menulis.
Pengecualian itu didasarkan pada Keputusan PPID Polri Nomor: KEP/21/IV/H.U.K/2021 Tanggal 30 April 2021 tentang Klasifikasi Informasi yang Dikecualikan terkait dengan Alat Material Khusus (Almatsus) Polri di Lingkungan Polri.
Selain Polri, institusi lain yang diperbolehkan melakukan penyadapan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Intelijen Negara. Mereka melakukan penyadapan untuk menelusuri kejahatan luar biasa yang dilakukan oleh seseorang.
KPK merupakan satu-satunya institusi yang kewenangan penyadapannya diatur secara lebih detail dalam undang-undang. UU KPK bahkan menyebutkan secara spesifik bahwa hasil penyadapan lembaga itu yang tak berhubungan dengan tindak pidana korupsi harus dimusnahkan seketika. Namun lagi-lagi tak ada lembaga eksternal yang bisa mengaudit apakah hasil penyadapan oleh KPK sudah sesuai dengan aturan atau tidak.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan penyadapan pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilarang oleh konstitusi karena melanggar hak privasi menurut Pasal 28G ayat 1 UUD 1945. Namun dia memahami kebutuhan aparat penegak hukum untuk melakukan intersepsi komunikasi guna mengungkap berbagai kejahatan.
Solusinya, menurut dia, adalah membuat aturan agar penyadapan tetap dibatasi dalam koridor menghormati hak warga negara. “Penyadapan bisa diatur khusus agar tidak terjadi pelanggaran atas hak privasi,” tuturnya.
Dia menganggap pembatasan itu diperlukan karena adanya potensi penyalahgunaan wewenang oleh lembaga negara. Pembatasan ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang ditetapkan untuk mengawasi penyadapan. Di berbagai negara, menurut dia, pengawasan itu dilakukan tak hanya oleh lembaga eksekutif. Karena itu, dia pun menilai pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penyadapan yang mandek sejak 2015. “Di negara lain, pengawasan dilakukan oleh Ombudsman dan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Jika lembaga intelijen salah sasaran, korbannya bisa menuntut rehabilitasi,” katanya.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani (tengah), dalam forum group discussion dengan tema "Urgensi RUU tentang Penyadapan dalam Sistem Penegakan Hukum Berbasis Prinsip Due Process of Law" yang diselenggarakan di Jakarta, 2021. Dok. DPR/Ria/Man
Penyusunan RUU Penyadapan sejatinya merupakan mandat dari Mahkamah Konstitusi sejak 2011. Dalam Putusan Nomor 5/PUU-VII/2010, MK mencabut ketentuan Pasal 31 ayat 4 UU ITE yang menyatakan penyadapan bisa diatur dalam peraturan pemerintah. Putusan itu menyatakan penyadapan seharusnya diatur di tingkat undang-undang untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
Komnas HAM menilai RUU Penyadapan sangat penting untuk segera disahkan karena bersinggungan dengan prinsip-prinsip HAM. Mereka sempat memberikan rekomendasi tiga prinsip yang harus masuk rancangan tersebut.
Pertama, tidak boleh ada diskriminasi antar-penyelenggara penyadapan dalam konteks penegakan hukum. Kedua, dalam pelaksanaan penyadapan, penyidik harus langsung mengajukan ke pengadilan. Ketiga, penyidik cukup memberikan identitas pihak yang akan disadap ke pengadilan dan tak perlu menyampaikan substansi informasi apa yang akan mereka cari.
Komisioner Komnas HAM Bidang Pengkajian dan Penelitian Saurlin P. Siagian mengatakan saat ini belum ada pengkajian khusus terhadap RUU Penyadapan. Aduan kasus yang berhubungan dengan tindak penyadapan juga disebut masih nihil. “Aduan perihal penyadapan sejauh ini belum ada,” ucapnya saat dihubungi, kemarin.
Sayangnya, RUU Penyadapan itu hingga kini masih mandek di Senayan. Laporan majalah Tempo pada Juni 2023 berjudul "Tarik Ulur RUU Penyadapan" menyebutkan masih ada tarik-ulur pembahasan sejumlah pasal di DPR yang belum kelar. Contoh aturan yang masih diperdebatkan adalah soal penyadapan hanya bisa dilakukan untuk kasus pidana tertentu dengan ancaman 5 tahun penjara atau lebih.
Selain itu, ada soal alat sadap oleh penegak hukum hanya bisa dilakukan pada tahap penyidikan serta soal masa penyimpanan hasil penyadapan oleh penyidik paling lama dua tahun. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto serta legislator lain tak menjawab pertanyaan Tempo soal nasib RUU Penyadapan itu saat ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo