Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Azhar, tangan kanan sang "imam"

Ashar bin mohammad safar, dalam kasus menentang uud'45 dan pancasila menolak diadili di pengadilan negeri, minta diadili oleh pengadilan yang memakai hukum islam. (hk)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI juga "otak" penyerangan Pos Polisi Cicendo, Salman, anggota kelompok Imran yang lain, Azhar bin Mohammad Safar, cukup merepotkan pengadilan. Dalam sidang pertama pertengahan Agustus ini, misalnya, Azhar menolak diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia meminta diadili oleh pengadilan yang memakai hukum Islam. Ia juga menolak pembela yang sudah disiapkan dari LBH DKI. Akibat protes-protesnya itu, Ketua Majelis Hakim, Pitoyo, tidak sabar lagi. Ia minta tertuduh meninggalkan ruang sidang. Dan persidangan pertama itu pun berjalan tanpa hadirnya Azhar. Tapi setelah sidang ditunda dua minggu, Sabtu pekan lalu Azhar sedikit mengendur. Ia bersedia diadili. Bahkan tidak membantah semua berita acara pemeriksaan. "Tangan kanan Imran" itu mengaku, sebagai penghubung antara jamaah dengan Imran. Pimpinan kelompok itu sendiri, Imran, sudah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berkopiah haji, baju teluk belanga putih dan celana digulung di atas mata kaki sebagai tanda anggota jamaah, Azhar membenarkan menentang UUD 45 dan Pancasila, sebagai dasar negara ini. "Lebih baik saya menantang pemerintah Soeharto, paling saya dihukum mati, kalau menantang perintah Allah saya bisa masuk neraka," jawab Azhar di persidangan. Azhar, 38 tahun, membenarkan kegiatannya melatih anggota jamaah menggunakan senjata api. Selain itu, ia juga yang membagikan tugas kepada anggota jamaah sesuai dengan instruksi Imran. Bahkan, 10 Desember 1980, Azhar mengaku memimpin delegasi ke Kedubes Iran, untuk menawarkan jasa menculik Menteri Perminyakan Irak yang berkunjung ke Jakarta. Imbalannya, delegasi itu meminta pemerintah Iran membantu jamaah Imran dengan senjata. Selain itu saksi Bintoro yang diajukan ke sidang kedua Sabtu itu membenarkan dapat perintah dari Azhar mencari dana dan senjata untuk perjuangan mereka. Tapi, "apakah mengumpulkan uang untuk menegakkan agama Islam itu dilarang di Indonesia" tanya Azhar. Rahendra Rifai, saksi lainnya, mengaku melihat senjata api dan bahan peledak di rumah Azhar di Menteng Pulo, Jakarta. Ia juga membenarkan rencana penculikan Menteri Perminyakan Irak untuk ditukarkan dengan Menteri Perminyakan Iran yang ditawan Irak. Anggota jamaah lainnya, Ir. Arminur mengatakan, yakin umat Islam di Indonesia akan dilenyapkan setelah Pemilu 1982. "Ada dokumennya, umat Islam akan ditindas setelah selesai Pemilu," kata Amminur. Dokumen yang diperoleh dari Masjid Salman Bandung itu, kata saksi, merupakan hasil perundingan antara organisasi gereja MAWI, DGI dan lembaga studi CSIS. Atas pertanyaan anggota majelis hakim, Arminur yakin kebenaran isi dokumen yang juga dipercayai jamaah Imran itu. Buktinya, pemerintah mengharuskan minta izin untuk berdakwah, dihapuskannya liburan puasa dan banyaknya porsi siaran TVRI yang dipakai untuk dakwah umat beragama Kristen. Arminur, 29 tahun, mengaku juga membunuh anggota jamaah yang membelot seperti Wijono. "Karena ia murtad dan menurut hadis orang murtad harus dibunuh," ujar Arminur. Penyerangan Pos Polisi Cicendo, menurut saksi, tanpa sepengetahuan Imam Imran, dan merupakan inisiatif dari Salman -- yang juga sudah dijatuhi hukuman mati Azhar juga mengaku, tidak tahu menahu peristiwa Cicendo itu. SATU-SATUNYA keterangan saksi yang dibantah Azhar adalah ucapan H.M. Yusuf tentang ceramahnya di Masjid Bedali Lawang, Malang. Azhar, kata saksi, menyebut Hamka sebagai pelacur. Sebab, bekas ketua Majelis Ulama Indonesia itu bekerja sama dengan pemerintah yang menindas umat Islam. Kata Azhar, ucapannya yang benar ketika itu. "Jangan percaya fatwa-fatwa yang dikeluarkan ulama, contohnya fatwa Hamka." Mengaku mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Yarsi, Azhar mengatakan, perintah untuk melakukan perjuangan itu bukan datang dari Imran, tapi Allah. "Saya menantang Soeharto untuk menaati perintah Allah," ujar Azhar. Kekerasan sikap beberapa jamaah Imran, di depan pengadilan, diakui Hakim Anggota Endang Sutardi sebagai ciri jamaah itu. Beberapa orang saksi yang dihadapkan ke sidang Sabtu lalu itu, misalnya, tidak bersedia bersumpah menurut Islam, tapi hanya berjanji. Namun Hakim Endang Sutardi membenarkan, di balik kekakuan jamaail Imran itu, seperti Azhar, terlihat pula sikap yang jujur. Buktinya, Azhar membenarkan semua berita acara pemeriksaan yang dibacakan jaksa. Tapi tuntutan Azhar untuk diadili dengan hukum Islam, jelas tidak bisa dikabulkan. "Itu tidak mungkin, karena hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah hukum nasional," ujar Endang Sutardi. Pembela LBH, Iwan Pratiwi Setiawan, yang ditolak Azhar untuk mendampingi di persidangan, menilai Azhar lebih keras dan fanatik dari Imran atau Salman. Azhar hanya bersedia didampingi bila Iwan memakai hukum Quran dan Hadis. Azhar bahkan menolak ketika Iwan menawarkan diri sebagai pengawas hukum, seperti di sidang Salman. "Saya cukup diawasi Allah SWT," kata Iwan menirukan Azhar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus