Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Bebas toleransi

Vonis gaya baru dari pn probolinggo. mulanya, hakim membebaskan terdakwa arto. tapi karena arto sudah ditahan 6 bulan, putusan pun diubah sesuai dengan masa tahanan itu. agar tidak terjadi praperadilan.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI vonis gaya baru dari PN Probolinggo, Ja-Tim. Mulanya, hakim melepaskan Arto dari tuntutan hukum, kendati terdakwa terbukti membunuh orang yang memperkosa istrinya. "Sebab, majelis yakin tindakan terdakwa itu semata-mata untuk membela diri," kata Ketua Majelis Hakim Muslich. Tapi karena terdakwa pernah ditahan 6 bulan, belakangan hakim mengubah vonisnya itu menjadi 6 bulan penjara alias impas dengan masa tahanan. "Itu untuk toleransi saja agar tidak ada instansi yang dipraperadilankan," ujar hakim. Sebab itu, Arto, 31 tahun, dua pekan lalu, bebas dari penjara. Kisah sampainya Arto di pengadilan di mulai dari perselisihannya dengan Sipul, 5 tahun. Sipul adalah suami adik istri Arto. Selama setahun belakangan ini, karena belum punya tempat tinggal, Arto mengajak keluarga adik Istrinya itu bermukim di rumahnya, di Desa Rejing, Probolinggo. Rupanya, Sipul tergoda melihat istri Arto, Tumirah, yang bertubuh montok dan berkulit kuning. Apalagi, setelah Sipul kerap mengintip Tumirah mandi. Suatu malam, Arto memergoki Sipul keluar dari kamar istrinya. Sipul mengaku mencari kucing. Tapi Tumirah mengaku diperkosa Sipul. "Saya tak kuasa berteriak. Dia mengancam akan membunuh saya, kalau berani menolak," ujar sang istri, dengan pakaian awut-awutan. Menurut Arto, ini bukan perbuatan Sipul yang pertama kali. "Sebelumnya, juga sudah pernah. Tapi saya memaafkan setelah memberi peringatan," katanya. Dan selain Tumirah, Sipul juga pernah "menggarap" dua perempuan lain di desa itu. Karena Sipul menggoda sana-sini, hansip desa sudah mengincarnya untuk diberi pelajaran. Tapi hansip terlambat. Sipul keduluan mati di tangan Arto. Terjadinya pada suatu siang di bulan Januari, ketika Arto dan Sipul bersama-sama menggarap sawah. Waktu itu Sipul protes pada sikap Arto, yang mogok bicara sejak Sipul main mata dengan Tumirah. Melihat Arto bungkam itu, Sipul protes. "Baru 'dibeginikan' sekali saja, sudah tidak menyapa," kata Sipul, sambil menyurukkan jempolnya di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Arto tak juga menjawab. Rupanya, Sipul penasaran. Diulangi tegurannya. "Kalau kamu tidak suka istrimu, ceraikan saja. Banyak yang mau mengawini," teriak Sipul. Langsung darah Arto menggelegak. "Kalau bicara atur mulutmu," Arto menghardik. Tapi bukannya minta maaf, Sipul malah melayangkan bogem mentah ke kepala Arto. Arto membalas dengan mengebaskan sabit di tangannya ke segala arah. Jurus pencak silat yang dikuasai Arto tumpah semua. Sipul pun tergeletak bersimbah darah. Namun, setelah itu Arto menyerahkan diri ke polisi. Dan di persidangan, petani yang cuma berpendidikan kelas III SD itu mengaku terus terang. "Dalam pemeriksaan dia menyatakan pengakuannya yang polos dan murni," kata Muslich, ketua majelis hakim tadi. Untuk itu, jaksa menuntut hukuman 1,5 tahun penjara atas perbuatan menganiaya berat yang menyebabkan kematian. Tapi, melihat bukti-bukti di persidangan, hakim berkeyakinan bahwa Arto membunuh untuk membela diri. Maka, Arto dilepaskan dari tuntutan hukuman. Jaksa juga menganggap putusan hakim itu sudah tepat, karena itu tidak banding. Tapi, anehnya, putusan bebas itu kemudian diubah menjadi 6 bulan. Persoalannya, sejak melapor sampai ke persidangan, Arto sudah sempat mendekam di penjara selama 6 bulan. "Maka, saat itu kami putus vonis 6 bulan, persis masa tahanannya. Kalau tidak, 'kan ada pihak yang kena praperadilan. Itu putusan toleransi," katanya. Lucunya, jaksa menerima vonis baru itu. Sikap hakim yang seperti ini diprotes oleh Ketua Peradin Cabang Malang. "Seharusnya, hakim tidak mengenal toleransi, kebijaksanaan, dan semacamnya, dalam menyampaikan putusan," kata Siswandhi. Menurut Siswandhi, jika hakim yakin bahwa Arto membunuh karena membela diri, berdasarkan pasal 49 KUHP terdakwa harusnya bebas. "Bukan dihukum 6 bulan," katanya. Siswandhi juga heran pada tuntutan jaksa, yang hanya 1,5 tahun. Padahal, hukuman terberat bagi penganiayaan yang menyebabkan kematian adalah 7 tahun. "Seorang hakim seharusnya tak boleh ragu-ragu dalam menetapkan putusan," ujar Siswadhi lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus