Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan lembar seng itu mengelilingi lahan seluas 1.300 meter persegi. Berjejer dipaku membentuk pagar, seng-seng tersebut menutup akses dari mana pun menuju masjid yang berada di dalamnya. Itulah Masjid Al-Misbah, masjid milik warga Ahmadiyah yang terletak di Jalan Pangrango Terusan Nomor 44, Kelurahan Jatibening Baru, Pondok Gede, Bekasi. Kendati sudah dikurung, di masjid itu masih terdapat sekitar 20 anggota jemaah. "Kami akan terus bertahan di sini," kata Deden Sudjana, salah seorang warga Ahmadiyah yang berada di masjid itu, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Kamis dua pekan lalu, pemerintah Bekasi menyegel masjid tersebut. Beberapa hari sebelumnya, kabar penyegelan itu santer terdengar. Karena itu, sejak sekitar pukul 15.00, puluhan anggota jemaah Ahmadiyah berdatangan ke Masjid Al-Misbah. Sebagian bersiaga di depan masjid. Mereka bertekad melawan penyegelan.
Pemerintah Bekasi mengerahkan sekitar 50 anggota Satuan Polisi Pamong Praja serta puluhan polisi dan tentara untuk "mengamankan" penyegelan itu. Mereka bersiap di sekitar masjid sejak pukul 14.00. Polisi Pamong Praja berada di barisan paling depan, berjejer rapi, berhadapan dengan para anggota jemaah Ahmadiyah.
Sekitar pukul 19.00, Kepala Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kota Bekasi Radi Mahdi melakukan pembacaan surat perintah pemagaran, yang diiringi dengan merangseknya puluhan personel Satuan Polisi Pamong Praja menghalau jemaah. Kekacauan pun terjadi. Jemaah mencegah anggota Polisi Pamong Praja memasuki wilayah mereka sembari berteriak-teriak menyatakan tempat ibadah itu legal.
Kalah jumlah, warga Ahmadiyah kocar-kacir. Mereka masuk ke masjid dan mengunci pintu. Maka pemagaran pun terjadi. Awalnya yang bertahan di masjid sekitar 30 orang. Tapi, belakangan, beberapa di antaranya terpaksa keluar dari sana lantaran sakit. Menggunakan sejumlah mobil warga, mereka dilarikan ke rumah sakit di sekitar Bekasi.
JANUR masih ingat awal kehadiran warga Ahmadiyah di tempatnya, 28 tahun silam. Saat itu, seseorang bernama Abdurrahmah Syakib mendatangi rumahnya, menyatakan tertarik membeli tanahnya seluas 1.300 meter persegi. Di atas tanah itulah kemudian berdiri Masjid Al-Misbah, yang kini terletak persis di seberang rumahnya. Saat itu, Janur memasang harga Rp 20 ribu per meter persegi. Sang tamu menawar Rp 19 ribu. "Saya kasih karena dia berniat mau membuat masjid," ujar pria 75 tahun itu kepada Tempo.
Awalnya Syakib tak menjelaskan masjid itu akan dijadikan pusat ibadah jemaah Ahmadiyah Bekasi. Baru setelah terjadi akad jual-beli, dia menceritakan soal itu kepada Janur. Kala itu, menurut Janur, masjid tersebut baru berupa musala. Kecil dan sederhana. Jemaahnya hanya belasan. "Mungkin karena mereka kekurangan dana," kata Janur. Pada 1992, seiring dengan makin berkembangnya dakwah Ahmadiyah di sana, musala itu dirombak. Maka berdirilah masjid yang dengan jelas menunjuk identitas pemiliknya, jemaah Ahmadiyah. "Nama awalnya Masjid Ahmadiyah Cabang Bogor," ucap kakek empat cucu ini.
Menurut Janur, saat itu hubungan penduduk dengan anggota jemaah Ahmadiyah tak bermasalah. Mereka saling menghormati. Ada lima rumah milik anggota jemaah Ahmadiyah yang kemudian berdiri di wilayahnya. "Penduduk yang beragama Islam memang tidak beribadah di masjid mereka," ujar Janur. Kepada Tempo, Deden Sudjana membenarkan cerita Janur. Menurut dia, jemaah Ahmadiyah di Bekasi memang terus berkembang dan kini berjumlah sekitar 400 orang. "Kami berupaya menjaga ketertiban dan tak mengusik kelompok lain," kata pria yang juga menjabat Kepala Keamanan Nasional Ahmadiyah ini.
Keberadaan Ahmadiyah di Bekasi mulai terusik sejak terjadinya "peristiwa CikeuÂsik" pada 2011. Ketika itu, ratusan penduduk menyerang serombongan anggota jemaah Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang, Banten. Mereka menolak kehadiran Ahmadiyah, yang dinilai menodai agama Islam. Pascaperistiwa ini, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengeluarkan Peraturan Nomor 12 Tahun 2011. Intinya melarang jemaah Ahmadiyah melakukan aktivitas ibadah dan penyebaran agama mereka di wilayah Jawa Barat. Aturan itu juga memerintahkan bupati dan wali kota menetapkan langkah operasional penanganan warga Ahmadiyah di daerah mereka.
Sejak itulah sejumlah organisasi kemasyarakatan melakukan unjuk rasa mendesak pelaksana tugas Wali Kota Bekasi saat itu, Rahmat Effendi, yang menggantikan Mochtar Muhammad, yang terjerat kasus korupsi, menutup Masjid Al-Misbah. Pihak Ahmadiyah, yang merasa terancam, segera "menyembunyikan" identitas mereka. Plang "Masjid Ahmadiyah Cabang Bogor" diturunkan, diganti menjadi "Masjid Al-Misbah".
Kepada Tempo, Ahmad Maulana, anggota jemaah Ahmadiyah yang tinggal di dekat Masjid Al-Misbah, menyatakan, ketika itu, pihaknya sempat melakukan pertemuan dengan Rahmat Effendi. Rahmat juga pernah mengunjungi masjid mereka dan salat Jumat di sana. "Dia bahkan mengatakan tidak ada perbedaan ritual Ahmadiyah dengan agama Islam pada umumnya," ujar Ahmad.
Karena itulah mereka kecewa ketika, pada 2011, Rahmat mengeluarkan Peraturan Nomor 40 Tahun 2011, yang isinya melarang aktivitas Ahmadiyah di Bekasi. Aturan itu benar-benar menohok Ahmadiyah. Pasal 4 aturan itu, misalnya, menyatakan Pemerintah Kota Bekasi bisa menghentikan dengan paksa kegiatan Ahmadiyah jika mereka terus melakukan aktivitasnya. Pelarangan itu juga terpampang dalam papan yang didirikan di dekat pagar Masjid Al-Misbah. Gejolak massa pun sempat meredam setelah munculnya peraturan tersebut.Â
Kendati dilarang, diam-diam kegiatan di Masjid Al-Misbah tetap berjalan. Rupanya inilah yang membuat berang lagi sejumlah organisasi Islam di sana. Isu Front Pembela Islam bakal menggeruduk berkali-kali muncul. Pada 14 Februari lalu, Pemerintah Kota Bekasi kembali memberikan teguran kepada jemaah Ahmadiyah dan memasang plang tanda masjid itu disegel. Jemaah menolak. Pada 7 Maret 2013, pemerintah Bekasi kembali menyegel Masjid Al-Misbah. Kali ini mereka menggembok pagar dan sejumlah gerbang di sana. Warga Ahmadiyah melawan dan membongkar gembok tersebut.
Puncaknya terjadi pada Kamis dua pekan lalu itu. Sejumlah anggota FPI mendatangi Rahmat Effendi, yang resmi menjadi Wali Kota Bekasi sejak April 2013, dan mendesaknya bertindak lebih keras terhadap jemaah Ahmadiyah. Menurut Deden, FPI mengancam akan membubarkan paksa jemaah Ahmadiyah jika Wali Kota tak juga bertindak tegas. "Sore harinya langsung keluar surat perintah penyegelan itu," ucap Deden.
Kepada Tempo, Rahmat Effendi mengaku terpaksa melakukan penyegelan dengan mengerahkan aparat keamanan karena desakan sejumlah kelompok masyarakat. "Ini demi suasana kondusif dan untuk melindungi jemaah Ahmadiyah," ujarnya. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah FPI Bekasi Murhali Barda membenarkan kabar bahwa kelompoknya memang meminta Wali Kota membubarkan jemaah Ahmadiyah. "Tapi kami bukan satu-satunya yang menolak kehadiran mereka," kata Murhali.
Kamis pekan lalu, Pemerintah Kota Bekasi mengundang jemaah Ahmadiyah ke kantor Wali Kota. Di sana mereka ditemui Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu. Ahmad meminta jemaah menanggalkan unsur Islam bila ingin segel masjid mereka dibuka. Jikapun tetap berkeras menjalankan ajaran Islam, mereka mesti bersedia dibina lebih dulu. Jemaah menampik tawaran itu. "Jelas tidak bisa. Kami Islam," ujar Ahmad Maulana, yang ikut pertemuan itu. Pertemuan akhirnya tak menghasilkan apa-apa.
Kini, dalam kurungan seng-seng itu, jemaah Ahmadiyah tetap bertahan. "Pemerintah seharusnya melindungi kami, bukan menzalimi," kata Deden.
Febriyan, Muhammad Ghufron, Hamluddin (Bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo