Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Budyanto Djauhari atau Kokoh AD Djau Bie Than telah menajalani sidang putusan atau vonis di Pengadilan Negeri Tangerang. Budyanto hanya divonis 7 bulan kurungan penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilalukan mantan residivis narkoba ribuan pil ekstasi ini telah rampung disidangkan. Ironisnya, putusan Majelis Hakim PN Tangerang yang diketuai Edy Toto Purba dengan anggota Agung Suhendro dan Kony Hartanto hanya memvonis lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tangerang Selatan 1 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budyanto dalam kasus ini terbukti melakukan KDRT terhadap Tiara Maharani yang merupakan istri sahnya. Kala itu Tiara Maharani tengah mengandung anak dari Budyanto.
Kelapala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Tangerang Herdian Malda Ksasria membenarkan jika terdakwa di vonis 7 bulan penjara dalam sidang yang digelar Selasa 17 Oktober 2023 kemarin.
"Iyah putus 7 bulan dari tuntutan kami 1 tahun penjara," ujarnya, Rabu 18 Oktober 2023.
Istri Budyanto Djauhar korban KDRT minta berdamai
Menurut Malda tuntutan tersebut terjadi lantaran adanya kesepakatan antara korban dan pelaku. "Sudah ada surat perdamaian saat disidangkan. Istrinya minta untuk berdamai," ujarnya.
Namun, kata Malda, atas putusan 7 bulan yang dibacakan majelis hakum ini pihaknya masih pikir - pikir.
"Iyah kami pikir pikir selama 7 hari dan kebijakan pimpinan," ujarnya.
Pakar hukum nilai hakim dan jaksa telah keliru
Menanggapi vonis hakim tersebut, pakar hukum pidana Universitas Pamulang Halimah Humayrah Tuanaya berpandangan tuntutan dan vonis hakim dalam perkara ini sangatlah keliru.
"Pada dasarnya pemaafan dari korban dapat menjadi hal yang dapat dipertimbangkan dalam membuat suatu putusan pidana. Namun, pertimbangannya harus dilakukan secara proporsional," ujarnya.
Hakim, kata dia, juga harus mempertimbangkan riwayat pelaku dalam melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi terdapat kekerasan yang berulang, cenderung akan membahayakan korban kedepannya.
"Hukum pidana menghendaki adanya pemulihan keadaan, sehingga keluarga bisa kembali utuh, namun pertimbangannya harus matang. Keamanan dan keselamatan korban juga harus diperhatikan. Jadi jika jaksa menuntut rendah karena adanya perdamaian, ini jelas keliru. Begitu juga dengan hakim yang justru memutus lebih rendah daripada tuntutan jaksa yang sudah rendah," kata dia.
Halimah mengatakan selain menuntut sanksi pidana, jaksa juga bisa menuntut pelaku dengan pidana tambahan berupa konseling psikologi sebagaimana yang dikenal dalam Pasal 50 UU PKDRT.
"Sehingga tujuan pemulihan keluarga lebih terarah. Korban yang akan kembali hidup berdampingan dengan pelaku dalam satu rumah tangga menjadi lebih terjamin keamanannya. tanpa dituntut Jaksa, menurut hukum, hakim tetap dimungkinkan untuk menjatuhkan pidana tambahan agar terdakwa menjalani konseling. sekali lagi, Jaksa keliru dan Hakim juga keliru," ujarnya.
Kata dia kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pelaku semestinya tidak hanya dipandang sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri. Tetapi juga bentuk kekerasan terhadap anak.
"Berdasarkan UU tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan," kata dia.
Halimah berpendapat pelaku harus dianggap melakukan concursus atau perbarengan tindak pidana. Hal itu, kata dia, melihat ketentuan Pasal 76 C Jo. Pasal 80 UU tentang Perlindungan anak, maka pelaku juga diancam pidana pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
"Bahkan ancaman pidananya ditambah sepertiga, mengingat pelaku adalah ayah korban. Pasal ini semestinya sejak perkara masih dalam penyidikan di kepolisian sudah diterapkan, dan dimasukkan dalam dakwaan oleh jaksa penuntut umum," kata dia.
Dirinya menambahkan seharusnya dalam persoalan ini jaksa dan hakim memperhatikan viralnya kasus ini. Jaksa dan hakim selayaknya memperhatikan efek pencegahan dari sanksi yang diputuskan, sehingga masyarakat dapat teredukasi dan dapat mencegah terjadinya tindak pidana seperti KDRT berulang di masyarakat.
"Sebagai bentuk evaluasi, Kajaksaan Tinggi Banten atau Jamwas mempertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan Jaksa yang menangani kasus tersebut. Demikian juga Pengadilan Tinggi Banten atau Bawas Mahkamah Agung penting untuk memeriksa Majelis Hakim yang mengadili," kata dia.