Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari Mentul Mereka Ke Yogya

Petani di desa Mentul, Blora, menggugat pemerintah & perkaranya ditangani PN Blora. Tanah & sawah mereka tergusur oleh proyek pembangunan gedung Pusdik Migas & ganti ruginya tidak sesuai. (hk)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA petani di Desa Karangboyo, Kecamatan Cepu (Kabupaten Blora), telah sadar hukum. Buktinya, walaupun mereka telah diperlakukan semena-mena tanah dan sawah mereka diambil begitu saja secara melawan hukum oleh penjabat daerah, para petani membalasnya secara baik-baik. Tidak ada yang mencabut golok atau melempari pak bupati atau camat dengan batu. Melalui seorang pengacara Yogya, Marhaban Zainun, petani Karangboyo mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Blora. Hari-hari belakangan ini perkaranya tengah berjalan. Pertengahan Nopember dua tahun lalu, tiba-tiba muncul 6 orang warga Cepu mengungsi ke Yogya. Mereka adalah di antara sekian banyak petani pemilik tanah dan sawah di Mentul (Kecamatan Cepu) yang tergusur oleh proyek pembangunan gedung Pusdik Migas (Pusat Pendidikan Minyak & Gas). Di samping yang kabur ke Yogya, banyak pula yang terpaksa mengungsi ke Jawa Timur, Jakarta dan ke hutan-hutan sekitar kampung halamannya. Rupanya, begitu tanah-tanah mereka dikuasai pemerintah melalui ketidakberesan para penjabatnya, petani merasa keberatan dikejar-kejar. Disebut sebagai sisa-sisa PKI, beberapa petani juga mengalami penahanan dan perlakuan keras dari petugas-petugas keamanan. Sarkam, 60 tahun, adalah pemilik seperempat hektar tanah dari 27 hektar di Mentul yang terkena proyek. Ia menolak uang ganti rugi (Rp 80/meter untuk tanah darat dan Rp 90 untuk sawah) karena dianggapnya terlalu murah. Sarkam lalu diseret ke Kodim. Begitu juga nasib mbok Sarkam yang waktu itu tengah hamil 6 bulan. Aris (51), petani juga, selaku ahli waris Martorejo Raman harus mendekam di Kodim 10 hari dan di Laksus 18 hari. Sedang Sakim 57, pemilik 3 hektar sawah, lolos dari tangkapan. Tapi lama ia harus bersembunyi di hutan Tuban. Ada apa ini? Menurut Tarmizi Yunus, Kepala Kejaksaan Negeri Blora, yang menjadi kuasa pihak pemerintah, khususnya Bupati Blora dan Kepala Pusdik Migas "kita tahu daerah ini adalah basis merah". Itu saja. Marhaban Zainun, pembela, mengajukan perkara Mentul itu dalam 4 gugatan. Masing-masing perkara Suprapto, mbok Suni dan Nasran, Sakim dan para ahli WariS almarhum Martorejo Raman. Tergugat, Bupati Blora dan Kepala Pusdik Migas, kuasanya dipegang oleh Kejari Tarmizi Yunus dalam suatu sidang majelis yang dipimpin Ketua Pengadilan sendiri, Sajono Hardjomidjojo. Kisah awalnya terungkap di pengadilan. Mula-mula rakyat petani tak tahu menahu soal proyek Migas. Hanya, sekitar 1974, mendadak ada satu panitia yang mengumpulkan surat tanah dan sawah dari tangan 39 penduduk melalui Sarekat Desa. Alasannya, petuk (surat tanah itu) akan diperbaharui. Namun setelah pengumpulan petuk, panitia mulai mengukur tanah di sana-sini. Para pemiliknya bingung. Tapi belum juga menyadari apa yang tengah dilakukan orang atas tanah milik turun-temurun itu. Siapa Berani, Ngacung Baru, setelah berpuluh-puluh truk menurunkan bahan bangunan di atas tanah dan sawah mereka -- merusak tanaman palawija dan menghalau tumbuhan keras -- tahulah petani untuk apa petuk mereka dikumpulkan. Tiga hari setelah 'penyerbuan' itu baru panitia menyempatkan diri memberitahu maksudnya kepada petani. Pemilik tanah tak keberatan. Asal, tentunya bicara baik-baik dulu soal ganti rugi. Tapi di antara mereka tal putus kata sepakat soal itu. Akhirnya petani digiring ke kelurahan. Di sana panitia mengambil keputusan sepihak. Ganti rugi ditetapkan: Rp 80 dan Rp 90/meter. Siapa yang menolak diancam di-pki-kan dan tanahnya toh tetap akan ditraktor. Coba: "Siapa yang berani menentang -- ngacung (tunjuk jari)" begitu ancam panitia menurut laporan petani Aris kepada Irjen Departemen Dalam Negeri. Tentu saja tak ada yang berani melayani tantangan panitia yang, katanya, bertindak atas nama bupati. Rakyat gelisah. Tapi panitia bekerja terus, Cap jempol penduduk mulai dikumpulkan di atas kertas kosong secara paksa. Menurut penelitian Aris, dari cap jempol penduduk itulah panitia membuat laporan pernyataan kerelaan penduduk kepada Gubernur Jawa Tengah. Berikutnya, kembali rakyat dikumpulkan di kelurahan. Kali ini mereka dibagi amplop berisi uang. Untuk ganti rugi --begitu saja panitia menjelaskan. Berapa? Di amplop tak tertera angka-angka yang menyebutkan jumlah uang untuk mengganti berapa meter tanah. Bahkan si penerima dilarang keras menghitung bagiannya di muka loket. Tak semuanya mau hadir di kelurahan. Banyak yang menghindar. Tapi nasib mereka yang membangkang itu jadi buruk. Mereka ditangkapi dan ditahan. Juga diancam: yang pensiunan jika menolak ganti rugi, akan dicabut hak pensiunnya. Yang pegawai, akan diberhentikan. Juga anak dan cucu pembangkang diharuskan membujuk kerabatnya untuk pasrah. Kalau tidak, bakal kehilangan pekerjaan juga. Begitu kisah Aris. Kejari Tarmizi sebagai kuasa si tergugat membantah. Katanya, tanah diukur sepengetahuan pemiliknya. Ada tim yang mengurusnya. Petani, lanjutnya, juga diberi kemungkinan lain sawahnya diganti tanah bengkok -- itu sawah jatah lurah. Pun, jumlah ganti rugi Rp 80 dan Rp 90 yang menurut petani semestinya Rp 1000, sudah wajar pada masa itu. Sebelum perkara sampai ke pengadilan, baik gubernur, Irjen Departemen Dalam Negeri sampai Menteri PAN Sumarlin sudah diberitahu keadaan di Mentul itu. Tapi urusan tampaknya diselesaikan juga oleh penjabat daerah dengan mengenyampingkan tuntutan petani: Proyek Pusdik yang megah, dengan jalan berkelok-kelok seperti ular, telah berdiri di atas tanah rakyat. Orang seperti Nasran, misalnya, terpaksa memberhentikan anaknya dari sekolah (anaknya 7) karena kehilangan tanah garapan. Untungnya, tanpa kampanye dari atas rakyat rupanya ada yang lebih dulu sadar hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus