Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA petani di Desa Karangboyo, Kecamatan Cepu (Kabupaten
Blora), telah sadar hukum. Buktinya, walaupun mereka telah
diperlakukan semena-mena tanah dan sawah mereka diambil begitu
saja secara melawan hukum oleh penjabat daerah, para petani
membalasnya secara baik-baik. Tidak ada yang mencabut golok atau
melempari pak bupati atau camat dengan batu. Melalui seorang
pengacara Yogya, Marhaban Zainun, petani Karangboyo mengajukan
gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Blora. Hari-hari belakangan
ini perkaranya tengah berjalan.
Pertengahan Nopember dua tahun lalu, tiba-tiba muncul 6 orang
warga Cepu mengungsi ke Yogya. Mereka adalah di antara sekian
banyak petani pemilik tanah dan sawah di Mentul (Kecamatan Cepu)
yang tergusur oleh proyek pembangunan gedung Pusdik Migas (Pusat
Pendidikan Minyak & Gas). Di samping yang kabur ke Yogya, banyak
pula yang terpaksa mengungsi ke Jawa Timur, Jakarta dan ke
hutan-hutan sekitar kampung halamannya. Rupanya, begitu
tanah-tanah mereka dikuasai pemerintah melalui ketidakberesan
para penjabatnya, petani merasa keberatan dikejar-kejar. Disebut
sebagai sisa-sisa PKI, beberapa petani juga mengalami penahanan
dan perlakuan keras dari petugas-petugas keamanan.
Sarkam, 60 tahun, adalah pemilik seperempat hektar tanah dari 27
hektar di Mentul yang terkena proyek. Ia menolak uang ganti rugi
(Rp 80/meter untuk tanah darat dan Rp 90 untuk sawah) karena
dianggapnya terlalu murah. Sarkam lalu diseret ke Kodim. Begitu
juga nasib mbok Sarkam yang waktu itu tengah hamil 6 bulan. Aris
(51), petani juga, selaku ahli waris Martorejo Raman harus
mendekam di Kodim 10 hari dan di Laksus 18 hari. Sedang Sakim
57, pemilik 3 hektar sawah, lolos dari tangkapan. Tapi lama ia
harus bersembunyi di hutan Tuban.
Ada apa ini? Menurut Tarmizi Yunus, Kepala Kejaksaan Negeri
Blora, yang menjadi kuasa pihak pemerintah, khususnya Bupati
Blora dan Kepala Pusdik Migas "kita tahu daerah ini adalah basis
merah". Itu saja.
Marhaban Zainun, pembela, mengajukan perkara Mentul itu dalam 4
gugatan. Masing-masing perkara Suprapto, mbok Suni dan Nasran,
Sakim dan para ahli WariS almarhum Martorejo Raman. Tergugat,
Bupati Blora dan Kepala Pusdik Migas, kuasanya dipegang oleh
Kejari Tarmizi Yunus dalam suatu sidang majelis yang dipimpin
Ketua Pengadilan sendiri, Sajono Hardjomidjojo. Kisah awalnya
terungkap di pengadilan.
Mula-mula rakyat petani tak tahu menahu soal proyek Migas.
Hanya, sekitar 1974, mendadak ada satu panitia yang mengumpulkan
surat tanah dan sawah dari tangan 39 penduduk melalui Sarekat
Desa. Alasannya, petuk (surat tanah itu) akan diperbaharui.
Namun setelah pengumpulan petuk, panitia mulai mengukur tanah
di sana-sini. Para pemiliknya bingung. Tapi belum juga menyadari
apa yang tengah dilakukan orang atas tanah milik turun-temurun
itu.
Siapa Berani, Ngacung
Baru, setelah berpuluh-puluh truk menurunkan bahan bangunan di
atas tanah dan sawah mereka -- merusak tanaman palawija dan
menghalau tumbuhan keras -- tahulah petani untuk apa petuk
mereka dikumpulkan. Tiga hari setelah 'penyerbuan' itu baru
panitia menyempatkan diri memberitahu maksudnya kepada petani.
Pemilik tanah tak keberatan. Asal, tentunya bicara baik-baik
dulu soal ganti rugi. Tapi di antara mereka tal putus kata
sepakat soal itu.
Akhirnya petani digiring ke kelurahan. Di sana panitia mengambil
keputusan sepihak. Ganti rugi ditetapkan: Rp 80 dan Rp 90/meter.
Siapa yang menolak diancam di-pki-kan dan tanahnya toh tetap
akan ditraktor. Coba: "Siapa yang berani menentang -- ngacung
(tunjuk jari)" begitu ancam panitia menurut laporan petani Aris
kepada Irjen Departemen Dalam Negeri. Tentu saja tak ada yang
berani melayani tantangan panitia yang, katanya, bertindak atas
nama bupati.
Rakyat gelisah. Tapi panitia bekerja terus, Cap jempol penduduk
mulai dikumpulkan di atas kertas kosong secara paksa. Menurut
penelitian Aris, dari cap jempol penduduk itulah panitia membuat
laporan pernyataan kerelaan penduduk kepada Gubernur Jawa
Tengah. Berikutnya, kembali rakyat dikumpulkan di kelurahan.
Kali ini mereka dibagi amplop berisi uang. Untuk ganti rugi
--begitu saja panitia menjelaskan. Berapa? Di amplop tak tertera
angka-angka yang menyebutkan jumlah uang untuk mengganti berapa
meter tanah. Bahkan si penerima dilarang keras menghitung
bagiannya di muka loket.
Tak semuanya mau hadir di kelurahan. Banyak yang menghindar.
Tapi nasib mereka yang membangkang itu jadi buruk. Mereka
ditangkapi dan ditahan. Juga diancam: yang pensiunan jika
menolak ganti rugi, akan dicabut hak pensiunnya. Yang pegawai,
akan diberhentikan. Juga anak dan cucu pembangkang diharuskan
membujuk kerabatnya untuk pasrah. Kalau tidak, bakal kehilangan
pekerjaan juga. Begitu kisah Aris.
Kejari Tarmizi sebagai kuasa si tergugat membantah. Katanya,
tanah diukur sepengetahuan pemiliknya. Ada tim yang mengurusnya.
Petani, lanjutnya, juga diberi kemungkinan lain sawahnya diganti
tanah bengkok -- itu sawah jatah lurah. Pun, jumlah ganti rugi
Rp 80 dan Rp 90 yang menurut petani semestinya Rp 1000, sudah
wajar pada masa itu.
Sebelum perkara sampai ke pengadilan, baik gubernur, Irjen
Departemen Dalam Negeri sampai Menteri PAN Sumarlin sudah
diberitahu keadaan di Mentul itu. Tapi urusan tampaknya
diselesaikan juga oleh penjabat daerah dengan mengenyampingkan
tuntutan petani: Proyek Pusdik yang megah, dengan jalan
berkelok-kelok seperti ular, telah berdiri di atas tanah rakyat.
Orang seperti Nasran, misalnya, terpaksa memberhentikan anaknya
dari sekolah (anaknya 7) karena kehilangan tanah garapan.
Untungnya, tanpa kampanye dari atas rakyat rupanya ada yang
lebih dulu sadar hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo