Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPARKIR di tepi Jalan Raya Muncul, kawasan Cilangkap, Ja-karta Timur, mobil sedan itu ter-kun-ci rapat. Awalnya tak meng-undang kecurigaan. Tapi, setelah dua hari, petugas Kepolisian Sektor Ci-payung mulai menaruh syak wasangka.
Akhirnya, Kepala Unit Reserse Krimi-nal Polsek Cipayung, Inspektur Satu Edi Su-priyanto, mengajak anak buahnya me-me-riksa Toyota Starlet merah yang ter-parkir tak jauh dari SD 04 Cilangkap itu. Ketika pintu mobil B 2881 QA itu dibuka, di bawah jok tergolek jenazah pria berkumis tebal. Dua tusukan merobek pe-rutnya.
Di leher mayat tergantung seuntai ka-lung dengan lempengan bertuliskan ”HM Umar Kapten Infanteri 502424”. Ka-rena menyangkut tentara, penemuan ma-yat pada Ahad akhir April lalu itu pun diteruskan ke Reserse Kepolisian Resor Jakarta Timur.
Hari itu juga Kepala Satuan Reserse Polres Jakarta Timur, Komisaris Polisi Daniel Tafiona, membentuk tim yang dipimpinnya sendiri. Langkah pertama Daniel ialah mencari tahu status mobil-. Segera ditemukan, pe-miliknya seo-rang pe-rempuan yang ber-do-misili di Kampung- Melayu Besar, Jakarta Ti-mur. ”Tapi, mobil itu telah dijualnya sebulan lalu,” kata Daniel.
Pemilik baru kemudi-an- menitipkan mobil-nya- pada sese-orang di Jalan Dr Wahi-din, Jakarta Pu-sat. ”Da-ri tangan- orang ketiga inilah U-mar meminjam mobil itu,” kata-nya. I-dentitas korban pun mulai terungkap.
Umar adalah Kepala Perwakilan Ko-man-do Dae-rah Militer VII Wira-buana, Ma-kassar. Ayah tiga anak ini baru seta-hun bertugas di Jakarta. Sebelumnya, pri-a 50 tahun itu bertugas di Sulawesi Se-latan. Bahkan istri dan dua anaknya ma-sih tinggal di Makassar.
Di Jakarta, seorang putranya, Aryo Wi-caksono, tinggal bersamanya di kan-tor- perwakilan di Jalan Dr Wahidin, yang juga berfungsi sebagai mes. Aryo ter-catat sebagai mahasiswa semester II Ma-najemen Informatika, Bina Sarana In-formatika.
Aryo pula yang dijemput polisi untuk- memastikan mayat temuan di dalam mobil, yang kemudian disimpan di kamar jenazah Rumah Sakit Pasar Ming-gu, Jakarta Selatan. Pemuda 20 tahun itu memastikan memang itu ayahnya. ”Di paha kanannya ada luka tembak ketika bertugas di Timor Timur, dan gigi taring sebelah kanannya lebih panjang dari yang kiri,” kata Aryo.
Daniel pun mengontak Pomdam Jaya. ”Yang pertama kami telusuri orang-orang terdekat Umar,” katanya. Mereka memeriksa semua orang yang dinilai- bisa menguak pembunuhan Umar, termasuk 16 anak buah Umar di kantor perwakilan Kodam Wirabuana.
Kepada petugas, Aryo membisikkan sebuah nama: Sersan Kepala Abdul Karim, petugas logistik di kantor perwakilan. Menurut Aryo, selama setahun di Jakarta, ayahnya sangat lengket dengan Karim. ”Dia tahu, ayahnya ak-hir-akhir ini berselisih dengan Karim,” kata Daniel.
Belakangan, polisi- me-ne-mu-kan petunjuk- pen-ting. Dari telepon selu-ler- milik Umar, yang pa-da malam nahas itu tak dibawanya, ter-catat Abdul Karim orang ter-akhir yang menghubungi- Umar. ”Panggilan i-tu pada pukul 21.00, sebelum- ayah kelu-ar rumah,” kata Aryo. Pemeriksaan polisi pun tertuju pada pria 35 tahun itu.
Polisi ternyata juga me-miliki data tersendiri-. Di Polres Jakarta Timur, bekas anggota Kopassus itu tercatat pemilik salah satu tempat judi bola setan di Boker, Jakarta Timur. Bisnis judi Karim ini tutup setelah polisi giat memerangi judi, enam bulan terakhir.
Awal Mei lalu Karim pun dijemput petugas gabungan reserse Polres Jakarta Timur dan intel Pomdam Jaya. Semula ia berkelit. Pada malam tewasnya Umar, ia mengaku berada di rumah. Hanya, tetangganya menyatakan tak melihatnya di rumahnya di kawasan Jakarta Timur itu.
Seorang petugas perwakilan Kodam menyatakan sempat melihat Umar menerima telepon dari Karim. ”Ketika menerima telepon, dia melihat Umar gelisah, kemudian meninggalkan kantor pukul 22.00,” kata Kolonel CPM Iran Saepudin, Komandan Pomdam Jaya.
Beberapa fakta yang menyudutkan itu akhirnya membuat Karim tak berkutik. Ia mengakui perbuatannya. Kepada pemeriksa, Karim mengaku marah lantaran Umar tak kunjung membayar utangnya Rp 70 juta, yang dipinjamnya setahun lalu.
Menurut Karim, atasannya itu meminjam uang saat dia masih membuka usaha judi. ”Ketika saya kesulitan uang, beberapa kali saya tagih, tapi dia terus mengelak,” kata Karim. Lalu, muncullah niat menghabisi Umar.
Dia pun mengontak tiga temannya di Boker: Nur Alwi Basotting, 31 tahun, Fathul Mustafa, 33, dan Adnan Maisak, 31, yang akrab disapa Dodon. Ketiga-nya sehari-hari centeng di Boker. Seperti Karim, mereka juga dari Makassar.
Akhir April itu, dirancanglah skenario- pembunuhan. Cuma, kepada ketiga -or-ang- itu, Karim tak memberi tahu sa-sa-r-an mereka tentara. Alwi dibekali ba-dik, Dodon seutas tali, dan Fathul cu-kup- ta-ngan kosong. Setelah semuanya si-ap, Ka-rim mengontak Umar yang kemu-di-an, dengan Starlet merah, datang ke Bo-ker.
Di Boker, Karim mengambil alih kemudi, Umar duduk di sebelahnya. Mere-ka berkeliling tak tentu tujuan: masuk pintu tol Rawamangun, berputar sampai ke tol Pondok Indah, lalu balik lagi.
Sekitar 200 meter dari pintu keluar- tol Rawamangun, Jakarta Timur, Dodon men-jerat leher Umar, dan Fathul -men-jam-bak rambut korban. Umar sempat ber-tanya, ”Kenapa jadi begini, Karim?” Ka-rim menjawab, ”Diam lu.” Alwi meng-hunjamkan badik ke lambung kiri U-mar.
Mereka mengambil dompet korban yang berisi identitas dan uang Rp 150 ribu, meninggalkan mobil berisi jena-zah, dan balik ke Boker. ”Baju kami dan dompet korban kami bakar untuk menghilangkan jejak,” kata Fathul. Kepada tiga rekannya, Karim memberi masing-masing Rp 2 juta.
Dua hari kemudian, Alwi, Dodon, dan Fathul terkejut. Mereka baru tahu yang dibunuhnya tentara. Mereka pun kabur dari Jakarta. Alwi dan Fathul pulang ke kampungnya di Makassar. Dodon sempat kabur beberapa hari ke Surabaya. Namun, lantaran terus dikejar rasa takut, ia pulang ke Makassar.
Adapun Karim, usai pembunuhan itu, berusaha bersikap biasa. Ia ikut meng-urus jenazah korban dan sempat membelikan 21 nasi bungkus untuk pegawai Kantor Perwakilan Kodam Wirabuana yang mengurus jenazah Umar.
Ia tiba-tiba rajin ke kantor. ”Padahal-, selama ini dia jarang datang,” ujar seorang petugas kantor perwakilan itu. Namun, upaya Karim menutupi belang-nya gagal. Kini ia menjadi tahanan Pomdam Jaya.
Dari mulutnyalah para pengusut- me-ngetahui identitas ketiga rekan per-se-kong-kolannya. Awal Mei lalu, petugas- -Re-ser-se Polwiltabes Makassar dan aparat in-tel Kodam Wirabuana menangkap Al-wi-, Fathul, dan Dodon, dan me-ngirim me-reka ke Polres Jakarta Timur.
Kepada polisi, ketiganya tak menyang-kal- membunuh Umar. Semuanya me-nun-juk Karim otak pelakunya. Polisi men-jerat ketiga orang itu dengan pasal pem-bunuhan berencana.
Karim sendiri, meski berstatus tenta-ra, juga akan dijerat dengan KUHP. ”Sebab, kasus ini menyangkut urusan pribadi,” kata Mayor Jenderal Ruchjan, Komandan Pusat Polisi Militer Angka-tan Darat. ”Ini masalah dendam bela-ka.-”
Nurlis E. Meuko, Lis Yuliawati, Tito Sianipar, dan Badriah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo