Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa Hukum eks Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa, Hotman Paris Hutapea menyatakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terlalu berlebihan terutama dibandingkan dengan kasus bandar narkoba Freddy Budiman yang divonis hukuman mati dan kasus Ferdy Sambo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ya tuntutannya itu berlebihan banget gitu loh. Udah saya bilang banyak kasus-kasus putusan pengadilan yang narkobanya jauh lebih berat di atas 5 kilogram. Tapi hukumnya ya paling sekitar 15 sampai 20 tahun. Enggak pernah ada hukuman mati untuk ukuran narkoba seperti ini,” kata Hotman saat dihubungi Tempo, Jumat, 31 Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hotman banyak kasus narkoba lain terdakwanya tidak dihukum mati. Tuntutan jaksa, kata dia, terlalu berlebihan.
“Menurut kami, sangat tidak adil dan dari fakta persidangan itu keterlibatan beliau masih abu-abu. Masih sangat abu-abu,” ucapnya.
Langkah kuasa hukum selanjutnya yang akan dilakukan Hotman adalah mengajukan keberatan. “Baik, sesuai hukum acara ya kami mengajukan pleidoi nanti di persidangan berikutnya,” katanya.
Hotman menyatakan kaget mendengar tuntutan jaksa yang menuntut mati dan mempertanyakan apa yang terjadi hingga kliennya bisa mendapatkan tuntutan yang berat. "Ya sangat terkejut ada apa kok bisa. Karena perkara narkoba yang barang buktinya jauh lebih berat tidak dihukum mati," katanya.
Alasan Teddy Minahasa dituntut hukuman mati
Kejaksaan Agung memberikan sejumlah alasan jaksa memberikan tuntutan hukuman mati terhadap Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, eks Kapolda Sumatera Barat.
Dalam sidang pembacaan tuntutan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis, 30 Maret 2023, Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman mati terhadap Teddy Minahasa.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Teddy Minahasa Putra bin Haji Abu Bakar dengan pidana mati dengan perintah terdakwa tetap ditahan," ujar seorang Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 27 Maret 2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyatakan jenderal polisi bintang dua itu adalah aktor intelektual dalam kasus tukar sabu dengan tawas, hingga sabu itu dijual di Jakarta.
"Terdakwa adalah pelaku intelektual (intelectual dader) atau pelaku utama dari seluruh perkara yang ditangani di kejaksaan, sehingga hukumannya harus lebih berat daripada terdakwa lainnya," ujar Ketut, Kamis, 30 Maret 2023.
Pertimbangan lainnya di balik tuntutan hukuman mati itu adalah Teddy Minahasa tidak mengakui perbuataannya. Jaksa menilai selama persidangan, Teddy memberi keterangan serta menyangkal perbuatannya.
Sebagai Kapolda Sumatera Barat, sikap Teddy tidak mencerminkan aparat penegak hukum yang baik dan menyalahgunakan jabatannya.
Karena itu, perbuatan jenderal bintang dua itu telah merusak kepercayaan publik terhadap Polri. Selain itu, dia juga merusak nama baik korps Bhayangkara.
"Perbuatan terdakwa sebagai Kapolda telah mengkhianati perintah Presiden dalam penegakan hukum dan pemberantasan peredaran gelap narkotika," kata salah satu jaksa saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat hari ini.
Jaksa Penuntut Umum menilai perwira tinggi Polri itu tidak memiliki hal yang meringankan dalam perkara ini. "Hal-hal yang meringankan, tidak ada," ujar Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis, 30 Maret 2023.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.