Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Suku Sakai menggantungkan hidup dari hutan sejak sebelum kemerdekaan.
Suku Sakai mengajukan kawasan hutan di Bengkalis sebagai tanah ulayat sejak 2001, tapi belum dikabulkan pemerintah.
Bongku membuka ladang untuk menanam ubi.
BONGKU bin Jelodan pamit kepada istrinya, Juli, pada Ahad pagi, 3 November 2019, untuk membuka ladang di hutan Distrik Duri II di Bengkalis, Riau, yang dia mulai sehari sebelumnya. Warga Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Bengkalis, itu pernah berladang di lokasi yang sama bertahun lalu. Ia bermaksud menanam ubi racun lagi di sana.
Bapak empat anak itu berjalan kaki menuju hutan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya. Ladang yang hendak dia buka itu seluas 200 meter persegi dan telah ditumbuhi pohon akasia serta eukaliptus. Ia menebang sekitar 20 batang pohon dengan sebilah parang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bongku, 58 tahun, anggota suku Sakai, komunitas adat di Bengkalis yang menggantungkan hidup dari hasil hutan dan sungai. Suku Sakai umumnya mengonsumsi manggalo, olahan ubi racun dan ubi kayu, sebagai makanan pokok. Suku Sakai dikenal sebagai peladang nomaden. Mereka membuka hutan untuk berladang, lalu meninggalkan lahan seusai panen agar lahan kembali hijau. “Bapak yang selama ini menyediakan ubi dan belut sungai untuk makanan kami,” ujar Juli saat ditemui di rumah salah seorang kerabatnya di Desa Koto Pait Beringin pada Kamis, 28 Mei lalu.
Menjelang petang, Juli menerima kabar bahwa suaminya ditangkap petugas keamanan PT Arara Abadi, anak perusahaan Grup Sinar Mas yang memiliki konsesi hutan tanaman industri hingga ke sebagian hutan Dusun Suluk Bongkal. Petugas keamanan memboyong pria buta huruf itu ke kantor Kepolisian Sektor Pinggir. “Ia diperiksa dan ditahan di sana,” kata Rian Sibarani, penasihat hukum Bongku dari Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak itu, Bongku belum kembali ke rumah. Perkaranya terus berlanjut. Pengadilan Negeri Bengkalis menggelar sidang perdana pada 24 Februari 2020. Majelis hakim yang diketuai Hendah Karmila Dewi, dengan hakim anggota Aulia Fatma Widnola dan Zia Uljannah Idris, menghukum Bongku satu tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan penjara pada 18 Mei lalu. Ia dianggap melanggar Pasal 82 ayat 1-b Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pasal itu menyebutkan seseorang yang sengaja menebang pohon di hutan tanpa izin pejabat berwenang akan dihukum maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 2,5 miliar. Tapi tim penasihat hukum Bongku dari LBH Pekanbaru menganggap Bongku bukan subyek hukum dari undang-undang tersebut.
Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih memungut hasil hutan di sekitar tempat mereka tinggal. “Pak Bongku bagian dari suku Sakai yang menggantungkan hidupnya dari hutan,” ujar Andi Wijaya, anggota tim penasihat hukum Bongku.
Suku Sakai mengandalkan hasil hutan di sekitar Bengkalis sejak puluhan tahun silam. Mereka mengajukan kawasan hutan di sekitar Desa Koto Pait Beringin dan desa lain sebagai tanah ulayat sejak 2001. Tapi permohonan ini belum dikabulkan pemerintah. “Kami berburu, berladang, dan makan dari hutan ini sejak sebelum kemerdekaan sebab nenek moyang kami sudah lama di sini,” kata Ridwan, batin pembumbung—sebutan bagi kepala suku Sakai. Rusa, kancil, dan babi merupakan hewan buruan suku Sakai pada masa itu.
Menurut Ridwan, pola hidup suku Sakai berubah sejak pemerintah menerapkan berbagai aturan. Mereka dilarang memburu hewan hutan, yang sebagian sudah berstatus dilindungi. Mereka juga kerap berkonflik dengan perusahaan yang mengantongi konsesi pengelolaan hutan. Suku Sakai masygul melihat perusahaan perkebunan mulai menebangi hutan. “Tanaman dan hewan buruan jadi menghilang semua,” ujar Ridwan.
Andi Wijaya menyebutkan pengajuan lahan ulayat tersebut disampaikan sebagai bukti di persidangan. Bongku membuka lahan di salah satu titik kawasan itu. Fakta ini tetap tak membebaskan Bongku dari terungku.
Menurut Andi, PT Arara Abadi beroperasi di Bengkalis sejak akhir 1990-an. Saat konflik memanas pada awal 2000-an, PT Arara dan suku Sakai bersepakat menetapkan 7.158 hektare kawasan hutan di sekitar Bengkalis sebagai tanah ulayat.
Penasihat hukum mendatangkan saksi ahli dari Lembaga Adat Melayu Riau untuk menguatkan kesepakatan itu. Keterangan ini lagi-lagi tak menggugah majelis hakim. “Sayangnya, pemerintah belum menyelesaikan soal penetapan tanah ulayat ini hingga sekarang,” ucap Andi.
Juru bicara PT Arara Abadi, Nurul Huda, mengatakan perusahaannya sudah mengecek ke lapangan soal klaim tanah ulayat suku Sakai seluas 7.158 hektare. Sekitar 327 hektare disebut berada di area konsesi hutan tanaman industri milik PT Arara. Hasil pengecekan, menurut Nurul, menyimpulkan masyarakat Sakai tak pernah menguasai lahan tersebut. “Bahkan lahan yang diklaim suku Sakai sudah dikuasai pihak ketiga,” katanya, Jumat, 29 Mei lalu.
Nurul menyebutkan perusahaannya sudah berupaya memberdayakan suku Sakai. Mereka kerap menggelar kegiatan sosial dan merekrut masyarakat sebagai tim pencegah kebakaran.
Bongku, warga suku Sakai di balik jeruji tahanan di Bengkalis. Dok. LBH Pekanbaru
Nurul menyayangkan ada anggota suku Sakai yang masih berupaya menduduki lahan dan menghalangi operasi PT Arara. Akibatnya, gesekan antara perusahaan dan warga di sekitar lahan konsesi kerap terjadi. “Saudara Bongku pernah terlibat aksi pendudukan lahan bersama Serikat Tani Riau pada 2008 dan diputus bersalah,” ujarnya.
Rian Sibarani mengatakan Bongku mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Riau beberapa hari setelah divonis merusak hutan. LBH Pekanbaru meyakini majelis hakim tak tepat menggunakan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang ini, kata Rian, menyasar para perusak hutan yang terstruktur dan terorganisasi. “Lagi pula tak ada niat komersial Pak Bongku dari membuka lahan itu,” ujarnya.
Ketua Pengadilan Negeri Bengkalis Rudi Ananta Wijaya mengatakan putusan majelis hakim sudah berdasarkan fakta persidangan. Menurut dia, kasus Bongku sebenarnya tak rumit. “Perkara ini menjadi sedikit menarik ketika ada pihak yang menggunakannya untuk kepentingan lain yang motifnya sudah kita ketahui arahnya,” ujar Rudi kepada kantor berita Antara, Rabu, 27 Mei lalu. Ia tak menjelaskan siapa pihak dan motif tersebut.
Kini, Juli berharap Bongku segera bebas. Ia tak pernah mengikuti perdebatan hukum sang suami meski sering menerima penjelasan dari penasihat hukum. “Kami orang tak bersekolah,” katanya.
Ia dan empat anaknya ingin segera menempati lagi rumah mereka yang luasnya 36 meter persegi dan berdinding papan. Mereka meninggalkan rumah itu saat Bongku mulai ditahan. Tak ada yang melanjutkan pekerjaan Bongku. Juli mengatakan tak sanggup menggarap lahan sendirian.
Lahan bekas garapan Bongku di kawasan hutan Distrik Duri II telah lebat oleh gerumbul. Batang pohon eukaliptus dan akasia yang ditebang Bongku entah di mana. Juli sudah tidak mempedulikan lahan itu. “Kami hanya minta Bapak cepatlah keluar dari penjara,” ujarnya.
WILINGGA (BENGKALIS)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo