Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Sebagian penyintas terorisme tak menerima bantuan pemerintah sejak awal perawatan.
Korban rata-rata kehilangan pekerjaan setelah menjadi korban terorisme.
Berjuang untuk mendapatkan kompensasi sejak belasan tahun lalu.
TELEVISI, gelas, dan piring bertumpuk di kamar kos seluas 4 x 6 meter yang dihuni keluarga Bambang Jatmiko. Kasur dan peralatan dapur berimpitan di dekat kamar mandi. Kasur dan sejumlah perabot menjejali ruangan. Bambang meletakkan tumpukan baju bersih di kursi depan kamar. “Saya enggak punya uang untuk menyewa rumah kontrakan yang lebih luas,” kata Bambang pada Kamis, 15 Oktober lalu.
Bambang, 54 tahun, bersama istri dan ketiga anaknya mendiami kamar kos di kawasan Tegal Terta, Denpasar, Bali, itu sejak beberapa tahun lalu. Harga sewanya Rp 1 juta per bulan. Ia menjadi pengemudi ojek berbasis aplikasi untuk membiayai hidup. Istrinya berjualan nasi di depan kamar kos. Penghasilan Bambang hanya Rp 75 ribu per hari. “Untuk bayar uang sekolah anak saya yang SMA juga sudah tidak ada lagi,” ujarnya.
Hidup Bambang berubah sejak bom meledak di depan Sari Club, Jalan Legian, Kuta, Bali. Sebelumnya, profesinya cukup mentereng: asisten manajer merangkap bartender di Sari Club. Gajinya mencapai Rp 2,7 juta per bulan kala itu. Ada lagi tambahan dari tip pemberian para pengunjung. Dari penghasilannya, ia mampu menyewa rumah di kota dan membeli tanah seluas 400 meter persegi di Jembrana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo