Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Komnas Perempuan Ungkap Alasan Korban Kekerasan Seksual di Kampus Bungkam

Menurut Siti, korban kekerasan seksual di kampus umumnya juga sedikit yang melaporkan kasus tersebut.

20 November 2021 | 15.01 WIB

Ilustrasi kekerasan seksual. Doc. Marisa Kuhlewein (QUT) and Rachel Octaviani (UPH)
Perbesar
Ilustrasi kekerasan seksual. Doc. Marisa Kuhlewein (QUT) and Rachel Octaviani (UPH)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengungkapkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi seperti puncak gunung es. “Data yang kami himpun 2015-2020, kekerasan seksual dan diskriminasi berdasarkan jenjang pendidikan, tertinggi ada di universitas,” kata Siti kepada Tempo, Rabu, 17 November 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Siti mengatakan, pola yang ditemukan umumnya adalah menggunakan relasi kuasa. Misalnya, dosen sebagai pembimbing skripsi, penelitian lalu modusnya adalah mengajak korban ke luar kota, kemudian melakukan pelecehan seksual secara fisik maupun nonfisik. Bisa juga pelecehan seksual itu dilakukan di tengah bimbingan skripsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Siti, korban kekerasan seksual di kampus umumnya juga sedikit yang melaporkan kasus tersebut. Selain karena adanya relasi kuasa yang tidak setara, mahasiswi juga memiliki posisi yang rentan. Mereka khawatir dengan nilai dan keberlangsungan pendidikannya. “Ini yang kemudian dimanfaatkan orang yang memiliki kuasa itu,” ujarnya.

Siti mengungkapkan, ada sejumlah alasan korban enggan untuk mengungkapkan kasusnya. Pertama, di kampus umumnya belum tersedia menkanisme pengaduan. Mekanisme itu kini mulai dibentuk karena sudah ada panduannya melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Alasan kedua, seperti kasus kekerasan seksual lainnya, mahasiswi yang jadi korban akan bertanya-tanya apakah ia akan dipercaya. “Karena bagaimanapun pada posisi sebagai powerless, orang akan lebih mempercayai yang memiliki power,” katanya.

Jika menceritakan kasusnya, korban akan mempertanyakan apakah ia akan disalahkan atau tidak. Kekhawatiran utama korban, kata Siti, apakah akan mempengaruhi pendidikan jika berbicara kasusnya.

Tidak adanya akses untuk mengadu, masih adanya victim blaming atau menyalahkan korban, juga kampus yang tidak mendukung korban itu lah yang membuat korban kekerasan seksual di kampus memilih bungkam.

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus