Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS), Alex Usman, dituntut 7 tahun penjara. Jaksa menilai Alex terbukti bersalah dalam kasus tersebut.
"Terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi pidana penjara selama 7 tahun, dikurangi masa tahanan terdakwa selama berada dalam tahanan," ujar jaksa Tasjrifin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 3 Maret 2016.
Tasjrifin menambahkan, Alex juga mesti membayar denda pidana Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Alex tidak dikenai biaya pengganti, tapi mesti membayar biaya perkara sebesar Rp 10 ribu.
Alex terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Adapun yang memberatkan Alex adalah ia tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sedangkan yang meringankannya, ia selalu kooperatif dan sopan saat menghadiri persidangan. Dia juga tidak menikmati harta korupsi. "Selanjutnya yang meringankan lagi adalah terdakwa menyesali perbuatannya, lalu memiliki tanggungan keluarga serta belum pernah dihukum," tutur Tasjrifin.
Sidang Alex dimulai pada pukul 19.20 WIB. Dalam agenda awal sidang hari ini akan dibacakan tuntutan dan pleidoi (pembelaan). Namun, karena waktu dirasa kurang cukup, sidang pleidoi ditunda hingga Senin, 8 Maret 2016.
Dalam kasus pengadaan UPS dalam APBD-P 2014, Bareskrim Mabes Polri menetapkan empat tersangka. Dua di antaranya pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu Alex Usman dan Zaenal Soleman.
Alex diduga melakukan korupsi saat menjabat pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan UPS Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat. Sedangkan Zaenal melakukan korupsi saat menjadi PPK pengadaan UPS Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Pusat.
Dua tersangka lain berasal dari DPRD Jakarta, yaitu Muhammad Firmansyah dari Fraksi Partai Demokrat dan Fahmi Zulfikar dari Fraksi Partai Hanura. Keduanya diduga terlibat kasus ini saat duduk di Komisi E DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014.
ARIEF HIDAYAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini