Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

KPK: Kerugian Negara di Kasus BLBI Rp 4,58 Triliun

Kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi SKL BLBI mencapai Rp 4,58 triliun.

9 Oktober 2017 | 21.39 WIB

Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah melakukan jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, 2 Juni 2017. KPK menetapkan anggota DPR fraksi partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka atas kasus merintangi penyidikan pada kasus dugaan korupsi e-KTP. TEMPO/Eko Siswono To
Perbesar
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah melakukan jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, 2 Juni 2017. KPK menetapkan anggota DPR fraksi partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka atas kasus merintangi penyidikan pada kasus dugaan korupsi e-KTP. TEMPO/Eko Siswono To

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) mencapai Rp 4,58 triliun. Angka tersebut disampaikan dalam hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sudah diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Itu jumlah kerugian dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) sebesar Rp 4,8 triliun," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, melalui pesan pendek di Jakarta, Senin, 9 Oktober 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, pada 25 April 2017, KPK juga sudah mengumumkan adanya kerugian negara Rp 3,7 triliun atas perbuatan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.

Kasus bermula pada Mei 2002, saat Syafruddin mengusulkan agar Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyetujui proses likuidasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Namun karena adanya perubahan tersebut, restrukturisasi aset Sjamsul Nursalim menjadi hanya Rp 1,1 triliun. Kemudian, pada 2004, dilakukanlah pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). "Padahal seharusnya waktu itu masih ada kewajiban dari Sjamsul," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di gedung KPK, Selasa, 25 April 2017.

Sjamsul merupakan pemegang saham pengendali BDNI yang menerima kucuran dana BLBI senilai Rp 47,2 triliun. Untuk membayar utang tersebut, Sjamsul menyerahkan aset bank dan tiga perusahaan miliknya serta membayar tunai, sehingga kewajibannya tersisa Rp 4,75 triliun.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan berujar, sebelum Syafruddin menerbitkan keterangan lunas, BPPN telah mendapatkan pembayaran sekitar Rp 1,1 triliun dari para petani tambak dipasena. "Sisa Rp 3,75 triliun tak pernah dibayarkan, sehingga itu menjadi indikasi kerugian negara," kata Basaria.

Kemudian audit BPK keluar yang menyebutkan kerugian negara akhirnya menjadi Rp 4,58 triliun. Kerugian negara muncul, kata Febri, karena masih ada SKL yang diberikan ke pihak lain, padahal masih ada kewajiban pelunasan.

Syafruddin Temenggung sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak April lalu. Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah penetapan Syafruddin sebagai tersangka, KPK saat ini tengah mendalami keterlibatan Sjamsul Nursalim dan pihak-pihak lain yang juga mendapatkan SKL BLBI, tapi masih memiliki kewajiban penyerahan aset kepada negara.

 

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus