Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengkritik revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI. Dia menolak pencabutan larangan bagi prajurit untuk berbisnis dalam perubahan aturan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Tentu saja itu tidak boleh dilakukan," ujar Bivitri usai mengisi acara diskusi bertajuk "Kudatuli, Kami Tidak Lupa" di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau DPP PDIP pada Sabtu, 20 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Adapun perubahan Pasal 39 menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Wacana ini muncul melalui surat Panglima TNI Agus Subiyanto kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto yang mengusulkan terdapat pasal lainnya masuk dalam RUU TNI sebagaimana disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksda Kresno Buntoro dalam Dengar Pendapat Publik RUU Perubahan TNI pada 12 Juli lalu.
Bivitri menilai bahwa pemberian kewenangan berbisnis kepada TNI merupakan langkah yang keliru. Menurut dia, TNI harus tetap berada di pertahanan dan keamanan. Lebih dari itu, TNI memiliki pengaruh besar di kehidupan sosial masyarakat.
"Tentara itu kewenangannya terbatas sekali untuk pertahanan. Dia pegang senjata dan dia juga punya kekuatan kultural juga," ujarnya.
Bivitri menganggap pencabutan larangan bagi TNI untuk berbisnis sama dengan kembali mundur ke zaman sebelum reformasi. Dia menyebut revisi UU TNI ini akan memberikan akses yang besar bagi militer untuk masuk ke ranah di luar fungsi semestinya.
"Ini akan membuka jalan yang terlalu luas untuk militer masuk ke dalam dunia ekonomi dan politik," tuturnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, turut menyatakan penolakan yang sama atas revisi UU TNI. Dia berpendapat bahwa pasal-pasal dalam perubahan aturan itu akan berdampak buruk bagi demokrasi.
"Di dalam RUU itu banyak sekali pasal-pasal yang bisa membawa bahaya besar, terutama kembalinya dwifungsi ABRI," ucap Usman dalam kesempatan yang sama.
Sebelumnya, kelompok masyarakat yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik Koalisi itu menolak pencabutan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dalam perubahan aturan tersebut.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sekaligus perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, M. Isnur, menilai revisi UU TNI yang membuka keran militer berbisnis merupakan langkah keliru. Alih-alih ikut berbisnis, Isnur menyampaikan, TNI harus berfokus pada pertahanan dan keamanan negara.
"Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya," kata Isnur dalam pernyataan tertulisnya, Selasa, 16 Juli 2024.