Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membalak Tapi Bebas

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAPUA bisa disebut surga pembalak liar. Bertahun-tahun para pencoleng berpesta-pora menggarong kayu di sana, tapi tak ada satu pembalak kakap yang masuk bui. Kasus semacam Marthen Renouw bukan sekali ini terjadi. Data Departemen Kehutanan menunjukkan, sampai bulan ini setidaknya ada 22 penjarah kayu yang dibebaskan pengadilan. Dari jumlah itu, 21 orang dibebaskan oleh para hakim di Papua dan satu kasus di Pontianak.

Ini yang membuat Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban geram. ”Padahal bukti-bukti untuk menjerat mereka sudah jelas,” ujar Kaban. Pada November tahun lalu, Kaban mengadu ke Komisi Yudisial, meminta Komisi memeriksa hakim yang dicurigai main mata dengan pembalak liar. ”Saya curiga di balik putusan itu ada sesuatu yang ganjil, yang bertentangan dengan norma hukum,” kata Kaban.

Komisi Yudisial menyambut permintaan Kaban. Menurut anggota Komisi, Irawady Joenoes, Komisi kala itu sudah berencana membuat tim gabungan yang terdiri dari Komisi Yudisial, Departemen Kehutanan, dan Kepolisian. ”Tapi tak terlaksana karena kaki Komisi Yudisial keburu dipotong Mahkamah Konstitusi,” kata Koordinator Bidang Pengawasan Etika dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial ini. Inilah sebagian pembalak liar yang mendapat ”kado” vonis bebas dari pengadilan. Semua putusan itu disambut jaksa dengan langsung mengajukan banding.

Simon Sulaiman dan Danang Suhargo

Direktur PT Jutha Daya Perkasa, Simon Sulaiman, ditangkap karena menebang kayu merbau di areal Kopermas Mawaif, Desa Nengke, Kabupaten Sarmi, Papua. Dalam aksinya, Simon dibantu Danang Suhargo, pimpinan cabang PT Jutha Daya Perkasa Jayapura, Lai Hua Teng, serta Wong Ing Wu. Dua nama terakhir ini sampai kini masih buron.

Di pengadilan, jaksa menuntut Simon tujuh tahun penjara dan Danang enam tahun penjara serta keduanya membayar denda Rp 1 miliar. Pada 26 September 2005, majelis hakim Pengadilan Negeri Jayapura yang terdiri dari F.X. Soegiartho, S. Radiantoro, dan Denny D. Sumadi memvonis bebas keduanya. Alasannya, mereka mengantongi izin penebangan.

Jansen Maarisit dan Sureng Anak Gani

Jansen dan Sureng ditangkap aparat Polisi Air dan Udara (Polairud) Polda Papua di perairan Pulau Yamna pada 25 Februari 2005. Polisi menemukan barang bukti berupa gelondongan kayu 80 batang tanpa dokumen. Menurut aparat, log itu diangkut Sureng dengan tongkang dari PT Wapoga Mutiara Industri di Biak untuk dipindahkan ke kapal tongkang yang dikemudikan Jansen. Saat kayu itu sedang dipindahkan ke tongkang Jansen, aparat tiba-tiba muncul dan membekuk keduanya.

Jaksa menuntut keduanya tujuh tahun penjara. Tapi majelis hakim yang terdiri dari F.X. Soegiartho, Majedi Hendi Siswara, dan Denny D. Sumadi, memberikan vonis bebas pada 27 September 2005.

Andi Selle Paralangi

Ketua Koperasi Masyarakat Yasra Bayan, Jayapura, ini ditangkap polisi pada 17 Maret 2005 dengan tuduhan menyelundupkan kayu merbau 860 batang. Kala itu kayu tersebut tengah diangkut kapal MV Fitria Perdana dengan tujuan Surabaya. Polisi Air dan Udara menangkap Fitria saat berada di perairan Biak. Andi ternyata memalsukan dokumen kayu. Jumlah kayu ternyata 896 batang dengan volume 3.580,86 meter kubik, bukan 850 batang dengan volume 2.775,86 meter kubik seperti di dokumen.

Di Pengadilan Negeri Jayapura, jaksa menuntut Andi empat tahun penjara dan denda Rp 100. Tapi majelis hakim yang diketuai F.X. Soegiartho beserta dua anggotanya, Majedi H. Siswara dan Denny D. Sumadi, pada 30 Agustus 2005 memvonis bebas Andi. Alasan hakim: perbedaan itu terjadi karena ada kayu yang terlalu panjang sehingga harus dipotong.

Prasetyo Gow alias Asong

Cukong kayu dari Ketapang, Kalimantan Barat, ini dibekuk saat polisi memeriksa kapal KM Layan Bermakna dan KM JEVI yang memuat sekitar 1.000 meter kubik kayu. Ketika itu, 17 September 2004, kedua kapal itu tengah berada di tempat penampungan kayu Lalang Lestari di Kabupaten Ketapang.

Ketika polisi menanyakan dokumen kayu tersebut, pemiliknya, Prasetyo Gow alias Asong, gelagapan. Ia tak bisa menunjukkan dokumen surat keterangan hasil sahnya hutan (SKHSH) dengan alasan dokumen itu sedang diproses di Dinas Kehutanan Ketapang. Polisi pun menjebloskan Asong ke tahanan, dan jaksa lantas menuntutnya empat tahun penjara. Pada 17 Oktober 2005, majelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak yang diketuai I Made Ariwangsa membebaskan Asong dari tuntutan jaksa. Pria bermata sipit ini pun melenggang dan meneruskan ”bisnis” kayunya.

Abdul Manan, Cunding Levi (Papua), Harry Daya (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus