Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERANGAN apa kejahatan Among Hasan Makmur, 58, sampai dilempari batu, ditangkap polisi, lalu digiring ke pengadilan? Jaksa mendakwanya "mencoba menculik" seorang gadis kecil, dan menuntut hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Tapi Pengadilan Negeri Medan, Sabtu pekan lalu, menempelkan pengumuman: membebaskan Among dari segala tuduhan, memulihkan hak, kemampuan, kedudukan, dan martabatnya. Cerita yang terungkap di pengadilan, memang, lebih berbau "mistik" daripada menopang pasal-pasal tuduhan Jaksa Budiwibowo (KUHP pasal 53yo 330 ayat 1) mengenai kejahatan penculikan. Barang bukti di meja hakim pun berupa dua lembar uang pecahan Rp 500 dan selembar Rp 1.000 serta sapu tangan yang dirajah konon azimat penangkal sihir. Among Hasan Makmur adalah pimpinan pesantren tanpa papan nama di Jalan D nomor 3, Cipinang Muara, Jakarta Timur. Menurut ceritanya, ia memelihara beberapa gadis yang diangkatnya sebagai "anak rohani". Menurut wangsit, yang diperjelas oleh lukisan pada "bola kaca" di salah satu sudut rumahnya, ada seorang calon "anak batin"-nya di Sumatera. Suatu hari, Agustus tahun lalu, Among mengunjungi besannya yang tinggal di Labuhan Deli, Sumatera Utara. Dari besannya itu, Aminsyah Salamuddin, Among mendapat petunjuk tentang Siti Chadijah, 15, pelajar kelas III PGA, yang mempunyai ciri-ciri seperti yang diidamkannya. Among segera membawa rombongannya - yang terdiri dari 11 orang - ke rumah Chadijah, anak Imam Abdul Latif, yang tinggal di Desa Terjun, 17 km dari Medan. Among mengemukakan hajatnya kepada Abdul Latif: hendak mengangkat gadis itu sebagai "anak rohani" yang ke-8. "Anak rohani", seperti dituturkan Among kepada TEMPO kemudian, "adalah anak yang diangkat karena ikatan kepercayaan agama." Dan setiap anak angkatnya, kata Among berlagak di depan keluarga calon "anak rohani"-nya itu, "akan memimpin umat dan Indonesia." Salah seorang "anak batin"-nya disekolahkannya sampai di perguruan tinggi. Abdul Latif mengangguk-angguk saja mendengarkan keterangan Among. Tapi ia segera menggelengkan kepala ketika tamunya hendak membawa anaknya ke Aceh untuk melihat prasasti Islam, dan - apalagi - hendak memboyonnya ke Jakarta untuk disekolahkan. Dua hari kemudian, 12 Agustus, Among datang lagi ke Terjun untuk melanjutkan bujukannya. Tapi sambutan yang diterimanya tak diduga sama sekali: ratusan orang, termasuk anak-anak muda yang sedang main bola, melemparinya dengan batu. Untung, sebelum keadaan menjadi lebih gawat melintaslah anggota Koramil yang tengah meronda. Dua letusan tembakan peringatan menyelamatkan jiwa Among. Penduduk marah, tutur Abdul Latif, 60, karena menyangka bahwa Among hendak menculik Chadijah. Mereka juga menyangka, Among itu pula yang menculik Sari Gumilan, 14, gadis kampung tetangga yang hilang - padahal, terbukti kemudian, cewek itu dibawa kabur pacarnya. Hakim Nyonya S.M. Soediharjo akhirnya memang mengatakan, "Dia tidak terbukti melakukan percobaan penculikan, kok." Niat Among berbuat jahat pun, kata Hakim, tidak terbukti. Keinginannya mengangkat Chadijah sebagai anak, kata Hakim lagi, dibicarakan baik-baik dengan keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo