RUANG itu ditata resik. Ada pot bunga. Selembar bendera merah
putih terbentang di atas pintu. Selain sebuah buku kumpulan doa
bertulisan Arab dan Latin, di atas meja terlihat sebuah Al
Quran. Tapi di dalam laci meja itu, bila dibuka, akan terlihat
beberapa butir tablet obat tidur mogadon dalam kemasan. Itulah
ruang tahanan di LP Cipinang yang kini ditempati Ismoejanto,
salah satu tertuduh dalam perkara pembunuhan terhadap Siti
Rahmini.
Ismoejanto, 44 tahun, ditahan sejak awal Mei lalu. Beberapa hari
sebelumnya, polisi atas desakan keluarga Rahmini -- membongkar
makam seorang wanita tak dikenal di Parung, Bogor, yang
jenazahnya ditemukan dan kemudian dikebumikan penduduk setempat
bulan Maret lalu. Jenazah tersebut ternyata benar Siti Rahmini,
istri kedua Dewanto (TEMPO, 16 dan 30 Mei 1981). Sejak 7
September lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Utara mulai memeriksa
perkara ini.
Dalam sidang pemeriksaan itu, ketiga tertuduh dengan tenang
mendengarkan tuduhan jaksa P. Sitindjak SH. Tertuduh Dewanto, 47
tahun, pegawai pada Sekretariat Negara, dengan rambut penuh uban
mengenakan safari. Tertuduh lainnya, Ismoejanto, bekas Ketua
Generasi Muda Kosgoro, juga berbaju safari yang dilepas
kancingnya. Sedang Ichwan, 37 tahun, sopir Ismoejanto, terlihat
agak acuh.
Jaksa Sitinjak dalam surat tuduhannya menyebutkan, Dewanto dan
Ismoejanto pada 10 Maret 1981 telah mengatur cara-cara untuk
menghilangkan nyawa Siti Rahmini, istri kedua Dewanto. Yang akan
melakukan tugas berat ini adalah sopir Ismoejanto, Ichwan,
bersama Salhadi (belum tertangkap). Rencana semula untuk
melenyapkan nyawa Rahmini dilakukan di Pejaten, Jakarta Selatan,
batal karena Ichwan tak setuju.
Kemudian disepakati cottage Bina Ria Ancol sebagai tempat untuk
membunuh Rahmini. Untuk maksud ini, Dewanto dan Ismoejanto
menyiapkan minuman Vita Charm yang sudah dicampur obat tidur
mogadon. Ismoejanto lalu memesan kamar no. 63 Pondok Buaya di
cottage itu. Kamar itu dimaksudkannya untuk dipakai Dewanto dan
Rahmini .
Pukul 9 malam Ismoejanto menunggu di lobby Hotel Horison, Ancol.
Sejam kemudian datang Dewanto bersama Rahmini. Ismoe kemudian
menyerahkan kunci kamar no. 63 tersebut. Sekitar pukul 11 malam,
Dewanto meninggalkan Rahmini yang pulas karena minum Vita Charm
campur mogadon.
Setelah itu Ichwan dan Salhadi masuk kamar. Dengan cepat dan
bersama-sama, keduanya mencekik leher Rahmini dan mengikatnya
keras-keras dengan tali plastik. Mulutnya pun disumbat dengan
kantung terigu. Setelah tak bergerak, korban dimasukkan ke dalam
karung. Dengan mobil yang sudah disiapkan sebelumnya, mayat
dibawa ke Parung untuk disembunyikan di semak-semak pohon karet
di daerah itu.
Esoknya, 11 Maret, Ismoe datang ke kamar no. 63 untuk mengecek
pelaksanaan pembunuhan itu. Rahmini memang tak ada lagi. Yang
ada cuma sandal Rahmini yang diterima Ismoe dari room boy.
Kemudian, untuk menghilangkan jejak korban, sandal itu pun
dibuangnya ke kali di sekitar Ancol. Atas keberhasilan tugas
itu, Ismoe kemudian menyerahkan uang Rp 1,5 juta dari Dewanto
kepada Ichwan untuk dibagi dengan Salhadi.
Fiktif
Masih menurut tuduhan itu, jauh sebelum hilangnya nyawa korban,
percobaan pembunuhan sudah berkali-kali terjadi. Januari 1981,
Ismoe bersama Dewanto telah menyuruh Dedy, keponakan Ismoe,
untuk membunuh Rahmini Dedy menyanggupi, lalu menerima uang Rp
280 ribu sebagai upah. Tapi begitu Dedy ketemu Rahmini yang
waktu itu sedang ada di tempat orang tuanya di Walikukun,
Madiun, ia tak tega karena melihat dua orang anak wanita itu
yang masih kecil.
Februari 1981, Dewanto dan Ismoe kembali merencanakan
pembunuhan. Kali ini hendak dilakukan di Cipayung di sebuah
bungalow. Yang akan menjadi algojo Ichwan dan Salhadi. Tapi
percobaan pembunuhan gagal pula, karena gonggongan anjing di
bungalow tempat Dewanto dan Rahmini menginap.
Masih di bulan Februari juga, niat membunuh Rahmini diulangi
lagi. Ketika Dewanto meninggalkan Rahmini sendirian di dalam
mobil di dekat pohon karet Parung, Bogor, Ichwan dan Salhadi
yang sudah siap menarik Rahmini keluar mobil. Sambil mengadakan
perlawanan Rahmini berteriak-teriak. Gagal lagi, karena keduanya
melarikan diri dengan ketakutan. Terakhir, dan yang berhasil,
terjadi 10 Maret di Ancol, Jakarta.
Dari dalam tahanan di LP Cipinang, Ismoe menyesali Dewanto yang
dianggapnya telah menipunya. Apa yang sudah diakuinya dalam
berita acara yang kemudian jadi surat tuduhan itu, kata Ismoe
kepada TEMPO, fiktif belaka. "Saya akan buktikan di pengadilan
nanti, bahwa saya tidak terlibat," katanya kesal.
Namun Ismoe juga membenarkan beberapa tuduhan jaksa. Kamar no.
63, katanya, memang disewa atas namanya untuk dipinjamkan kepada
Dewanto yang sudah menjadi kawan akrabnya.
Ia juga mengaku membuang sandal ke kali. Adapun mogadon, kata
Ismoc, memang miliknya dan Dewanto mengambil dari rumahnya.
Sebab, "Dewanto ini seperti keluarga saja. Minum pun suka
mengambil sendii," katanya. Sampai-sampai istri Ismoe pernah
nyeletuk "Pak Dewanto itu kayak istrinya mas Is saja."
Ismoe juga membantah pernah menerima uang Rp 1,5 juta dari
Dewanto untuk diberikan kepada Ichwan. Ia pun tak tahu siapa itu
Salhadi yang katanya belum tertangkap. "Saya berani sumpah
pocong atau apa saja yang lebih hebat. Saya tak tahu Salhadi,
saya tak tahu pembunuhan itu," katanya.
Ismoe mengatakan dia tahu Rahmini dibunuh karena ditelepon
Dewanto. Kemudian, katanya, Dewanto menangisnangis di depan
Ismoe.
Semua kisah itu menurut versi Ismoejanto. Bagaimana cerita
Dewanto sendiri yang kini juga ditahan di LP Cipinang, masih
harus ditunggu dalam sidang selanjutnya. Toh 'kedatangan' Ismoe
di LP Cipinang, katanya, ada hikmahnya juga. Sebab, menurutnya,
LP telah mempertebal imannya dan mendekatkannya pada Tuhan.
Lebih-lebih setelah teman-temannya memberinya Al Qur' an.
Mencium Kaki
Ny. Ismoejanto juga melihat Dewanto sebagai seorang pemain
watak. "Waktu ketemu saya, Dewanto terus nangis, mencium kaki
saya. Minta maaf dan mengakui semua itu karena perbuatannya,"
kata Ny. Ismoe yang berputra empat ini. Masih dalam nada kesal
ia pun nyeletuk: "Pak Dewanto yang makan nangkanya, mas Is yang
kena getahnya."
Mengapa Dewanto tega membunuh istri keduanya? Menurut sumber
TEMPO, sebenarnya pembunuhan itu terjadi karena Dewanto
mendengar jabatannya akan dinaikkan -- dan hanya terhalang
karena diketahui atasannya ia mempunyai istri dua. Tambahan
lagi, istri kedua itu ingin diperlakukan sebagai layaknya istri
resmi. "Ini membuat Dewanto bingung dan minta bantuan Ismoe
kawan akrabnya," kata sumber tadi.
Yang jelas, kepada TEMPO Ichwan telah menyesali pembunuhan yang
dilakukannya. "Saya menyesal sekali," katanya. Sebaliknya, istri
Dewanto yang pertama, menyesalkan perbuatan Rahmini, bekas
pembantu rumah tangganya itu. "Sudah ditolong, malah ingin
merampas suami," kata Ny. Rahmini seperti pernah diungkapkannya
kepada Ny. Ismoejanto.
Dalam sidang yang dipimpin hakim Suharto SH itu, Dewantodibela
Albert Hasibuan SH, Ismoejanto dibela pengacara Ahar Achmad SH
dan Ichwan oleh Jefferson Dau SH dan Suripto SH.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini