Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Pakar Ungkap Alasan Putri Candrawathi Temui Brigadir J Usai Mengaku Dilecehkan

Kata pakar, respons yang diberikan Putri Candrawathi adalah lebih ke fase kontrol diri.

21 Desember 2022 | 16.26 WIB

Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua, Putri Candrawathi mencium tangan suaminya, Ferdy Sambo sebelum dimulainya sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Selasa, 20 Desember 2022. Heri Priyanto yang menjadi saksi dalam sidang tersebut menjelaskan bahwa sidang diminta digelar tertutup lantaran ia membawa sejumlah peralatan investigasi yang tidak boleh diketahui publik. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua, Putri Candrawathi mencium tangan suaminya, Ferdy Sambo sebelum dimulainya sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Selasa, 20 Desember 2022. Heri Priyanto yang menjadi saksi dalam sidang tersebut menjelaskan bahwa sidang diminta digelar tertutup lantaran ia membawa sejumlah peralatan investigasi yang tidak boleh diketahui publik. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar psikologi forensik Reni Kusumowardhani menjelaskan alasan Putri Candrawathi masih menemui Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J setelah mengaku dilecehkan. Menurut Reni, hal tersebut disebabkan oleh bentuk pertahanan diri yang dilakukan oleh istri Ferdy Sambo ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Reni mengatakan ini pada sidang lanjutan kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 21 Desember 2022. Sidang ini menghadirkan 5 terdakwa, yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer alias Bharada E, Ricky Rizal alias Bripka RR, dan Kuat Ma'ruf, dengan agenda meminta keterangan dari saksi ahli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awalnya tim pengacara Putri Candrawathi, Sarmauli Simangunsong, bertanya kepada Reni mengenai analisisnya soal apa alasan korban pelecehan seksual masih mau bertemu dengan pelaku pelecehan.

"Mengapa bisa seseorang jadi korban kekerasan seksual kemudian dalam beberapa waktu temui pelakunya?" tanya Sarmauli.

"Pada rektroma sindrom atau sindrom perempuan yang alami kekerasan seksual sampai pemerkosaan itu ada fase di mana pada saat fase akut dan segera kemungkinannya ada tiga," jawab Reni yang juga Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor).

"Pertama adalah express, jadi di sini mengekspresikan kemarahannya; dan kedua control, dikontrol ini satu penekanan dan ini berelasi pada ciri-ciri kepribadian tertentu yang internalizing tadi, jadi menekan rasa marahnya, menekan rasa takutnya, menekan rasa malunya meskipun itu ada tapi dikontrol. Ketiga adalah shock disbelief, menjadi sulit berkonsultasi dan sulit mengambil keputusan," tambahnya.

Reni menjelaskan dalam kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa Putri Candrawathi, respons yang diberikan Putri adalah lebih ke fase kontrol diri. Putri dalam hal ini memilih menahan emosi sebagai bentuk self defence.

"Nah yang terjadi pada ibu PC pada teori ini lebih sesuai dengan respons yang kontrol. Jadi seolah tidak ada emosi apa-apa, seolah-olah itu tidak terjadi apa-apa. Itu merupakan suatu bentuk defence mechanism supaya tetap tegar," ucap Reni.

"Dari sekian banyak korban yang pernah ahli temui, berapa persen yang melakukan defense seperti ini dibanding melaporkan ke kepolisian atau ke dokter dengan visum?" tanya Sarmauli lagi.

Reni pun menjawab bahwa kebanyakan korban pelecehan seksual di Indonesia enggan menjawab karena takut dan malu.

"Kalau dilihat dari Indonesia judicial research society di tahun 2021 yang margin error 2 persen dari data populasinya, itu menunjukkan bahwa kebanyakan akan menarik diri takut malu merasa bersalah yang bisa menggunakan ketiga respons tersebut," jawab Reni.

"Yang terbanyak adalah upaya untuk kemudian dia tidak melakukan pelaporan. Jadi menyelesaikan sendiri mengendalikan sendiri situasi gemuruh psikologis yang ada di dirinya. Sedikit sekali yang merespons yang betul-betul mengekspresikan," tambahnya.

Sarmauli kemudian menanyakan ihwal adanya culture of silence oleh para korban pelecehan seksual.

"Bisa, karena selama ini terjadi reviktimisasi terhadap korban perkosaan, tidak dipercaya, dianggap turut serta, ini juga menjadi suatu stigma bagi korban yang membuat korban lalu bagaimana saya harus keluar dari situasi ini," ucap Reni.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus