Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Maqdir Ismail, kuasa hukum terpidana kasus korupsi perkebunan kelapa sawit tanpa izin di Riau pada 2004-2022 Surya Darmadi, mengatakan penyitaan aset oleh Kejaksaan Agung melebihi kewajiban yang harus dibayar atau diganti oleh kliennya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Secara nyata, cukup banyak harta dan kekayaan klien kami yang telah disita oleh Kejaksaan Agung, bahkan melebihi kewajiaban klien kami untuk membayar uang pengganti," kata Maqdir dalam keterangan resminya pada Kamis, 6 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Maqdir menjelaskan, harta tersebut terdiri dari:
- uang tunai sebanyak Rp 1,5 triliun, USD 11,4 juta atau sekitar Rp 185,7 miliar, serta SGD 646,04 atau setara 7,8 juta atas nama nasabah Aset Pacific dan Darmex Plantation;
- uang sejumlah Rp 544 juta pada Bank BNI di beberapa rekening atas nama Asset Pasific dan Darmex Plantation;
- uang sejumlah Rp 3 miliar atas nama Aset Pacific Edited yang tersimpan pada beberapa rekening Bank BRI.
Dengan demikian, kata Maqdir, seluruh uang perusahaan Surya Darmadi yang telah disita oleh Kejaksaan Agung adalah sebesar Rp 5.123.189.064.979 alias Rp 5,12 triliun. Di sisi lain, Mahkamah Agung telah mengkorting uang pengganti yang harus dibayar oleh Bos PT Darmex Group itu dari Rp 39,7 triliun menjadi Rp 2,2 triliun. Ini sesuai dengan nilai harta benda dari tindak pidana korupsi Surya.
"Sehingga kalau dikurangkan dengan uang perusahaan klien kami yang telah disita dengan kewajiban membayar uang pengganti, masih ada kelebihan sebesar Rp 2,4 triliun, USD 11,4 juta, dan SGD 646,04," ujar Maqdir.
Selain itu, Maqdir juga menanggapi pemberitaan media tentang sita eksekusi atas rumah Surya Darmadi di yang akan dilelang oleh PPA Kejaksaan Agung. "Menurut hemat kami, perlu diluruskan karena berita tersebut tidak tepat dan akan menyesatkan," kata dia.
Dia juga menyebut ada pegawai Kejaksaan yang yang mendatangi rumah Surya Darmadi dan memasang plang. Bahkan, kata Maqdir, hari ini oknum tersebut juga melakukan pemasangan plang di gedung Surya yang berada di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Menurut dia, hal tersebut merupakan tindakan ilegal. Sebab, dia menuturkan, pemasangan plang ini bukan hanya tidak berdasarkan hukum tapi telah melanggar hak asasi kliennya.
"Menurut hemat kami Jaksa Agung seharusnya menghentikan tindakan-tindakan oknum yang secara hukum tidak berdasar ini," ucap Maqdir Ismail.
Bermula dari penerbitan izin lokasi dan isin usaha perkebunan Bupati Indragiri Hulu
Kasus Surya Darmadi ini bermula ketika Bupati Indragiri Hulu tahun 1999-2008 Raja Tamsir Rachman menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) kepada empat perusahaan PT Duta Palma Group.
Keempat perusahaan tersebut adalah PT Banyu Bening Utama pada tahun 2003, seta PT Panca Argo Lestari, PT Palma Satu, dan PT Sebrida Subur pada tahun 2007. Total lahan yang dikuasai empat perusahaan itu mencapai lebih dari 37 ribu hektare.
Pemberian izin dilakukan secara ilegal dan berpotensi mengakibatkan kerugian pada negara. Pasalnya, lokasi tempat penerbitan izin tersebut berada dalam kawasan hutan yang tidak disertai adanya pelepasan kawasan hutan.
Dalam kasus ini, Raja Thamsir Rachman telah divonis 7 tahun penjara dengan kewajiban membayar denda senilai Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan penjara dalam kasus ini.
Kasus ini juga menyeret Gubernur Riau Annas Maamun. Dia disebut menerima suap sebesar Rp 3 miliar dari Surya melalui Gulat Medali Emas Manurung. Annas juga telah divonis dalam perkara ini. Dia mendapatkan hukuman 1 tahun penjara, namun bebas setelah mendapatkan grasi dari Presiden Jokowi.
Surya Darmadi sempat jadi buronan
Surya Darmani sempat dinyatakan buron oleh Kejaksaan Agung. Pasalnya, dia mangkir tiga kali setelah ditetapkan sebagai tersangka. Surya baru kembali ke Indonesia pada 15 Agustus 2022. Pengacara Surya, Juniver Girsang, menyatakan kliennya tidak kabur, melainkan menjalani pengobatan di luar negeri.
Kejaksaan Agung pun telah menyita berbagai aset milik Surya selama proses penyidikan. Sejumlah aset yang disita di antaranya 2 hotel di Bali dan satu helikopter. Penyidik juga menyita 40 bidang tanah yang tersebar di Jakarta, Riau dan Jambi. Enam pabrik kelapa sawit yang berlokasi di Jambi, Riau dan Kalimantan Barat turut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.
Di Jakarta, kejaksaan menyita 3 apartemen dan 6 bangunan yang ditaksir bernilai ekonomi tinggi dari Surya alias Apeng. Selain itu, penyidik juga menyita beberapa rekening bank berisi uang Rp 5,1 triliun, US$ 11,4 juta dan Sin$ 646 ribu. Kejaksaan memperkirakan total nilai aset yang disita tersebut berjumlah Rp 17 triliun.
Pada persidangan 6 Februari 2023, Surya Darmadi dituntut penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 78,8 triliun. Akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta hanya memberikan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Surya juga hanya diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp 42 triliun.
Belakangan, Mahkamah Agung (MA) memangkas hukuman uang pengganti hanya menjadi Rp 2 triliun dari Rp 42 triliun dalam putusan ditingkat pertama dan banding.
Keputusan itu dikeluarkan MA pada Selasa, 19 September 2023. Ketua majelis pada putusan ini adalah Dwiarso Budi Santiarto. Lalu, anggota majelis Sinintha Yuliansih Sibarani dan Yohanes Priyana. Selain itu, panitera pengganti Widyatinsri Kuncoro Yakti.
Dalam putusannya, majelis hakim tingkat kasasi memperberat pidana penjara Surya Darmadi menjadi 16 tahun penjara. Hukuman itu lebih berat satu tahun dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
"Tolak perbaikan pidana menjadi pidana penjara 16 tahun, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Uang pengganti Rp2.238.274.248.234,00 subsider 5 tahun penjara," demikian bunyi putusan yang dilansir laman MA, pada Selasa, 19 September 2023.