Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina, Ihsan Ali Fauzi menilai vonis Ahok 2 tahun penjara sebagai keberhasilan kebencian atas nama agama atau hate spin. Kondisi ini berbahaya untuk demokrasi yang sehat.
Dia memperkirakan hate spin akan terjadi pada pemilihan kepala daerah di tempat lain dan pemilihan Presiden RI 2019. Menurut dia, pilkada Jakarta menjadi contoh yang krusial bagaimana hate spin dijalankan oleh kalangan yang memanipulasi atau merekayasa. Tujuannya adalah memenangkan Pilkada.
Baca: Aksi Dukung Ahok di Yogya Diganggu Massa, 6 Provokator Diciduk
"Sentimen berbasis agama sudah ada modalnya pada Pilpres 2014. Hate spin menggerogoti demokrasi yang sehat," kata dia di UGM seusai memberikan materi berjudul Hate Spin Kebencian Berbasis Agama dan Tantangan bagi Demokrasi di Fisipol UGM Yogyakarta, Jumat, 12 Mei 2017.
Menurut dia, demokrasi yang sehat menghargai orang bukan karena identitas agama ataupun etnisnya, tapi penghargaan terhadap warga negara Indonesia. Pejabat publik dipilih sebagai warga negara. Hate spin untuk pilkada DKI Jakarta, kata dia dijalankan oleh elit-elit tertentu yang punya kepentingan politik.
Ini terbukti dari hasil survei yang menyatakan 85 persen warga Jakarta tidak melihat video Ahok yang disebut menistakan agama. Elit-elit yang punya kepentingan politik memanfaatkan hoax.
Elit-elit itu melupakan masa depan Indonesia dan menggunakan segala cara untuk memenangkan pilkada. Pidato Ahok yang berujung pada kasus penistaan agama dipelintir. Kasus Ahok ini sangat krusial karena menyangkut kebencian minoritas.
Baca: Ahok Divonis 2 Tahun Penjara, Pengacara Duga Ada Muatan Politik
Vonis Ahok 2 tahun karena kasus penistaan agama, menurut Ihsan, adalah kemunduran demokrasi yang berujung memecah belah warga Indonesia. Hakim-hakim yang memutus kasus Ahok di pengadilan mendapat tekanan massa.
Ihsan punya solusi menyelesaikan hate spin. Ia berpendapat negara wajib menjalankan tanggung jawabnya mendidik warga negara Indonesia tentang kebhinekaan. Misalnya melalui surat edaran larangan ujaran kebencian. Kementerian Pendidikan juga harus memastikan nilai-nilai pluralisme sampai ke publik. Selain itu, publik juga perlu terus melawan hate spin.
Ia mengapresiasi aksi damai masyarakat dan simpati terhadap Ahok sebagai bentuk protes terhadap vonis itu. Aksi itu menggambarkan sebagian masyarakat punya kesadaran ada yang salah di pengadilan. Menurut dia, langkah Ahok mengajukan banding atas vonis tersebut adalah cara yang bagus dan menghargai proses hukum.
Baca: Vonis Ahok dan Pembubaran HTI , Pengamat Politik: Seolah Skor 1:1
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Rizal Panggabean mengatakan pilkada DKI Jakarta dan penistaan agama yang menimpa Ahok menggambarkan Indonesia kehilangan demokrasi. Padahal, sesuai nilai-nilai dalam demokrasi, pemimpin dipilih dengan melihat kualitas atau mutu dan kebijakan-kebijakannya.
Kunci dari demokasi adalah partisipasi, kesetaraan, dan cara-cara yang fair. "Bukan melalui cara curang memanfaatkan isu agama dan etnis seperti yang terjadi di pilkada Jakarta," kata Rizal.
Rizal pernah punya pengalaman sebagai saksi ahli untuk pasal penistaan agama di Mahkamah Konstitusi. Tapi, tuntutan publik untuk menghapus pasal peninstaan agama itu gagal karena hakim-hakim mendapat tekanan masyarakat.
Untuk mengatasi persoalan seperti yang terjadi dalam vonis Ahok pasal itu mesti dimatikan dengan cara bekerja bersama polisi dan hakim. "Pasal-pasal di KUHP yang memecah belah mesti dimatikan dan dihindari. Jaksa gunakan kewenangan diskresi. Jangan gunakan pasal penodaan agama," kata dia.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini