Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Perbedaan Cuti Kampanye Gubernur dan Presiden Versi Yusril  

Yusril menegaskan ada perbedaan wewenang dan tanggung jawab antara presiden dan gubernur.

15 September 2016 | 18.04 WIB

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Yusril Ihza Mahendra. TEMPO
Perbesar
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Yusril Ihza Mahendra. TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, memberikan penjelasan mengenai perbedaan kewajiban cuti kampanye bagi kepala daerah petahana dan presiden petahana saat pemilihan umum. 

"Pemohon (Ahok) menganggap ada ketidaksetaraan bagi warga negara yang menjabat sebagai presiden dan gubernur," kata Yusril dalam menyampaikan argumennya di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis, 15 September 2016.

Baca:
Refly Harun Yakin Ahok Menang Uji Materi di Mahkamah Konstitusi 
Uji Materi, Ahok Bandingkan Jabatan Gubernur dengan Presiden  
Sidang Uji Materi UU Pilkada, Ahok Kembali Didampingi Rian 

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebelumnya menilai penafsiran Pasal 70 ayat 3 Huruf a Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang mewajibkan dia cuti selama masa kampanye menyebabkan perbedaan kedudukan dalam hukum. 

Pada persidangan kali ini, Yusril menjadi pihak terkait yang memberikan kontra-argumen. Yusril menerangkan masa jabatan presiden dalam norma konstitusi Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan jabatan gubernur tidak diatur dalam norma konstitusi, tapi dalam norma undang-undang.

Undang-undang, kata Yusril, telah mengatur masa jabatan gubernur adalah lima tahun. Selain itu, kewajiban cuti selama masa kampanye bagi petahana juga diatur dalam norma undang-undang. "Pembentuk undang-undang tentu mempertimbangkan dengan saksama mengapa presiden tidak wajib cuti, sementara itu berlaku bagi bupati, gubernur, wali kota," ujarnya.

Walaupun sama-sama menjalankan roda pemerintahan, Yusril berujar, ada perbedaan wewenang dan tanggung jawab antara presiden dan gubernur. Menurut UUD 1945, presiden berwenang menyatakan perang dan menyatakan negara dalam keadaan berbahaya. Jika presiden mangkrak atau berhenti, dalam waktu sekejap, wakil presiden harus diambil sumpah menggantikannya.

Hal itu, kata Yusril, pernah terjadi saat pergantian masa jabatan Soeharto kepada B.J. Habibie, yang saat itu menjadi wakil presiden. Jika dalam keadaan vakum kekuasaan wakil presiden tidak bisa menyatakan negara dalam keadaan bahaya atau perang, sehingga perlu segera diangkat menjadi presiden.

Yusril mengatakan tugas dan wewenang seperti itu tidak ada pada seorang gubernur, sehingga presiden tidak perlu cuti kampanye. Kerumitan dalam ketatanegaraan akan terjadi jika presiden dan wakil presiden ikut cuti dalam pemilihan umum karena berstatus sebagai petahana.

FRISKI RIANA


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erwin Prima

Erwin Prima

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus