Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA di Bandara Soekarno-Hatta pada Jumat lalu sekitar pukul 19.30, bagaikan adegan film spionase. Tiga mobil mewah -- dua sedan Mercedes Benz berwarna merah dan sebuah lagi sedan Mazda berwarna hitam metalik - beriringan mendekati pintu masuk terminal keberangkatan luar negeri. Sekitar 500 meter menjelang pintu masuk, ketiga mobil itu dicegat oleh seorang petugas imigrasi, yang membawa handy talky di tangan. Iringan kendaraan berhenti, dan petugas itu, konon pejabat penting pada Ditjen Imigrasi, melompat masuk ke dalam. Wartawan TEMPO Sidartha Pratidina, yang mencium keberangkatan rahasia itu mencoba mendekati mobil tersebut. Tiba-tiba seorang penumpang menutup kaca jendela mobil dengan koran. Lalu, iringan mobil itu melejit menuju terminal VIP. Siapakah mereka? Ternyata, rombongan yang mendapat kawalan "istimewa" itu tidak lain dari Aktris Ida Iasha, yang diperintahkan Imigrasi untuk meninggalkan Indonesia. Di daftar penumpang pesawat Garuda GA 976, yang meningkat pukul 20.00 ke Singapura, nama Ida tidak tertancum. Begitu pula nama anggota rombongan, seperti Kolonel (pur) Syarief Hasyim dan istri, mertua Ida, Pengacara O.C. Kaligis. Rombongan Ida, kecuali Kaligis juga tak ada yang urus pendaftaran penumpang. Bahkan Ida, sampai semua penumpang duduk di pesawat, masih belum menempatinya, sehingga keberangkatan malam itu tertunda 20 menit. Ida baru diantar petugas ke tangga pesawat setelah segala sesuatunya dirasa aman. Tak banyak penumpang yang tahu tentang "operasi" pemberangkatan Ida ke luar Indonesia, karena aktris pemeran utama film Balik Dinding Kelabu itu langsung duduk ke kursinya di ruang first class Boeing 747, yang hari itu kebetulan sepi. Setibanya di Singapura, di bandar udara Changi, Ida sudah ditunggu pejabat Imigrasi yang ditempatkan di sana, Drs. Otok Sugiarto. Ida kemudian diantar ke Hotel Pan Pacific, hotel berbintang V dengan tarif US$ 79 semalam. Ida menempati kamar 1428. Luar biasa memang pengamanan keberangkatan buat seorang aktris, seperti Ida. Sebab, ia bukan seorang spion atau pelanggar hukum berat yang perlu diusir diam-diam. Ia hanya dituduh telah bekerja di Indonesia sebagai artis film dengan menyalahgunakan Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS), dan menggunakan KTP palsu di Indonesia. Apalagi Ida, yang semula diumumkan Kepala Humas Imigrasi Hamsuk Wijaya akan dikembalikan ke negara asalnya (dideportasikan), ke Belanda, belakangan ternyata cuma dicabut KIMS-nya dan diberi exit permit only. Artinya, setelah meninggalkan Indonesia, hatta cuma beberapa jam, ia diperbolehkan mengurus KIMS baru dan kembali lagi. "Jika ia masuk lagi ke Indonesia, tidak apa-apa," ujar Direktur Pengawasan dan Penanggulangan Orang Asing Subyakto kepada wartawan pekan lalu. Perubahan sikap Ditjen Imigrasi itu cukup mencengangkan. Pada hari keputusan itu keluar, memang Ida bersama suaminya Eddy Syahputra dan Pengacara Kaligis mohon agar aktris itu tidak dldeportasikan. Ternyata, Imigrasi tak hanya sekadar mengabulkan, entah mengapa, berbalik "mengistimewakan" wanita beranak satu tersebut. Ida hanya diminta meninggalkan Indonesia beberapa hari sekadar formalitas saja. Sehari setelah Ida sampai Singapura, konon KIMS yang dimintanya sudah terbit, dan Senin pekan ini Ida memperoleh KIMS baru. Selasa pagi, ia direncanakan kembali ke Jakarta dengan cara yang rahasia pula. Bukan hanya itu kemudahan yang diterima Ida. Perjalanannya ke Singapura, menurut sumber di Ditjen Imigrasi, sepenuhnya dibiayai instansi itu. Mertua Ida, Syarief Hasyim, mengaku tidak mengeluarkan biaya untuk perjalanan itu. "Saya, sih, tidak mengeluarkan biaya, tidak tahu Eddy," katanya. Pejabat Imigrasi di Singapura Otok Sugiarto hanya menyebut ditugasi mengurus Ida di Singapura. Ia mengelak untuk mengakui bahwa instansmya yang membiayai perjalanan aktris tersebut. "Soal itu saya tidak tahu, tanyakan saja di Jakarta," katanya. Perubahan sikap aparat hukum terhadap Ida tidak hanya dengan pembatalan pendeportasian, tapi juga dalam soal kewarganegaraannya. Semula, baik pihak Imigrasi maupun pihak pengadilan tegas menganggap kemungkinan Ida mendapat WNI secara otomatis lewat pernyataan sudah tertutup. Sebab, aktris yang dilahirkan di Belanda itu -- dari ayah Belanda dan ibu Solo asli semula masuk ke Indonesia sebagai WNA. Ia mendapat izin menetap setelah menikah dengan lelaki Indonesia asli, Eddy Syahputrapada 1983. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan, 1958, Ida yang dilahirkan dengan nama Ida Albertina van Suchtelen Van de Haere otomatis menjadi WNI bila dalam waktu setahun memberikan pernyataan untuk itu melalui pengadilan. Seperti diakui Ida, karena tidak tahu, ia lalai melaksanakan itu. Karena itu, ketika ia ketahuan bekerja sebagai aktris film, pihak Imigrasi menganggapnya melanggar ketentuan bekerja bagi orang asing, dan hendak mendeportasikannya. Sementara itu, pihak pengadilan menanggap Ida tidak mungkin lagi menjadi WNI, kecuali melalui prosedur naturalisasi. Padahal, setahun setelah Undang-Undang Kewarganegaraan itu keluar, Menteri Kehakiman Maengkom mengeluarkan surat edaran untuk mengatasi kesulitan wanita-wanita seperti Ida (TEMPO, 25 April). Untuk kasus semacam itu, wanita asing tersebut masih diperkenankan mengajukan permohonan menjadi WNI lewat pernyataan. Asal saja si pemohon mendapat surat keterangan dari perwakilan negaranya bahwa ia akan kehilangan kewarganegaran asalnya bila menjadi WNI. Surat edaran itu diperkuat lagi oleh Menteri Kehakiman Oemar Senoadji pada 1969. "Tampaknya memang masih ada upaya hukum bagi Ida untuk memperoleh kewarganegaran RI," ujar seorang pejabat Ditjen Imigrasi. Konon, menurut sebuah sumber, dalam waktu dekat kewarganegaran Ida sudah bisa diproses Departemen Kehakiman . Karni Ilyas, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo