Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin menyebutkan hasil survei instansi yang dipimpinnya menyebutkan ada perbedaan antara persepsi dan pengalaman masyarakat terkait dengan sikap antikorupsi. “Dari segi persepsi, kesadaran masyarakat meningkat dari 2013 hingga 2015. Artinya, keinginan dan persepsi masyarakat makin menunjukkan antikorupsi," kata Suryamin di kantornya, Jakarta, Senin, 22 Februari 2016.
Namun, kata Suryamin, pengalaman antikorupsi masyarakat lebih rendah dibanding persepsinya. Menurut data BPS, terjadi penurunan dari angka 3,49 pada 2014 menjadi 3,39 pada 2015. "Ini artinya kejadian di lapangan masih menunjukkan (ada perilaku korupsi).”
Suryamin menjelaskan, hasil survei menunjukkan perilaku antikorupsi masyarakat Indonesia tahun 2015 dari skala 0 sampai 5 sebesar 3,59. "Ada penurunan 0,02 poin dibandingkan survei tahun 2014 sebesar 3,61," ujarnya.
Nilai indeks yang semakin mendekati 0, kata Suryamin, menunjukkan masyarakat permisif terhadap korupsi. Sedangkan nilai yang makin mendekati 5 memperlihatkan masyarakat semakin antikorupsi.
Dalam surveinya, BPS mengajukan pertanyaan kepada responden mengenai pengalaman mereka dengan sepuluh pelayanan publik. Khususnya terkait dengan pengalaman penyuapan, pemerasan, dan nepotisme. Beberapa pelayanan publik yang disurvei adalah pengurusan segala sesuatu di RT dan RW, seperti perpanjangan KTP, pengurusan di desa, di kepolisian, dan pengurusan listrik di PLN.
Selain itu, pelayanan publik di rumah sakit dan puskesmas, sekolah, lembaga peradilan, KUA, dinas kependudukan, dan bidang pertanahan juga tak lepas dari survei BPS. "Jangan dibayangkan bahwa (survei ini) adalah korupsi yang besar. Belum sampai ke sana," tutur Suryamin.
Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan mengatakan pihaknya sangat tertarik dengan keluarnya survei tersebut. "KPK melihat hasil ini normal-normal saja, persepsi meningkat. Secara sederhana, bisa digambarkan bahwa masyarakat sekarang sudah lebih tahu," ucapnya.
Pahala gembira karena perilaku "memberi" yang dulu dianggap biasa-biasa saja sekarang menjadi tidak wajar menurut masyarakat. "Kalau dibawa ke praktek, mereka terpaksa ikut di pelayanan publik," ujarnya. "Bisa jadi pelayanan yang memburuk."
REZKI ALVIONITASARI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini