Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pegiat HAM dan aktivis isu Papua, Veronica Koman menilai aksi Black Lives Matter yang terjadi di sejumlah negara saat ini relevan dengan persoalan Papua di Indonesia. Black Lives Matter merupakan protes atas meninggalnya pria kulit hitam Amerika Serikat, George Floyd yang lehernya ditindih lutut polisi Minneapolis Derek Chauvin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Black lives matter sangat berkaitan. Ini merupakan kebangkitan di mana-mana," kata Veronica dalam diskusi bertajuk '#PapuanLivesMatter: Rasisme Hukum di Papua' yang tayang di akun Youtube BEM UI, Sabtu malam, 6 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Veronica mengatakan, aksi membela hak-hak warga kulit hitam kini bukan hanya terjadi di Amerika. Gerakan ini sudah meluas ke negara di benua-benua lain, seperti Eropa dan Australia.
Di Australia, kata Veronica yang juga bermukim di sana, aksi itu diadopsi menjadi Aborigin Lives Matter. Menurut dia, aksi Sabtu kemarin di Sidney memecahkan rekor jumlah massa aksi terkait hak-hak Aborigin yang terbanyak sepanjang sejarah.
"Di Sidney ada 60 ribu orang. Di Palestina juga ada Palestinian Lives Matter," kata Veronica.
Veronica mengatakan, sudah semestinya masyarakat Indonesia turut menyuarakan permasalahan rasisme terhadap warga Papua. Ia menyebut, warga negara yang baik justru harus menyuarakan hal tersebut.
Saat ini, tujuh pemuda Papua tengah didakwa dengan pasal makar dan diancam penjara 5-17 tahun. Padahal, menurut Veronica, mereka hanya terlibat aksi antirasisme di Jayapura, yang merupakan buntut dari insiden rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019.
Pengacara HAM Papua, Gustaf Kawer mengatakan, situasi yang terjadi di Amerika saat ini penting untuk melihat situasi Papua hari ini. Menurut dia, persoalan di Papua adalah perulangan dari peristiwa sebelum-sebelumnya, yang memuncak pada 16 Agustus tahun lalu.
Gustaf mengatakan, jika pemerintah serius, seharusnya insiden rasisme pada 16 Agustus 2019 itu diproses hukum. Namun karena tak ada tindakan tersebut, terjadilah aksi di Papua pada 19 dan 29 Agustus 2019.
"Aksi ini menentang rasisme, kemudian respons negara menangkap dengan pasal makar," kata Gustaf dalam diskusi yang sama.
Sayang Mandabayan, salah satu orang Papua yang pernah dipenjara karena aksi antirasisme tersebut, mengatakan pemerintah seharusnya belajar dari kasus George Floyd di Amerika Serikat. Menurut dia, polisi di Amerika berani meminta maaf atas kejadian yang menimpa pria 46 tahun itu.
"NKRI harus belajar dari apa yang terjadi di Amerika Serikat hari ini," ujar Sayang.
Sayang termasuk salah satu yang ditangkap terkait aksi antirasisme pada tahun lalu. Dia ditangkap di Bandara Rendani Manokwari lantaran kedapatan membawa 1.500 bendera bintang kejora berukuran kecil pada 3 Septermber 2020.
BUDIARTI UTAMI PUTRI