Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO BISNIS — Di tengah pandemi Covid-19 atau virus corona kondisi ekonomi menjadi semakin tidak menentu, dan membuat bursa saham menjadi volatil. Kondisi ini membuat investor menahan diri dan berhati-hati dalam mengelola portofolionya di pasar saham RI.
Pasalnya, dalam beberapa waktu terakhir Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh titik terendahnya dalam beberapa tahun terakhir. Akibatnya sejumlah saham bluechip anjlok dan meninggalkan harga wajarnya. Hal ini membuat beberapa saham dinilai sudah undervalued, atau lebih rendah dibandingkan nilai fundamentalnya.
Salah satu saham yang harus merasakan imbas pandemi ini adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) yang ditutup pada level Rp 4.150 pada perdagangan, Selasa, 14 April 2020. Harga saham BNI pada 26 Maret sempat menyentuh Rp 2.970/saham, dan merupakan level terendah satu dekade terakhir atau sejak 16 Agustus 2010.
Berdasarkan analisa, setelah 2010 BNI juga pernah menyentuh level terendah kedua BNI, yakni di level Rp 2.975/saham pada 2011. Dengan begitu level Rp 2.970 berpeluang menjadi level dasar (bottom) sepanjang tahun ini. Selama level tersebut tidak ditembus, secara teknikal saham BNI berpotensi kembali menanjak.
Sejak akhir 2019 hingga Selasa, 14 April 2020, saham BNI sudah turun nyaris 50 persen, tepatnya 49,13 persen. Aksi jual masif terus terjadi sejak 20 Februari, hingga akhirnya menyentuh level terendah dalam 10 tahun.
Penurunan tajam dalam waktu singkat tersebut tentunya terlalu berlebihan, terlihat dari indikator stochastic periode mingguan yang berada di wilayah jenuh jual atau oversold (di bawah 20), begitu juga dengan periode bulan. Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika stochastic mencapai wilayah oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik.
Akan tetapi, untuk jangka panjang saham BNI resisten terdekat berada di level Rp 4.850/saham. Jika level tersebut bisa dilewati BNI, maka saham bank pelat merah ini berpeluang terus menanjak menuju Rp 6.000 – Rp 6.150/saham. Bahkan peluang ke area Rp 6.800 – Rp 7.000 akan terbuka jika BNI mampu melewati Rp 6.150/saham.
Apalagi jika melihat kecenderungan di pasar saham belakangan, dengan maraknya aksi jual akibat pandemi Covid-19. Yang terpukul bukan hanya saham perbankan atau BNI secara khusus, melainkan merata di semua sektor dan membuat pertumbuhan ekonomi terhambat.
Setelah pandemi ini berakhir, tentunya perekonomian global dan nasional bangkit kembali, dan investor tidak akan ragu untuk kembali masuk ke pasar saham yang memberikan imbal hasil tinggi.
Murahkan Saham BNI?
Saat ini nilai buku (book value) saham BBNI berada di level Rp 6.570. Dengan demikian, harga saham pada hari ini mencerminkan pada level 0,63 kali nilai buku (PBV). PBV adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Valuasi ini lebih banyak digunakan untuk emiten dari industri jasa keuangan, terutama bank.
Sebelum IHSG tertekan, rata-rata PBV industri perbankan di Indonesia berkisar dua kali. Sementara itu secara historis, dalam lima tahun terakhir BNI memiliki rata-rata PBV 1,45 persen.
Dengan posisi PBV-nya saat ini, bisa dibilang harga saham BNI cenderung murah bila dibandingkan dengan nilai fundamentalnya. Yang perlu dicermati berikutnya terkait BNI adalah rentabilitas perusahaan ini ke depan.
Pasalnya book value bukan merupakan level tetap, naik atau turunnya mengikuti kinerja laba. Bila laba bersih meningkat, maka nilai buku emiten tersebut ikut bergerak naik.
Untuk itu, perlu diperhatikan proyeksi profitabilitas BNI selama 2020, terutama di tengah ancaman pelambatan ekonomi akibat virus corona. Namun, yang pasti bank terbesar keempat di Indonesia ini berhasil membukukan kinerja yang baik sampai Februari 2020. Hal ini tercermin dari peningkatan laba bersih, kredit, hingga dana pihak ketiga.
Laba bersih bank BUMN ini melesat 22,27 persen menjadi Rp 2,58 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 2,11 triliun. Jika dibandingkan dengan industri perbankan yang hanya tumbuh 8,25 persen di Januari 2020, maka laba BNI tumbuh melampaui industri.
Peningkatan laba bersih BNI didorong oleh kenaikan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) hampir 16 persen menjadi Rp 5,92 triliun pada Februari 2020, dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 5,11 triliun. Sementara itu, pendapatan komisi dan administrasi yang tetap kuat yakni Rp 1,44 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peningkatan pendapatan dan laba bersih ini juga dibarengi dengan kenaikan aset hampir 10 persen pada Februari 2020 menjadi Rp 788,72 triliun. Sementara pada Februari 2019 aset bank pelat merah ini tercatat senilai Rp 718,82 triliun.
Kenaikan aset perusahaan juga didukung oleh peningkatan penyaluran kredit dan dana pihak ketiga. Per Februari 2020, penyaluran kredit BNI melesat 11,8 persen menjadi Rp 529,53 triliun, dibandingkan periode yang sama 2019 senilai Rp 473,61 triliun. Sementara DPK perusahaan pun tercatat naik 9,83 persen menjadi Rp 573,3 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 521,97 triliun.
Head of Investment PT Avrist Asset Management Tb. Farash Farich, mengatakan sebuah sinyal positif untuk bank bisa tumbuh di awal tahun. Meski tantangannya semakin berat ke depannya, terutama karena perlambatan ekonomi akibat penyebaran virus corona.
"Dari sisi valuasi BNI termasuk yang sudah sangat rendah, Price to book 0.65x, dibawah standar deviasi historisnya," kata Farash.
Ini juga bisa menjadi momen investor untuk mengoleksi saham BNI, apalagi dengan PBV saat ini yang menandakan saham bank pelat merah ini tengah undervalue. Biasanya saham yang memiliki rasio PBV besar, punya valuasi tinggi (overvalue) sedangkan saham dengan PBV di bawah 1 kali, punya valuasi murah.
"Kemungkinan untuk valuasi kembali lebih rendah tetap ada. Tapi paling tidak valuasi saat ini sudah cukup menarik. Namun, untuk antisipasi kemungkinan harga bisa lebih turun bisa dilakukan pembelian bertahap," ujarnya. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini