Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Pemilik PB Huda Perkasa Majalengka, Wawan Setiawan, mengutarakan menjual beras ramping (slender) ke pasar lebih mahal daripada beras bulat (bold). Pria pemegang gelar Sarjana Teknik ini, menjual beras ramping seharga Rp 8.500 per kilogram, sedangkan beras bulat hanya Rp 8.030 per kilogram. Begitu juga harga beli gabah ke petani, menurut Wawan, gabah ramping lebih mahal dari bulat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Berdasarkan pengalaman saya, beras ramping juga bisa masuk kualitas premium dengan harga Rp 9.000 per kilogram. Sedangkan beras bulat hanya bisa masuk kualitas medium dengan harga Rp 8.030 per kilogram,” ujanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih lanjut, Wawan menjelaskan beras ramping biasanya berasal dari varietas Ciherang, Mekongga, dan Inpari. Sedangkan beras bulat berasal dari varietas Cibatu dan Cilamaya Muncul. Semua varietas tersebut ditanam petani Majalengka, meskipun Ciherang tetap merupakan varietas favorit petani.
“Ciherang itu rasanya enak, produktivitasnya tinggi, dan harga jualnya bagus,” kata petani dari Desa Ligung, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka, Hasan.
Pemulia padi dari Balai Besar Litbang Padi, Sukamandi, Indrastuti, mengatakan semua varietas tersebut adalah produk Badan Litbang Pertanian, kecuali Cibatu yang memang varietas lokal. Ada lagi varietas Batutegi, tanamannya tinggi, kokoh, malai panjang, lebat, daun agak lebar, jumlah butir per malainya banyak, dan gabahnya bulat. “Dalam hal rasa, sebenarnya Ciherang (ramping) dan Cilamaya Muncul (bulat) sama-sama pulen dengan kandungan amilosa medium sekitar 20 persen,” ucapnya.
Hanya saja, kata Indrastuti, para pemilik rice miling unit (RMU) lebih menyukai beras ramping. Karena umumnya RMU di-setting untuk beras ramping. “Kalau mau menggiling beras bulat, maka perlu setting ulang yang memerlukan waktu” tuturnya.
Saat ini, panen padi di Kabupaten Majalengka hampir selesai. “Namun alhamdulillah, kami masih dapat pasokan gabah dari kabupaten tetangga, yaitu dari Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon,” kata Wawan. Hal itu diamini Muhammad Yunus, pemilik PB Sri Wulan. “Pabrik beras kami tetap beroperasi hingga panen musim gadu nanti. Meskipun, kami harus cari gabah ke Jawa Tengah, seperti Demak dan Kudus, terlebih dahulu, karena di sana panen musim gadunya lebih awal,” ujarnya.
Keuntungan bisnis beras sebetulnya tidak terlalu besar, hanya sekitar Rp 40-50 per kilogram. “Jadi, kalau bisa untung hingga Rp 100 per kilogram itu sudah hebat,” kata Haji Dadang Rahmana, pemilik PB Sri Ratna. Padahal, kata Sri, bisnis ini memerlukan modal besar. “Coba saja hitung, bila kita beli gabah 200 ton kering jemur petani (KA sekitar 16-17 persen) dengan harga Rp 5.000 per kilogram, maka perlu modal sekitar Rp 1 miliar. Bila rendemen gabah ke beras sekitar 60 persen, maka keuntungan tersebut hanya Rp 5-6 juta,” ucap Dadang.
Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Bogor, sekaligus anggota Tim Sergap Jawa Barat Dedi Nursyamsi mengatakan, pengusaha beras memperoleh keuntungan bukan hanya dari selisih biaya penjualan dan biaya produksi beras, tapi ada keuntungan lain. Para pengusaha beras umumnya memiliki RMU, pengering (drier), dan kendaraan truk. Dengan demikian, biaya produksi penggilingan, pengeringan, serta transportasi, akan kembali ke kantong mereka sebagai jasa.
Lebih lanjut, Dedi menjelaskan para pengusaha beras juga mendapat keuntungan dari hasil samping (by product) RMU. Mereka bisa menjual dedak, bekatul, dan menir kepada para peternak itik untuk pakan.
Hanya saja, hingga saat ini mereka belum bisa memanfaatkan limbah sekam padi. Dedi mengatakan sekam padi bisa dibuat pupuk biosilika. Pupuk ini sangat diperlukan tanaman padi terutama di tanah-tana tua, seperti Oxisol dan Ultisol. “Di Taiwan, sekam padi dibuat biochar untuk energi pemanas drier saat pengeringan padi. Bahkan, RMU yang kapasitasnya besar bisa menjual sebagian biocharnya ke PLN-nya Taiwan,” tuturnya.
Bebeng Wasban MPd, pemilik PB Bakti Rizki, mengatakan untuk mengamankan pangan nasional, pihaknya siap memasok beras ke Bulog. Bebeng merupakan mitra Bulog yang memberikan kontribusi beras terbesar di Sub Divre Cirebon. Tahun lalu saja Bebeng menyetor beras ke Bulog sekitar 5.000 ton.
“Saya hanya menjual beras ke Bulog saja, tidak ke tempat lain. Karena, harganya pasti dan prosesnya mudah dan cepat. Bila GD1M (rekap pemasukan beras) dari gudang diterima, maka langsung diproses ke kantor Sub Divre Cirebon dan hari itu juga uang bisa dicairkan di BRI,” katanya. (*)