Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI mesjid Nabi s.a.w. di Madinah, di mana merpati beterbangan
di bagian yang tanpa atap, khatib ibadat Jum'at mengecam "sikap
yang meniru-niru cara hidup Barat, praktek zina atau perbuatan
yang menjurus ke sana" -- dan mengajak kembali kepada Qur'an.
Di negeri Islam di mana dunia lelaki dan perempuan (di luar
rumah) sama sekali terpisah, di mana "hukum adalah ayat-ayat
Qur'an itu sendiri," seperti kata seorang pejabat Departemen
Penerangan, isi khotbah 2 Pebruari itu bisa terasa "janggal"
bagi seorang pendatang. Bukankah ina sudah dihukum dengan
cambukan 100 kali, atau bahkan rajam tubuh dipendam sampai
leher, wajah dilempar batu sampai mati?
Tapi hukuman yang keras memang tidak berarti tertutupnya
kesempatan bagi yang mau melanggar. Pergaulan memang ketat:
wajah wanita hanya bisa disaksikan lewat cadar hitam. Tapi
konon, di balik cadar yang tipis itu kadang satu-dua kali bisa
dilihat bibir yang tersenyum atau mata yang jeli. Dan bila
seorang lelaki iseng memberi isyarat dengan jari atau kedipan,
si wanita bisa saja mengiringinya berjalan dengan jarak
katakanlah 15 meter. Maka yang diperlukan hanyalah sebuah mobil
pribadi dan rumah tinggal -- yang biasanya dikelilingi tembok
tinggi.
Itu hanyalah contoh bahwa kehidupan privat hampir sepenuhnya di
luar kontrol hukum. Seorang galis Saudi asli, yang merasa akan
berkurallg kehormatannya bila berjalan tanpa cadar, akan
mempertunjukkan "kckayaan tubuhnya" hanya setelah ia masuk
rumah. Berbagai macam acara seperti arisan, atau kadang juga
dansa-dansi ataupun ramai-ramai nonton video-tape dengan film
terlarang, misalnya, bisa bebas dilaksanakan dalam rumah tanpa
seorang polisi berhak masuk pekarangan. Kccuali bila seseorang
katakanlah ngeloyor ke luar dalam keadaan mabuk, yang berarti
mengundang penggerebekan.
Lebih dari itu semua ulama akan suka menerangkan bahwa Qur'an,
yang telah menetapkan hukum-hukum itu, juga "membuat perzinaan
hampir tak mungkin dihukum". Yakni karena dibutuhkannya empat
orang saksi yang 'adil (jujur) yang melihat dengan mata kepala
perbuatan itu.
Asas "pra-duga tak bersalah" itu dipertegas lagi dengan bentuk
hukuman yang diberikan kepada orang yang menuduh berzina tanpa
membawa empat saksi sebagai dimaksud: 80 kali cambuk -- kecuali
bila itu terjadi antar suan-iisteri. Seorang suami (dan juga,
menurut tafsir mutakhir, seorang isteri) yang tanpa saksi
menuduh pasangannya berzina, bisa bersumpah empat kali --
ditambah satu sumpah-kutuk kepada dirinya sendiri kalau ia
bohong. Sebaliknya sang pasangan juga bisa menghindar dengan
jumlah sumpah yang sama -- dan bila demikian, pasangan itu
bercerai selama-lamanya.
Diakuinya lembaga sumpah, tidak hanya sebagai penopang kesaksian
tapi juga alat melepaskan diri (selama saksi tak cukup atau
bukti tak meyakinkan), agaknya sejajar dengan kenyataan tidak
dikenalnya lembaga pembela dalam pengadilan menurut Islam, juga
di Saudi. Bukan karena hukum Islam lebih sederhana dari hukum
Barat. Tapi karena hukum Islam tampaknya dimaksud untuk
diletakkan dalam satu lingkungan yang punya moral tinggi -- di
mana sumpah palsu dan kesaksian palsu (sya'badatuz zuur)
ditanamkan sejak kanak-kanak sebagai salah-satu dosa besar
sesudah syirik dan durhaka kepada ibu-bapa. Tentulah tugas
pemerintah menjaga kehidupan moral ini -- misalnya menghadapi
perobahan atau pengaruh asing yang sangat deras sekarang.
Bisa difaham bila pengadilan yang demikian berada dalam
kompetensi kalangan ulama. Juga dalam berbagai organ peradilan
seperti Dewan Keluhan, Komite Untuk Kasus Pemalsuan, Komisi
Untuk Kasus Penyuapan, Komisi Untuk Tuduhan Para Menteri, Komisi
Perselisihan Harta, Komite Pusat Kasus Perzinaan, Komisi Tinggi
Perselisihan Perburuhan, berbagai dewan penertib pegawai sipil
dan militer. Sampai-sampai di bidang notariat.
Seperti diucapkan Dr. Fouad Al-Farsy, Asisten Deputi Menteri
Penerangan, "tidak ada peraturan hukum terperinci (qanun)
bersifat umum yang sengaja dibikin." Undang-Undang adalah
Qur'an. Dan beberapa hakim yang memutuskan suatu perkara, lebih
dulu akan mendengar tuduhan, kesaksian atau bukti atau sumpah,
melihat aturan permainan atau perjanjian dalam hal murni
perdata, membandingkannya dengan Qur'an, hadis-hadis, dan
kitab-kitab fiqh -- khususnya fiqh Hambali, salah-satu dari
empat mazhab besar dalam hukum Islam maupun kupasan-kupasan
baru.
Dalam kasus ketidakpuasan, tersedia pengadilan banding. Tersedia
juga beberapa 'komisi peninjauan syari'ah', sebagaimana juga
konsultan ahli -- misalnya untuk kasus pencurian yang menyangkut
gangguan jiwa. Dalam perkara hukuman badan yang besar, seperti
vonis mati atau potong tangan, putusan haruslah lebih dahulu
diserahkan kepada Raja yang akan mempertimbangkan persetujuan
(bukan pengampunan). Dan Raja dalam hal ini didampingi penasehat
syari'ah. Maka proses terakhir itu bisa berjalan 2-3 tahun.
Yang menarik ialah, bentuk hukuman yang paling banyak
dilaksanakan ialah penjara, ganti rugi dan cambuk. Seorang
sopir yang menabrak mati penyeberang jalan misalnya bisa dihukum
satu tahun penjara plus ganti rugi kepada keluarga korban
sebanyak 30.000 sampai 50.000 rial (SR.1 = kira-kira Rp 200).
Bahkan dalam kasus pembunuhan, pengadilan selalu membujuk
keluarga korban untuk lebih baik menerima ganti rugi, untuk
anak-anak yang ditinggalkan almarhum misalnya, daripada menuntut
hukum qisas alias pancung. Adapun hukuman cambuk dikenakan
misalnya kepada pencurian ringan. Atau kepada "perbuatan
mendekati zina" seperti laki-wanita (bukan suami-isteri dan
bukan muhrim) yang ngumpet di kamar tidur secara mencurigakan.
Bentuk-bentuk hukuman itu sebagian besarnya bersifat ijtihadi --
bukan dengan jelas tertulis dalam ayat maupun hadis. Referensi
mereka, selain kitab-kitab fiqh, juga praktek yang selama itu
berjalan. Toh bisa difahami terdapatnya perbedaan dalam jumlah
cambukan misalnya, seperti juga keras-lemahnya pukulan. Seorang
karyawan Indonesia di bandar udara Dhahran, yang mengaku
menyaksikan hukuman kepada AsmaraAsmari dan kawan-kawannya
(TEMPO 6 Januari 1979) menyatakan bahwa cambukan yang mereka
terima "sebenarnya tidak sakit".
Sebaliknya pekerja yang lain di pelabuhan Abha menerangkan
pernah melihat cambukan yang dicicil: supaya tidak pingsan, si
terhukum dicambuk sekian dulu, minggu depan ditambah lagi dan
seterusnya. Seorang mahasiswa Indonesia di Universitas Islam
Madinah menuturkan bahwa orang-orang Yaman dan Pakistan yang
dicambuk karena pencurian harta jemaah haji kemarin, dihukum "di
bawah pengawasan dokter".
Bagaimana dengan hukum potong tangan? Sepanjang tahun lalu hanya
terjadi selama tiga kali, dan semuanya orang asing. Sedang hukum
lempar batu sama sekali tidak terdengar. Yang ada ialah pancung.
Dan ini disebabkan, selain sukarnya pembuktian zina, juga kadang
hubungan laki-wanita itu mengambil bentuk perkosaan yang
diiringi pembunuhan. Jadi pembunuhannya itulah yang dihitung.
Tidakkah perkosaan itu (seperti juga tanda-tanda homo
seksualitas) justru disebabkan oleh ketatnya pemisahan hubungan
laki-wanita? Barangkali. Tapi lebih mungkin agaknya disebabkan
oleh tingginya harga mahar alias maskawin-sekitar Rp 10 juta, di
samping sebuah rumah yang untuk ukuran menengah berharga Rp 50 -
100 juta -- satu masalah adat yang seringkali dikritik
pemerintah. Mahalnya maskawin itu juga menyebabkan jarangnya
poligami -- dan banyaknya gadis usia lanjut.
Juga lebih berakar kepada adat, dan bukan agama: kerudung yang
menutup wajah wanita -- yang dalam pakaian ihram (haji) justru
harus dibuka. Memang, seperti dikatakan seorang sopir di Dammam,
wajah cantik itu "menimbulkan gangguan perasaan". (Sopir ini
bicara tentang makin banyaknya wajah cantik dibolehkan muncul di
TV Saudi). Tapi betapapun itu boleh diperdebatkan, yang agaknya
akan tetap dipertahankan ialah pemisahan tegas laki-wanita dalam
pekerjaan dan pendidikan - bukan jenisnya, melainkan ruangannya.
Tidakkah ada protes, misalnya dari pihak wanita?
"Sebenarnya ada juga. Misalnya dari satu dua orang yang mendapat
pengaruh asing," kata Dr. Khuwaitir, Menteri Pendidikan. "Tapi
mereka biasanya terserap kembali. Sebab para wanita di
lingkungan mereka sendiri akan memandang mereka rendah." Dan
jangan dilupakan: sejak zaman sebelum Nabi sampai zaman
Khumaini, laki-wanita Saudi memang belum pernah mengalami
pergaulan "bebas" --sebagaimana belum pernah meng,alami
penjajahan maupun "sopan santun asing".
Mula-mula memang terasa "kaku". Seperti perasaan seorang
pendatang ketika pertama kali melihat polisi di bandar Jiddah
membayangkan jangan-jangan dia segera akan menyeret kita begitu
kita melirik wanita yang umumnya ramping dan eksotik itu. Tapi
makin lama "perasaan umum" agaknya bisa ditangkap: di pasar, di
jalan-jalan. Yakni sebuah perasaan aman, bersih dari fikiran
untuk berbuat yang tidak-tidak, dengan suara hingar-bingar dari
penduduk yang akrab, kasar dan terus-terang. Laki-wanita,
dibatasi kerudung wajah, tawar-menawar sebagai biasa.
Orang bahkan tidak teringat bahwa di sini berlaku hukum pancung
atau potong tangan -- karena memang sangat jarang -- dan mereka
biasanya terkejut bila ditanya tentang itu. Seorang cendekiawan
misalnya, sambil agak kesal akhirnya berkata: "Yah, saya lebih
baik melihat orang dipancung daripada melihat isteri atau anak
saya, yang masuk taman di New York, diculik dan diperkosa --
lalu menghadapi proses hukum yang bertele-tele."
Maka terdengarlah azan di tengah pasar. Dan "polisi budipekerti
(nahi munkar)" akan berseru: "Shalaaah ! Shalaaah!". Rasanya
hanya seperempat saja dari isi pasar yang shalat. Tapi toko-toko
harus tutup -- dengan jala, atau ditutup setengah pintu -- hanya
sebagai tanda buat polisi dan pembeli, dan bukan buat
menghindari pencurian. Tapi orang asing, baik Barat atau para
wanita Arab yang pakai rok terbuka (biasanya dianggap saja orang
Kristen dari Libanon atau sekitar situ) dibiarkan tetap
menikmati isi cangkirnya di gahwaji (warung kopi terbuka),
sementara pemiliknya pergi sebentar.
Yang bukan Islam memang leluasa-bahkan mendapat hak keadilan
yang sama. Beberapa tahun lalu, tiga orang gadis anak seorang
usahawan Inggeris (yang baru pertama kali menginjakkan kaki di
Jeddah) ditipu lalu dibawa ke padang pasir, diperkosa dan
dibunuh. Si usahawan pasrah kepada Pemerintah Saudi Arabia. Dan
setelah pengusutan empat bulan, tiga orang Saudi dipancung.
Keunikan negara Islam yang sebuah ini, seperti dituliskan Fouad
Farsy dalam disertasi doktoratnya di Duke University, AS, Saudi
Arabia, A Case Study in Development, tidak pernah mengalami
problim pluralitas agama -- dan memang satu-satunya negeri Arab
yang demikian. Orang Saudi adalah mutlak Islam. Dan
kebijaksanaan yang kemudian diambil Pemerintah ialah
mempertahankan status quo itu. Tak ada sebuah gereja atau
sinagog yang boleh dibangun. Para pekerja Barat Kristen, Korea,
perantau Yahudi, boleh saja beribadah di kediamannya (atau
bangunan sementara seperti di kompleks pekerja Aramco di
Dhahran). Tapi jangan sebarkan sesuatu, dan jangan panggil
misionaris khusus. Mahasiswa asing di Universitas Minyak dan
Mineral di kota itu juga demikian. Tak ada tempat ibadat
disediakan. "Kalau mereka memang ingin punya gereja, mereka
boleh sekolah di negeri sendiri," kata seorang pejabat
Departemen Penerangan.
Memang, orang non-muslim pada umumnya di sini tidak dikenal.
Pengikat paling kuat di sini memanglah Islam. Perbedaan rasial
tidak atau belum nampak di sini.
Dan ada rasa kesamaan. Seorang sopir bisa makan bersama Menteri
dan tamu-tamunya. Tapi apakah kesederajatan itu mengizinkan
dikeluarkannya pendapat secara bebas?
Tak ada parlemen di Arab Saudi. Memang ada Majlis Syura, yang
diangkat dari tokoh-tokoh bukan keluarga Kerajaan, disamping
Dewan Menteri. Tapi yang paling penting adalah kembali peranan
ulama dan kepala suku memperoleh legitimasinya berdasar syara.
Dan ulama lebih diidentikkan dengan rakyat daripada dengan
penguasa, hingga bisa selalu "mengontrol" mereka yang memang
murid-muridnya.
Maka tak seorang bisa misalnya menyalahkan ketentuan sekarang
ini bahwa, misalnya, seorang amir mendapat SR.30.000 sebulan.
Pokoknya ulama tak memandang itu salah, dan para kepala suku,
wakil paling khas pribumi, menganggapnya sebagai wajar.
Tapi tidakkah syari'at Islam memberi kesempatan rakyat biasa
buat berpolitik, dan bukan sekedar bekerja pada Kerajaan? Sampai
berapa jauh oposisi dibolehkan bangkit? Bukankah bentuk kerajaan
sendiri tak dicita-citakan Nabi?
Betapapun itu berarti bahwa negara Islam, dengan mengambil
contoh Saudi, lebih merupakan negara yang melaksanakan syari'at,
daripada negara yang dibentuk oleh konsep syari'at.
Pada akhirnya memang bisa terdapat beberapa model negara menurut
ajaran Islam. Orang awam di jalan-jalan Riadh tentu saja tak
peduli pada fikiran semacam itu. Kenyataan menunjukkan bahwa
Arab Saudi, negeri ke-2 paling kaya di dunia (sesudah Kuwait)
mampu memberi makan mereka secara berlebih menyediakan sekolah
gratis sampai universitas bahkan menambahnya dengan uang jajan,
rumah sakit untuk segala jenis penyakit ringan maupun berat
tanpa bayar, dan pinjaman 2/3 harga rumah bagi warganegara
dengan syarat-syarat tertentu yang belum punya rumah.
Tak heran bila fikiran aneh dan panas dianggap bisa mendatangkan
petaka. Tak heran, ketika seorang cendekiawan di warung kopi
ditanya: benarkah kerajaan satu-satunya bentuk paling tepat
untuk menyatukan seluruh suku dan kelompok di Arab Saudi? Ia
menjawab. "Ya. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo