SEHARI setelah Maulid Nabi, Sabtu 10 Pebruari yang lalu,
Jenderal Mohammed Zia ul-Haq, penguasa Pakistan, mengumumkan
serangkaian tindakan penting. Di depan para wartawan, di
Islamabad, dalam pakaian seragam lengkap, Jenderal Zia
menggarisbawahi apa yang selama ini sudah nampak dalam praktek,
sejak ia berkuasa dua tahun yang lalu: semua hukum di negeri itu
disesuaikan dengan hukum Islam.
Hukuman dera, untuk sejumlah pelanggaran, hukum rajam untuk para
penzina, dan hukum potong tangan untuk pencuri, sudah
diberlakukan sebenarnya. Pengumuman hari itu, di ruang Majelis
Nasional yang sudah tak pernah di pakai lagi oleh para wakil
rakyat, sejak Zia menggulingkan Bhutto bulan Juli 1977, hanya
semacam peresmiam Ketika seorang wartawan Pakistan dalam
pertemuan itu bertanya, apa wewenang Zia untuk mengubah aturan
hukum di Pakistan, Zia hanya menjawab Mahkamah Agung sudah
memberinya kuasa untuk mengubah Konstitusi bila ia mau.
Dan Zia punya kemauan, selain ia punya kekuasaan. Latar belakang
hidupnya tak banyak diketahui. Ia seoraug ahli perang tank dan
pernah jadi penasihat Raja Hussein dari Yordania. Ia seorang
yang soleh dan kabarnya sudah 5 kali selama 18 bulan pergi ke
Tanah Suci. Sejak ia menggulingkan Perdana Menteri Bhutto --
yang kini menunggu hukuman gantungnya (TEMPO 17 Pebruari) --
ia memimpin suatu tim perwira militer yang menyetir dari
belakang kabinet sipil yang ia dirikan. Jenderal Zia juga kini
memegang jabatan kepresidenan. Soalnya, Fazal Elahi Chaudhry,
kepala negara yang terdahulu, mengundurkan diri 15 September
1978.
Namun rencananya untuk mengetrapkan hukum perdata dan pidana
Islam di negerinya sedikit banyak membingungkan. Wartawan S.M.
Ali, yang menulis dari Karachi untuk The Asian Wall Street
Journal 29 Januari yang lalu mnyebutkan "Diskusi dengan para
cendekiawan Pakistan tentang pengukuhan peran Islam di Pakistan
menunjukkan suatu perasaan acuh tak acuh yang meliputi diri
mereka. Adanya undang-undang keadaan perang mempersulit, kalau
tidak memustahilkan, adanya diskusi bebas yang dapat disiarkan."
Itu tak berarti tak ada suara yang secara hati-hati
memperingatkan. Harian Karachi Morning News -- yang secara tak
langsung dikuasai pemerintah misalnya berbicara tentang masalah
bunga (riba) dengan nada rendah: "Kitab Suci memang jelas
menyatakan bahwa riba tak boleh diambil dan juga tak boleh
dibayarkan. Masalah yang menjadi pemikiran para ahli kita
tentang perekonomian Islam ialah bagaimana menghindari
memberikan riba kepada pinjaman yang dikontrakkan kepada kita
dari hagian dunia yang lain, yang bukan kita pengaturnya. Jika
para ahli dapat lepas dari ini, itu akan merupakan prestasi
monumental."
Harian itu juga menasihati pemerintah untuk meninjau masalah
zakat dan pajak secara hati-hati. Karena zakat yang dibayarkan
oleh penduduk, menurut ketentuan agama hanya sekitar 2,5% dari
kelebihan kekayaan, mungkin tak akan cukup untuk menopang
kebutuhan negara. Dan tajuk-rencana koran itu pun menghimbau:
"Tak ada perlunya tergesa-gesa menempuh eksperimen dengan sistem
perekonomian Islam, sebab apabila gagal (semoga dijauhkan
Allah), itu akan merupakan pukulan kejiwaan yang hebat bagi
seluruh negeri."
Namun nampaknya Jenderal Zia tak hendak lama menunggu. Ia sudah
mengumumkan Desember tahun Ialu bahwa suatu "meja khusus" akan
diadakan di tingkat Mahkamah Tinggi dan Mahkamah Agung untuk
menelaah adakah hukum yang ada bertentangan dengan Islam atau
tidak. Bagi sebagian orang, ini kabar baik. Setidaknya lebih
baik ketimbang menyerahkan, masalah hukum ke angan para ulama
yang tersebar di mesjid-mesjid desa buat menentukan hukum Islam
sendiri-sendiri. Tapi gerak cepat Jenderal Zia tetap ditanggapi
dengan khawatir di kalangan intelektuil.
Itu terutama setelah mendengar suara Maulana Mufti Mahmud,
pemimpin Aliansi Nasional Pakistan yang merupakan sekutu politik
Zia. Menurut Maulana Mufti Mahmud, bulan Mei nanti akan
diumumkan garis ekonomi baru yang mempersiapkan sistem perbankan
yang tanpa-bunga dan perpajakan Islam. Tentu saja bagaimana
bentuknya, masih harus ditunggu.
Namun sebagaimana ditulis S.M. Ali dalam reportasenya yang
berjudul The-lslamization of Pakistan, para cendekiawan di
negeri juga punya pertanyaan lain di samping masalah zakat dan
pajak pendapatam Yakni kemungkinan dikejar-kejarnya orang Islam
yang tak taat beribadah di dalam kantor-kantor pemerintah, juga
para pelukis dan pematung yang jenis keseniannya sudah lama
dikecam keras oleh kalangan ortodoks.
Dalam konferensi persnya dua pekan lalu Jenderal Zia tak
menyebut soal ini. Tapi ia dengan baiknya telah menjawab
kecemasan yang agaknya dilebih-lebihkan mengenai "kerasnya hukum
Islam," khususnya dalam soal rajam dan potong tangan. Hukuman
keras itu hanya berlaku sebagai penangkal kejahatan.
Pelaksanaannya mungkin tak sekejam yang dikira. Untuk zina
misalnya diperlukan saksi mata empat orang bila pelanggaran itu
akan dihukum rajam sampai mati, suau hal yang praktis mustahil.
Sedang hukuman potong tangan yang telah dua kali dijatuhkan
selama ia memerintah, ternyata bclum dilaksanakan. Sebabnya:
belum ada dokter bedah yang bersedia melakukan pemotongan.
Sayang sekali persoalan hukum ini belum menyangkut hukum acara
pidana. Misalnya adakah nanti seorang tertuduh berhak didampingi
pembela, dan adakah ia mendapat perlakuan berdasar "pra-duga tak
bersalah." Meskipun diskusi terbuka tentang ini masih sulit
nampaknya, Pakistan tetap menempuh jalan sebagaimana
dicita-citakan Zia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini