Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Islam & Perubahan Di Tim-Teng

Para pemimpin umat ingin mendirikan islam yaitu negara yang melaksanakan syariat, negara yang sama dengann zaman Nabi Muhammad yang sesuai dengann hukum Islam. Wawancara dengan 2 tokoh islam Indonesia. (ln)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSAMA dengan makin pastinya kemenangan Ayahtullah Khomeini di Iran, di Barat orang melihat gerakan Islam dengan setengah kagok. Sebagian melihat suara-suara keras yang dilontarkan Khomeini sebagai suara khas Islam yang menentang kemajuan. Sebagian lagi melihatnya sebagai pekik fanatik sebuah agama yang bermusuhan dengan segala yang asing. Ada juga yang mulai melihat Islam dengan lebih simpati. Pemimpin delegasi AS ke PBB Andrew Young, misalnya, awal bulan lalu mengatakan: Islam "suatu kekuatan kebudayaan yang bersemangat di dunia kini, dan bukan sesuatu yang telah mati bersama Abad Pertengahan. " Bagi orang Islam di banyak negeri di dunia, ucapan Young hanyalah peneguhan apa yang selama ini mereka yakini. Dan bagi mereka yang seksama mengamati perkembangan kehidupan sosial politik sebagian Dunia Ketiga -- dari rimur Tengah sampai dengan Asia Tenggara --hal itu tak mengejutkan. Sebab yang terjadi kini di Iran bukanlah sesuatu yang tersendiri. Apa yang lazim disebut "bangkitnya fundamentalisme Islam" sudah agak lama terjadi di banyak tempat. Bahkan di Mesir misalnya. Di Kairo buat pertama kalinya semenjak tiga tahun terakhir sejumlah wanita muda nampak di jalanan mengenakan cadar Di kios-kios pita rekaman khotbah Syekh Abdul Hamid Kishk, seorang ulama buta yang menyerukan puritanisme Islam, terjual laris. Pengajian dan sembahyang jemaat yang diselenggarakan oleh bekas organisasi terlarang Ikhwanul Muslimin dikunjungi banyak orang. Poster Ikhwanul Muslimin juga terpampang jelas di jendela bis-bis kota. Ikhwanul Muslimin dulu disangkutkan dengan gerakan teror yang pernah mencoba membunuh Presiden Nasser almarhum, pemimpin Mesir yang besar pengaruh nasionalismenya ke seluruh Timur Tengah. Di bawah Presiden Sadat kini salah seorang tokoh organisasi itu, yang menyebut diri "puritan", bahkan menerbitkan majalah "Seruan". Mereka mungkin tak sekeras dulu lagi. Tapi di tahun 1977, sebuah grup Islam lain membunuh seorang bekas Menteri Agama. Presiden Sadat sendiri menampakkan diri sebagai Muslim yang taat. Ia juga membiarkan kritik dari kalangan Universitas Al Azhar tentang keluarga berencana. Tapi dia tak mengijinkan ada partai politik dibentuk berdasarkan agama. Dan meskipun Islam disebut sebagai agama negara, hukum syari'ah nampaknya tak diberlakukan. Minuman keras dan babi terjual luas dan bebas. Sadat tentunya makin harus mendengarkan perubahan yang terjadi. Di banyak universitas di Mesir, mahasiswa Islam mulai menuntut perubahan aturan yang sesuai dengan keyakinan mereka -- misalnya pemisahan antara tempat untuk cewek dengan cowok. Dan ketua parlemen yang baru, Sufi Abu Talib, menyeru kepada sarana-sarJana Al Azhar untuk mendiskusikan kemungkinan menyesuaikan hukum Mesir dengan hukum Al Qur'an. Tak heran bila dalam menyimak perasaan yang lagi tumbuh seperti itu, Mesir awal tahun lalu mengeluarkan undang-undang melarang orang berpindah agama, khususnya dari Islam ke kepercayaan lain. Agak jauh dari Mesir dan lebih dekat ke Mekah ialah Persatuan Emirat Arab. Sejak satu setengah tahun yang lalu, nampak kecenderungan memberlakukan syari'ah Islam secara lebih ketat. Masuknya orang-orang asing semenjak petrodollar menyembur telah mencemaskan orang-orang di sini. Apalagi setelah semburan uang itu mereda. Bulan Mei 1977, kasino satu-satunya di Persatuan Emirat Arab yang terletak di Ras al-Khamah, ditutup. Di Abu Dhabi toko-toko buku utama dipaksa ditutup karena menjual buku "yang menghina kaum Muslimin." Dan itu tak lain adalah buku komik petualangan yang tegang-lucu, Tin Tin Di Negeri Emas Hitam. Pengetatan seperti itu terutama memang dipelopori oleh Abu Dhabisalah satu anggota gabungan negara yang bersifat federal itu. Di Abu Dhabi jugalah mulai nampak perasaan kurang suka kepada penasihat Barat setelah keadaan ekonomi agak muram. Namun di negara anggota Persatuan yang lain, kebutuhan nyata rupanya hendak menghindarkan ketatnya penafsiran atas hukum agama. Sharjah, misalnya, yang ingin mengembangkan industri turismenya, terus saja membangun hotel -- dan sebuah Marbella Club di pantai Montaza. Memang cukup banyak cara menghindar dari ketatnya penafsiran hukum agama, dengan menampilkan penafsiran yang lebih leluasa. Tapi pertemuan bahkan bentrokan, dengan dunia Barat justru mendesakkan negara-negara dengan penduduk Islam yang kuat itu untuk menegaskan identitas sendiri. Dari sekitar Mekah sampai ke pelbagai pelosok Dunia Ketiga yang muslim, para pemimpin ummat mencoba terus merumuskan "sistem ekonomi Islam," "kesenian Islam" dan "sistem politik, dan hukum Islam." Dari bermacam ragam lingkungan, dan interpretasi, yang paling menonjol, dewasa ini agaknya ialah yang di Arab Saudi, Iran dan Pakistan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus