Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jenderal Pemilik Saham 9252

Jenderal Senior Min Aung Hlaing memimpin kudeta Myanmar. Mengamankan bisnis dan dominasi politik militer. Berperan dalam genosida Rohingnya.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Unjuk rasa warga Myanmar menentang kudeta militer terus berkobar.

  • Kudeta terjadi untuk mengamankan bisnis dan dominasi politik militer.

  • Bagaimana bisnis militer menguasi negeri Myanmar

KEPUTUSAN itu datang dari Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta militer Myanmar. Pada Rabu, 10 Februari lalu, Panglima Angkatan Bersenjata (Tatmadaw) itu memberlakukan darurat militer dan melarang semua pertemuan lebih dari lima orang untuk meredam unjuk rasa massal yang melanda negeri tersebut sejak Senin, 8 Februari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penangkapan dan kekerasan yang dilakukan Tatmadaw saat membubarkan demonstrasi tak membuat jera para pengunjuk rasa. Pesertanya terus berlipat ganda. Dokter, guru, mahasiswa, bahkan polisi kini bergabung dengan para aktivis membanjiri jalan-jalan kota. Tuntutan mereka jelas: pembebasan para pemimpin sipil dan Aung San Suu Kyi, pengakuan hasil pemilihan umum tahun lalu, serta militer kembali ke barak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Junta militer masih memutus jaringan telekomunikasi dan Internet. Seorang aktivis Myanmar mengatakan masyarakat masih kesulitan berkomunikasi, tapi sebagian mengakalinya dengan jaringan privat virtual (VPN) sehingga masih bisa terhubung ke dunia luar. “Koneksi di sini lambat sekali,” katanya kepada Tempo, Rabu, 10 Februari lalu.

Kudeta itu adalah puncak pertarungan antara militer dan pemerintah sipil sejak pemilihan umum pada November tahun lalu, yang dimenangi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Perebutan kekuasaan itu diduga berkaitan dengan ambisi Jenderal Hlaing menjadi presiden setelah pensiun pada Juli nanti. Rencana sang Jenderal terganjal karena sekutu militer di parlemen, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP), kalah dalam pemilihan itu.

Sejumlah biksu memberikan salam tiga jari sebagai bentuk keikutsertaan dalam demonstrasi menentang kudeta yang dilakukan oleh Militer Myanmar, di Yangon, Myanmar, 10 Februari 2021. Reuters/Stringer

Min Aung Hlaing lahir pada 3 Juli 1956 di Tavoy. Lulusan fakultas hukum Yangon University itu harus mengikuti tes sampai tiga kali untuk bisa masuk ke Akademi Militer. Pada 2008, dia menjadi Kepala Biro Operasi Khusus 2 yang mengawasi urusan militer di Negara Bagian Karenni dan Shan. Dia juga bertanggung jawab menerapkan program Pasukan Garda Perbatasan (BGF), yang memaksa kelompok-kelompok pemberontak melakukan gencatan senjata dan bergabung dengan BGF yang dikendalikan Tatmadaw. Ketika Tentara Aliansi Demokratik Nasional di Kokang, Shan, menolak tawaran gencatan senjata, Hlaing memberangusnya

Keberhasilannya meredam pemberontakan di Kokang membuat pemimpin militer saat itu, Jenderal Senior Than Shwe, kepincut. Pada 2010, Hlaing ditunjuk menggantikan Shwe Mann sebagai Kepala Staf Gabungan Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Setahun kemudian, Than Shwe hendak pensiun dan menunjuk Hlaing sebagai Panglima Angkatan Bersenjata. Pada 2014, menjelang usia 60 tahun, Hlaing seharusnya bersiap pensiun. Tapi Departemen Dewan Pertahanan memperpanjang masa tugasnya hingga usia 65 tahun, yang jatuh pada tahun ini.

Karier Hlaing sudah lama menjadi sorotan karena bisnis keluarganya yang mendapat banyak keistimewaan dari militer. Menurut Myanmar Now, putranya, Aung Pyae Sone, memiliki sejumlah perusahaan, termasuk Sky One Construction Company dan Aung Myint Mo Min Insurance Company, yang mengelola dana asuransi tentara. Sone juga mendapat izin sewa lahan di Taman Rakyat Yangon selama 30 tahun di bawah harga pasar yang ia jadikan restoran mewah dan galeri seni. Dialah yang menghambur-hamburkan uang kertas kepada karyawan dan orang yang lewat untuk merayakan kudeta yang dilakukan ayahnya.

Sone memegang saham mayoritas Mytel, perusahaan telekomunikasi patungan antara Myanmar Economic Corporation milik militer dan Viettel, perusahaan telekomunikasi militer Vietnam. “Ketika komunikasi diputus setelah kudeta, yang bisa beroperasi sementara hanya perusahaan ini,” ujar Marzuki Darusman, mantan Ketua Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar, kepada Tempo, Kamis, 11 Februari lalu.

Khin Thiri Thet Mon, putri Hlaing, mendirikan studio film 7th Sense Creation pada 2017. Pelaku industri film di sana heran terhadap bisnis ini, yang tak jelas sumber dananya untuk membayar para pemain dan kru di atas harga pasar dan bahkan menyewa aktor dari Korea, Jepang, serta Thailand.

Myo Yadanar Htaik, menantu Hlaing, mendirikan dan menjadi satu-satunya anggota dewan direksi Stellar Seven Entertainment. Sejak 2017, perusahaan ini menggelar kontes ratu kecantikan Miss Myanmar dan memproduksi serial televisi. Tidak jelas sumber dana kontes tahunan yang mahal tersebut.

Tim Pencari Fakta PBB menemukan jejak bisnis militer dalam genosida terhadap warga Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2017. Laporan itu menyebutkan militer menggunakan perusahaan binaan dan kontrak penjualan senjata mereka untuk mendukung operasi militer tersebut. Tim menemukan aliran dana sebesar US$ 10 juta dari 45 perusahaan kepada militer.

Polisi menembakan water cannon guna membubarkan demonstran yang menentang kudeta militer di Naypyitaw, Myanmar, 8 Februari 2021. Reuters/Stringer

Bisnis militer Myanmar berpusat pada Myanmar Economic Corporation dan Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL). Keduanya menguasai beragam bisnis, dari pelabuhan, kargo, tambang giok, real estate, hingga konstruksi. MEHL menjadi salah satu perusahaan terbesar di Myanmar dan pembayar pajak terbanyak kedua, yakni sekitar Rp 16 miliar pada 2019. Myawaddy Bank, anak perusahaan MEHL, menjadi pembayar pajak terbanyak kelima. Kedua perusahaan juga berbisnis dengan perusahaan lokal ataupun internasional. Merekalah yang membiaya operasi dan menambah pendapatan Tatmadaw.

Dalam laporannya pada tahun lalu, Amnesty International mengungkapkan bahwa saham MEHL dimiliki oleh 381.636 individu, baik militer aktif maupun pensiunan, dan 1.803 lembaga militer, dari komando wilayah hingga perhimpunan veteran. Total pembayaran dividen MEHL selama 1990-2011 mencapai Rp 251,8 triliun dan Rp 223,8 triliun ditransfer ke unit-unit militer.

Beberapa nama yang muncul dalam bocoran dokumen yang diperoleh Amnesty menggambarkan keuntungan yang diraup para perwira. Jenderal Senior Min Aung Hlaing, misalnya, tercatat sebagai pemilik saham MEHL nomor 9252. Selama 2010-2011, dia memegang 5.000 saham dan menerima dividen sebesar 1,5 juta kyat atau sekitar Rp 3,4 miliar.

Jenderal Soe Win, Wakil Panglima Pertahanan dan Angkatan Bersenjata, berperan langsung dalam pengiriman tentara ke Negara Bagian Kachin, Rakhine, dan Shan sejak 2016. Dia pemilik saham MEHL nomor 51080 dan menerima dividen sebanyak Rp 1,16 miliar selama 2010-2011.

Letnan Jenderal Aung Kyaw Zaw, Komandan Biro Operasi Khusus 3 hingga Januari 2018, mengontrol semua operasi militer komando wilayah selatan, barat, dan barat daya, termasuk di Rakhine. Batalion di bawah komandonya bertanggung jawab atas genosida terhadap kelompok etnis Rohingya di masa itu. Zaw pemilik saham MEHL nomor 32596 dan mendapat dividen sebesar Rp 1,17 miliar lebih selama 2010-2011.

Menurut Marzuki, bisnis besar di Myanmar, dari pertambangan batu giok hingga telekomunikasi, dikuasai elite militer dan keluarganya. “Ini oligarki utama di Myanmar,” katanya. Saking besarnya bisnis, militer bisa mandiri. Dari bisnis batu giok saja, mereka bisa mengongkosi operasi militer. Cadangan batu gioknya cukup untuk menjaga stabilitas harga dan memenuhi kebutuhan militer belasan tahun ke depan. “Jika Myanmar diisolasi total, militer tetap aman, tapi tetap saja rakyat tidak menikmatinya.”

Konstitusi baru yang dibuat d bawah kendali Tatmadaw pada 2008 ikut mengamankan bisnis militer. Dengan menguasai 25 persen kursi parlemen, elite militer lebih mudah bermanuver dalam menentukan kebijakan negara yang menguntungkan mereka.

Menguatnya NLD, rencana perubahan konstitusi, dan jatuh tempo masa pensiun Jenderal Min Aung Hlaing telah menggoyahkan posisi Tatmadaw sehingga kudeta pun terjadi. Nasib Hlaing akan ditentukan oleh respons para koleganya. Saat ini, menurut Marzuki, para elite militer masih menunggu kinerja Hlaing dalam mengatasi krisis politik. Jika ia gagal, ada peluang muncul krisis baru. “Ambisinya menjadi presiden menjadi dilema bagi rekan-rekan jenderalnya karena tidak ada tokoh lain yang lebih dikenal.”

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, IWAN KURNIAWAN (MYANMAR NOW, FRONTIER MYANMAR, BBC, ASSOCIATED PRESS, REUTERS, AL JAZEERA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus