Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bentrokan Berdarah Di India

Perselisihan antar suku sudah berakar lama di india. kaum muslim dicurigai dibantu arab dan "membeli" suku harijan.(ln)

16 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEDAMAIAN bagaikan tak mungkin ditemukan lagi mulai dari lereng selatan Himalaya hingga Teluk Bengala. Sejak memperoleh kemerdekaan pada tahun 1947, India, negeri berpenduduk 713 juta jiwa, telah dilanda lebih dari 12.000 kerusuhan. Schingga ncgara PM Indira Gandhi itu mendapat julukan: "negeri dengan kerusuhan enam hari dalam seminggu". Dalam setahun belakangan ini kerusuhan bertubi-tubi melanda India. Bentrokan antara masyarakat Hindu dan kaum Sikh di Negara Bagian Punjab selama 12 bulan terakhir telah menewaskan lebih dari 1.000 orang (lihat tabel halaman 18). Sejak pertengahan hingga akhir Mei silam, kerusuhan antara pemeluk Hindu dan kaum Muslim di Negara Bagian Maharashtra merenggut 250 nyawa lagi. Di tempat yang sama, tahun 1970, sekitar 500 orang tewas, juga dalam bentrokan Hindu - Muslim. "Yang menjadi korban, senantiasa penduduk miskin," kata Ny. Gandhi tatkala meninjau puing-puing bekas kerusuhan di Bombay belum lama ini. Umumnya memang penduduk miskin yang menjadi korban. Kerusuhan di Maharashtra, yang bermula di kota tekstil, Bhiwandi, membuat 12.000 warga India lebih dari separuh adalah orang tak punya kehilangan tempat tinggalnya. Ketika meninjau medan kemelut ini, mata Nyonya Gandhi tampak berkaca-kaca melihat barisan mereka yang kehilangan rumahnya itu berbondong membanjiri empat kamp penampungan yang dibangun pemerintah. Konflik Hindu-Muslim dan tuntutan otonomi kaum Sikh di Punjab hanyalah sebagian dari banyak persoalan politik yang dihadapi pemerintahan Partai Kongres pimpinan Ny. Gandhi dewasa ini. Gerakan separatis di Mizos dan Nagas, di wilayah timur laut India, masih belum reda. Di Telugu dan Maharashtra konflik diwarnai oleh identitas kultural: bahasa. Sementara itu, di Kashmir, Tamil Nadu, dan Andhra Pradesh rongrongan muncul dari tuntutan otonomi regional untuk wilayah-wilayah itu. Kesatuan India memang senantiasa diganggu oleh perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, serta pertikaian yang bersumber pada keanekaan corak kebudayaan. Konflik antardaerah, misalnya, masih saja mengancam, terutama antara kawasan utara India yang penduduknya berbahasa Hindi dan kawasan selatan yang berbahasa non-Hindi. India adalah anak benua tempat bertemunya 1.000 macam bahasa dan dialek. Bibit pertentangan antara penduduk asli dan kaum pendatang itulah yang sering menyulut kekacauan seperti yang terjadi di Assam tahun lampau. Waktu itu, tak kurang dari 3.000 laki-laki, wanita, dan anak-anak tewas akibat teror anti-Bengali, pendatang dari Bangladesh yang umumnya beragama Islam. Buntut rangkaian kerusuhan itu telah membuat Partai Kongres yang dipimpin Ny. Gandhi ditinggalkan banyak pengikutnya. Banyak kandidat Partai Kongres untuk parlemen kehilangan kursi dalam pemilihan tingkat negara bagian awal bulan ini. Para pengamat politik di New Delhi melihat kekalahan ini sebagai isyarat akan merosotnya kursi Partai Kongres dalam pemilihan umum nasional Januari depan. Karena itu pula kalangan oposisi mulai khawatir, kalau-kalau Ny. Gandhi mengubah corak pemerintahan menjadi sistem presidensiil dengan jabatan presiden dia pegang sendiri. Diperkirakan, Ny. Gandhi, 66, memerlukan waktu satu periode pemerintahan lagi buat mengantar putranya, Rajiv, ke tampuk kepemimpinan India masa datang. Ketegangan dan kerusuhan yang kini melanda India diperkirakan pula akan dipakai Ny. Gandhi sebagai dalih untuk menunda pemilihan umum. Tapi kalangan oposisi tampak tak berdaya untuk membendungnya. Kalau mereka melihat melunturnya kepercayaan massa terhadap Partai Kongres, toh di antara mereka tidak satu calon pun yang tampak dapat menyaingi Ny. Gandhi. Bentrokan berdarah di Maharashtra bulan silam digambarkan Ny. Gandhi sebagai "noda dalam sejarah India, dan mengancam demokrasi yang selama ini dibanggakan". Tetapi imam masjid Jama New Delhi, Syed Abdullah Bukhari, justru menuduh pemerintahan sekuler Partai Kongres yang harus bertanggung jawab atas pembunuhan kaum Muslim di negeri itu. "Ny. Gandhi," katanya, "tak menginginkan tercapainya persatuan antara pemeluk Islam dan Hindu di India, karena persatuan semacam itu dapat mengancam kekuasaannya." Bukhari juga menuduh bahwa pemerintah India tak punya respek terhadap kehidupan kaum Muslim. Untuk setiap kerusuhan yang melibatkan kaum Muslim, menurut kelompok itu, korban tErbesar selalu berada pada pihak mereka. Korban dari kaum lain tak kalah jumlahnya. Sebuah perkiraan menyebutkan, hingga sekarang sudah sekitar 500.000 orang India tewas dalam bentrokan komunal. Dari 1947 sampai 1953, menurut catatan yang dibuat organisasi Muslim, di India meletus 6.000 kemsullan. Tapi laporan Departemen Dalam Negeri India cuma mengungkapkan angka 7.689 kerusuhan komunal sejak 1954 hingga 1982. Dan selama 10 tahun terakhir korban yang tewas cuma 1.397 orang. BANYAK orang yang menyangsikan laporan itu. Sepanjang tahun 1981, me- nurut pemerintah, tercatat 319 kali bentrokan dengan korban 196 orang tewas. Padahal, catatan organisasi Muslim menyebutkan bahwa pada tahun itu untuk satu kali kerusuhan saja, seperti di Bihar Sharif,pemeluk Islam yang tewas sampai 156 orang. Betapapun tingginya perbedaan angka yang diperhatikan kedua sumber ini, statistik yang, dibuat pemerintah itu saja sudah memperlihatkan bahwa, sejak 1964 hingga 1982, dalam tiga hari rata-rata meletus dua kerusuhan. Sumber bentrokan komunal di India kini tampak kian panjang saja.pangkal pertikaian tidak lagi sekitar soal agama, perbedaan kultural, dan pandangan politik. Kecemburuan sosial, yang muncul lewat jurang perbedaan golongan kaya dan miskin, telah dengan mudah membakar amarah para penghuni kawasan miskin. "Kekacauan sering kali dirangsang oleh faktor ekonomi," kata Rafique Zakaria, anggota parlemen golongan Muslim yang mendukung Nv. Indira Gandhi. "Misalnya, persaingan dalam memasuki lapangan kerja." Betapa mudahnya bentrokan pecah di kalangan kaum miskin diperlihatkan oleh kerusuhan yang mengguncang Maharashtra beberapa minggu lalu. Kerusuhan Hindu-Muslim, yang bermula di Bhiwandi, begitu cepatnya menjalar ke ibu kota Maharashtra, Bombay. Menjadi salah satu kota terpadat di dunia, Bombay, kota industri dan perdagangan kebanggaan India, sekarang dihuni hampir sembilan juta penduduk. Lonjakan itu dikarenakan warga dusur India, selama dua dasawars.a terakhir, mcngalir dengan derasnya ke kota itu untuk mencari pekerjaan. Separuh penduduk Bombay itu tinggal di perkampungan miskin, dan setiap hari bertarung untuk dapat bertahan hidup. Penghuni kawasan macam inilah yang sangat cepat dirangsang oleh bentrokan Hindu-Muslim di Bhiwandi itu. Dalam puncak ketegangan, 22 Mei, di sepanjang jalan raya Dhavari kaum Muslim berjejer sambil merentang spanduk bertuliskan kalimat Urdu: "Berapa korban lagikah harus jatuh ?" Sumber kerusuhan disulut oleh terbunuhnya satu keluarga Muslim, berjumlah 20 orang, yang dibakar hidup-hidup oleh perusuh Hindu di Bhiwandi. Tak ada yang, tahu berapa korban lagi harus jatuh. Apalagi, "Darah kaum Muslim," kata Syed Muhammad Bukhari, "begitu murahnya di India." Hindu dan Islam di India telah berseteru dalam hitungan abad. Islam masuk ke anak benua ini pada abad VIII Masehi. Pada abad XVI, setelah berdirinya kekaisaran Mogul, pengaruh Islam dirasakan begitu menekan oleh pemeluk Hindu. Pertikaian kedua agama itu pula yang kemudian memecah kawasan itu menjadi dua negara berdaulat, India dan Pakistan, setelah 200 tahun dijajah Inggris. Pemisahan diiringi dengan pertukaran sekitar 12 juta penduduk: Islam untuk Pakistan dan Hindu buat India. Waktu itu, 1949, diperkirakan 200.000 orang tewas dalam pertukaran penduduk ini. Tiga tahun sebelumnya, pertikaian politik kedua golongan ini melahirkan bentrokan yang dikenal dengan sebutan: "Pembantaian Besar di Calcutta". Tercatat sekitar 4.000 orang menemui ajalnya. Pada masa penjajahan Inggris, para pemimpin politik di anak benua itu melihat kerusuhan komunal sebagai bagian dari politik memecah-belah yang diterapkan kolonialis. Ketika di sana berdiri dua negara merdeka dan bentrokan tak kunjung reda juga, orang-orang pun tahu bahwa kedua kelompok itu memang tidak mungkin bersatu. Hingga kini India dan Pakistan sudah berperang tiga kali. Sementara itu, 500 juta pemeluk Hindu dan 80 juta Muslim India hidup dalam bayang-bayang saling mencurigai. Kesadaran kasta yang tinggi dan kepercayaan Hindu yang memandang penyembelih dan pemakan daging sapi sebagai "insan kotor" tidak pernah mempertemukan mereka dengan kaum Muslim yang menekankan persamaan derajat di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Tak cuma itu perlakuan terhadap kaum Muslim India. Mereka juga merasakan dirinya sebagai orang yang didiskriminasikan, baik dalam pemerintahan maupun pelayanan sosial lainnya. Mereka percaya bahwa setiap kerusuhan yang meletus selama ini direncanakan buat meruntuhkan kehidupan sosial ekonomi serta basis kepercayaan Muslim India. Klaim yang mereka ajukan sering disambut dengan tuduhan bahwa kelompok Muslim-lah yang terlebih dahulu mengobarkan pertikaian. Pemerintah India pernah membentuk sebuah lembaga, bagian dari Departemen Dalam Negeri, yang bertugas memonitor perkembangan hubungan Hindu-Muslim. Setelah itu, lahir Komite Pertikaian Komunal (Sampradayaka Virodhi), dan kemudian disusul berdiriya Dewan Integrasi Nasional. Dalam masa pemerintahan Partai Janata, yang iadi PM Morarji Desai, didirikan lagi Komisi Golongan Minoritas. Tapi semua usaha itu tak satu pun menhasilkan pemecahan. Malah kemudian beredar tuduhan bahwa kaum Muslim menerima bantuan petrodolar dari negara Arab untuk membiayai kerusuhan dan perjuangan separatisme mereka. Tak kurang PM Indira Gandhi sendiri dan beberapa menteri kabinetnya yang melontarkan pernyataan itu di Parlemen. Akibatnya, kini 12 organisasi Islam dilarang menerima sumbangan dana luar negeri. All India Muslim Majlis Mushawarat, Jamaat-elslami, dan Jamaat-e-Ahl-Hadis termasuk di dalamnya. Larangan ini keluar membarengi tuduhan bahwa kaum Muslim membujuk dan "membeli" kaum Harijan, kasta terendah dalam Hindu, agar masuk Islam. TAHUN lampau, polisi menembaki kaum Muslim yang tengah menunaikan salat Idul Fitri di Moradabad. Dan pemeluk Islam mengajukan klaim bahwa setiap kali polisi datang meredakan kerusuhan, korban di pihak mereka selalu kian banyak berjatuhan. Krishna Ayer, bekas hakim Mahkamah Agung India, pernah menulis surat kepada Indira Gandhi perihal tindakan polisi ini. Surat itu ditulisnya sepulangnya dari kunjungan ke Meerut, bagian utara India, September 1982. "Polisi," katanya, "mendatangi tempat berkumpulnya kaum Muslim dan menembaki mereka bagaikan pembunuh berdarah dingin." Tindakan polisi seperti ini juga dimuat dalam memorandum 44 anggota parlemen golongan Muslim kepada PM Indira Gandhi. Kalangan Muslim India merasa tidak mendapatkan perlindungan dari polisi dan pemerintah. Karena itu, mereka menuntut untuk dapat diterima menjadi anggota polisi dan tentara lebih banyak dibandingkan selama ini. "Tapi saya tak percaya jalan itu akan memecahkan persoalan, kata K.F. Rustomji, Direktur Jenderal Pengawasan Keamanan Perbatasan India. Dia lebih yakin, persoalan lebih banyak ditentukan kebijaksanaan pemerintahan sekuler Partai Kongres. Perseteruan komunal di India memang sulit dipecahkan. Salah satu kritik yangdilancarkan saat ini ialah soal penulisan buku sejarah untuk sekolah-sekolah. Konon, buku itu memuat cerita tentang Islam yang menjijikkan. Antara lain dikatakan bahwa kaum Islam adalah kelompok tak bermoral dan tak punya hak hidup di India. Dr. B.K. Chandrasekar, seorang guru besar ilmu hukum, menyesalkan penulisan sejarah seperti itu. Lewat seminar tentang keharmonisan kelompok masyarakat di Bangalore, Mei lalu, dia menyerukan agar India kembali meninjau penulisan sejarahnya dan membuat yang komprehensif. Gelombang anti-Muslim umumnya dilancarkan di kota-kota yang penduduk Muslim-nya mencapai 3%. Mereka kebanyakan memang cukup berada. Di antaranya menjalankan bisnis tenun yang maju diAhmedabad, Jalgaon, Bhiwandi, Surat, Bhagalpur, Azamgarh, Allahbad, dan Barabanki. Mereka menyelenggarakan usaha kerajinan logam di Moradabad dan Hyderabad. Usaha pembuatan barang-barang kulit yang baik di Kampur, Agra, dan Calcutta juga berada dalam tangan orang-orang ini. Di kota-kota itulah gelombang anti-Muslim memperlihatkan bekas paling buruk dalam dasawarsa terakhir ini. Daerah seperti itu bisa hancur dalam sesaat oleh sebuah kerusuhan yang dipanaskan sebuah gunjingan. Akhir Januari 1982, misalnya, 57 toko sepeda milik pedagang Muslim dirusakkan 6.000 pelajar di Bangalore. Pangkal perkaranya adalah sebuah gunjingan tentang seorang pemilik sepeda yang didesas-desuskan tewas dibunuh pedagang Muslim. Kabar burung yang tak pernah diketahui buktinya itu diduga ditiupkan oleh Rashtra Swaymsewah Sangh (Front Sukarelawan Nasional), organisasi Hindu militan yang dalam 37 tahun belakangan ini disebut-sebut selalu terlibat dalam setiap kerusuhan. Dibentuk tahun 1925 oleh Keshav Balikam, atas asas nasionalis dengan tujuan mengembangkan keagungan India serta masyarakat dan kebudayaan Hindu, RSS tumbuh sebagai organisasi yang menerapkan disiplin militer secara baik kepada anggotanya. Tahun 1948, PM Pandit Jawaharlal Nehru, ayah Indira, pernah melarang organisasi ini karena kampanye kekerasannya untuk politik dan hubungannya dengan peristiwa pembunuhan Mahatma Gandhi. Tetapi sejak 1947, para anggotanya, yang kini diperkirakan dua Juta orang, telah menyelusup ke berbagai bidang: pegawai pemerintahan, polisi, militer, perusahaan organisasi pemuda, dah partai politik. Dan Muslim bukan satu-satunya kelompok yang mereka musuhi. Dalam resolusi yang mereka keluarkan Juli 1982, RSS menyebut Kristen, Islam, dan komunis sebagai pengkhianat yang senantlasa memotori kerusuhan menyerang Hindu dan pemerintah India. RSS dipimpin oleh golongan Maratha Brahmins, kasta tertinggi dalam agama Hindu. Salah seorang bekas pemimpinnya, Madhav Sadashir Golwalkar, yang banyak meletakkan dasar pandangan organisasi ini, mengajarkan paham nasionalis sempit kepada para anggotanya. "Kebanggaan ras bangsa Jerman patutlah jadi suri teladan kita," tulisnya. BENTROKAN berdarah di Maharashtra bulan lalu itu pada mulanya juga tercetus lewat pernyataan plmpman organisasi militan Hindu Shiv Sena (Tentara Dewa Syiwa). Bal Thackeray, pemimpin Shivc Sena, mengatakan, Muslim bagaikan kanker yang harus dibuang dari India. Ucapan ini dibalas pemeluk Islam dengan mengalungkan sepatu pada potret Thackeray. Dan kerusuhan pun meledak. Jamaat-e-lslami bulan lalu menyelenggarakan kampanye keharmonisan hubungan komunal dengan mendatangi ribuan orang sambil melakukan kontak kontak pribadi. Agaknya, tak ada yang dapat memberikan jawaban bagaimana pengaruh kampanye ini untuk kerukunan antarkelompok masyarakat di India. Sebab, faktor pencetus bentrokan kini begitu banyak. Dalam kerusuhan di Bhiwandi yang lalu, Ansari, 50, seorang industriawan Muslim,membiarkan 50 Muslim lainnya mencari perlindungan di rumahnya. Tapi dia terkejut ketika menyaksikan di antara para perusuh yang menyerang rumahnya terdapat pemeluk Hindu yang pernah dia lindungi ketika Bhiwandi dilanda kerusuhan serupa tahun 1970. Dan hari itu, Ansari menyaksikan kenyataan lain tentang hidup berdampingan berbagai golongan di negerinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus