Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Niat Presiden Rodrigo Duterte yang ingin mengubah nama Filipina menjadi Maharlika diperbolehkan oleh konstitusi namun membutuhkan persetujuan publik melalui referendum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pidatonya Senin kemarin di Maguindanao, Duterte mengatakan dia setuju dengan mantan Presiden Ferdinand Marcos yang ingin mengubah nama Filipina menjadi Maharlika karena Filipina dinilai mewarisi nama kolonialisme, seperti dikutip dari Philippine Star, 13 Februari 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, kolonial Spanyol menamakan negerinya dari Raja Philip II, yang mendanai ekspedisi Portugis Ferdinand Magellan ke Filipina.
"Faktanya, Marcos benar. Selama pemerintahan Marcos, dia ingin (nama) diubah. Maharlika. Republik Maharlika karena kata Maharlika berasal dari Melayu dan bermakna 'ketenteraman'," kata Duterte.
Namun Duterte mengeluh bahwa proposal itu dibayangi oleh tuduhan mengingat Marcos adalah seorang diktator.
"Tapi tak apalah. Suatu hari, kita akan mengubahnya (nama)," tutur Duterte.
Menurut juru bicara kepresidenan, Salvador Panelo, pengubahan nama negara membutuhkan langkah kongresional.
"Konstitusi memberikan wewenang kepada Kongres yang memperbolehkan mengubah nama negara dan mengajukannya kepada rakyat lewat referendum," kata Panelo.
Menurut Pasal XVI, Bagian 2 dari Konstitusi Filipina 1987 menyatakan bahwa Kongres dapat, secara hukum, mengadopsi nama baru untuk negara, lagu kebangsaan, atau lambang nasional, yang semuanya akan benar-benar mencerminkan dan simbol dari cita-cita, sejarah, dan tradisi rakyat. Undang-undang hanya akan berlaku setelah ratifikasi oleh rakyat dalam referendum nasional
"Mari kita lihat bagaimana itu berlanjut. Beliau mengekspresikan idenya lagi seperti biasa," tambah Panelo merujuk pada ide Rodrigo Duterte mengganti nama Filipina.