Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gelombang Amarah Versus Kebebasan 

Protes terhadap video anti-Islam terus merebak di negara muslim. Amerika Serikat enggan menindak warganya. Amendemen pertama tentang kebebasan berekspresi menjadi alasan.

24 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nakoula Basseley Nakoula, 55 tahun, keluar dari ruangan Wakil Kepala Kepolisian Kota Los Angeles, Sabtu pekan lalu. Dikawal ketat, ia mengenakan mantel hitam dan bertopi cokelat dengan penutup kepala. Setengah hari diperiksa gara-gara film garapannya, Innocence of Muslims, yang menghanguskan hati dan menggemparkan orang-orang di dunia Islam itu, kini ia bebas melenggang keluar dari kantor polisi. Tanpa borgol pada pergelangan tangannya, ia dilarikan sebuah mobil polisi tanpa diketahui tujuannya.

”Ia datang dengan sukarela untuk memberikan keterangan,” kata Kepala Kepolisian Kota Los Angeles Steve Whitmore, Senin pekan lalu, kepada CNN. Polisi telah meminta banyak keterangan tentang film yang menghebohkan itu, dan setelah dianggap cukup, kata dia, penganut Kristen Koptik ini pun boleh angkat kaki. ”Dia sudah pergi dan ia bebas,” kata Whitmore.

Sepekan setelah kasus Innocence of Muslims meroyan negara-negara Arab dan Islam, Nakoula sekeluarga menghilang. Rumahnya di Cerritos, California, telah dikosongkan. Nakoula telah membawa pergi istri serta dua putra dan putrinya. ”Mereka memutuskan mencari tempat tinggal yang lebih aman, tempat mereka bisa bebas dan hidup normal,” ujarnya.

Innocence of Muslims menggambarkan Nabi Muhammad sebagai orang yang bodoh, kejam, pembunuh, dan suka perempuan. Padahal Islam melarang visualisasi Nabi Muhammad dalam bentuk apa pun. Sebenarnya film yang awalnya berjudul Desert Warrior ini telah diunggah di YouTube pada Juli lalu. Ketika film itu muncul pertama kali, publik Amerika Serikat tak ambil peduli pada tayangan yang dianggap amatir ini. Video berdurasi 14 menit itu ramai diperbincangkan dan menuai kontroversi setelah diterjemahkan dalam bahasa Arab, apalagi setelah satu stasiun televisi di Mesir menayangkan cuplikan film dalam pemberitaannya.

Seperti gelombang pasang, demonstrasi yang bermula di Mesir dan Libya ini menyebar cepat ke negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, termasuk Indonesia. Para pengunjuk rasa mendatangi Kedutaan Besar Amerika Serikat, lantas merusak simbol-simbol negara itu. Menurut sumber-sumber setempat yang menyembunyikan identitasnya, sebagian aksi di negara Afrika Utara dan Timur Tengah ditunggangi kelompok Islam garis keras, Al-Qaidah, dan afiliasinya.

Duta Besar Amerika Serikat untuk ­Libya, Christopher Stevens, 52 tahun, menjadi tumbal atas kemarahan muslim kepada pembuat film. Selasa dua pekan lalu, ratusan peluru serta puluhan granat dan roket menghunjam kantor konsulat ­Amerika Serikat di Benghazi. Puluhan warga Libya pada mulanya hanya berunjuk rasa, tapi sekonyong-konyong suasana memanas, dan massa bertambah banyak lagi brutal. Mereka mulai menyerang gedung kedutaan besar. Pertempuran berlangsung selama 20 menit. Stevens dan tiga anggota staf konsulat tewas. ”Mereka tewas ketika seorang pria menembakkan roket,” kata seorang pejabat konsulat Amerika Serikat.

Karen Redmond, juru bicara kantor ­administrasi pengadilan Amerika Serikat, mengatakan pengadilan tidak akan mempermasalahkan film yang disponsori kelompok radikal anti-Islam. Menurut dia, Amendemen Amerika Serikat memberikan kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat. Namun, ia melanjutkan, sang produser, Nakoula, bisa terjerat aturan pembebasan bersyarat dari penjara. Jika terbukti melanggar, Nakoula bisa kembali masuk penjara. ”Masalah pelanggaran ini sedang dikaji,” katanya.

Sebuah dakwaan dari pengadilan distrik Amerika Serikat di California pada 2009 menyebutkan, Nakoula telah menipu beberapa bank dan perusahaan di Amerika Serikat. Karena membuka rekening palsu dan menerbitkan cek kosong, ia diganjar hukuman 21 bulan penjara. Nakoula akhirnya keluar dari penjara sebelum waktunya pada 22 Juni tahun lalu, dengan jaminan. Dalam pembebasan bersyarat itu, Nakoula dilarang menggunakan komputer dan Internet selama lima tahun serta membayar ganti rugi kepada perusahaan dan bank US$ 790 ribu.

Nakoula adalah orang yang mengunggah video itu ke Internet. Padahal, selama masa percobaan, ia harus meminta persetujuan terlebih dulu kepada tim pemantau masa percobaan. ”Akulah orang yang membocorkan video itu dan menyebarkannya di Internet. Tidak ada yang dimanipulasi di film saya,” kata Nakoula dalam sebuah wawancara dengan radio Sawa, stasiun pemerintah Amerika Serikat yang disiarkan di Timur Tengah.

Entah apakah Nakoula akhirnya akan bebas dari dakwaan atau tidak, Redmond tidak menjelaskan berapa lama proses pengkajian akan berlangsung. Namun kemarahan orang-orang Islam, terutama di negara-negara Arab, tidak cepat berakhir. Khalid Amayreh, seorang dai Palestina di Tepi Barat, mendesak proses hukum atas kasus ini. ”Kami memahami Amendemen Pertama. Tapi Anda juga harus menghargai bahwa Nabi itu satu juta kali lebih suci daripada konstitusi Amerika,” ujarnya.

Cindy Lee Garcia, salah satu pemain film Innocence of Muslims, juga menggugat Nakoula. Tuduhannya: Nakoula telah melakukan penipuan dan penyalahgunaan, yang mengakibatkan nyawa Garcia terancam. Beberapa kali Garcia menerima ancaman akan dibunuh. Awalnya, film itu sama sekali tidak berhubungan dengan pribadi Muhammad saw. Namun, dalam proses, judul kemudian berubah, dan sang film juga disulihsuarakan. ”Ini bukan menggugat Amendemen Pertama yang mengatur kebebasan, tapi menghukum dan menarik video yang bisa membahayakannya,” kata pengacara Garcia, M. Cris Armenta.

Sebuah petisi online muncul di Change.org, yang meminta Jaksa Agung Amerika Serikat bisa menghukum penghasut perang agama. Dalam petisi itu, mereka berharap Amerika bisa menunjukkan kepada dunia tidak menoleransi propaganda yang menimbulkan kebencian dan perang.

Namun Lawrence Rosenthal, profesor hukum di Chapman University, California, mencoba melukiskan karakter hukum Amerika Serikat yang berbeda dengan negara lain. Membuat film yang merendahkan agama di Amerika sebenarnya bukan hal yang dilarang, katanya. Tidak ada penistaan agama. Dan aturan inilah yang membedakan Amerika dengan negara lain. ”Ini membuat sulit bagi Amerika Serikat untuk menindaknya. Kita memperlakukan pidato kebencian sebagai sesuatu yang dilindungi konstitusi,” katanya.

Sebelumnya, Pendeta Terry Jones, yang mengancam akan membakar Al-Quran tahun lalu, tidak bisa dijerat hukum. Pemerintah menggunakan tokoh lintas agama untuk membujuk Jones membatalkan aksinya. Dan berhasil. Namun pemerintah tidak bisa meminta situs YouTube menarik video itu di Amerika. Lagi-lagi alasannya kebebasan. YouTube hanya menarik video itu di Mesir, Libya, dan Indonesia.

Rosenthal menyarankan setiap orang harus berhati-hati menggunakan hak kebebasan itu. Kata dan gambar itu tidak hanya memberikan informasi, tapi juga memiliki konsekuensi. Namun hukuman bagi Nakoula sulit dijalankan. ”Undang-undang yang tak membatasi dia melakukan kejahatan,” ujarnya. Menurut dia, Nakoula justru bisa dijerat di Mesir dengan tuduhan menghina agama dengan pidana tiga tahun penjara. ”Apalagi ia adalah imigran dari Mesir yang pindah ke Amerika,” katanya.

Ketika Amerika Serikat cenderung diam dan ragu, pemerintah Mesir melangkah cepat. Mesir menggugat tujuh penganut Kristen Koptik dan seorang pastor di Florida. Gugatan diumumkan jaksa penuntut di Mesir pada Selasa pekan lalu. Mereka dianggap menghina Islam, Nabi, dan menghasut perselisihan sektarian.

Mereka yang diseret Nakoula berserta rekannya, Morcos Aziz, Fikri Zokloma, Nabil Bissada, Nahed Metwali, Nader Nicola, dan Morris Sadek, orang yang aktif menebarkan kebencian terhadap Islam. Mereka terlibat dalam penyebarluasan Inno­cence of Muslims. Pastor Terry Jones juga menjadi sasaran. Dia memiliki peran besar dalam mempromosikan film itu.

Mesir telah mengajukan surat penangkapan kepada pemerintah Amerika Serikat, termasuk ke otoritas pengadilan. Surat itu juga telah diajukan ke Interpol untuk membantu penangkapan. ”Semua terdakwa bisa menghadapi hukuman mati jika terbukti bersalah,” menurut kantor kejaksaan Mesir.

Eko Ari Wibowo (AP, CNN, LA Times, National Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus